JAKARTA - Sejumlah pihak sepakat menilai putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang memerintahkan verifikasi faktual 18 parpol melampaui kewenangannya. Namun, catatan yang tidak kalah penting adalah DKPP yang saat ini terkesan menjadi lembaga yang tidak tersentuh.
"Saat ini KPU bisa dipecat, Bawaslu bisa dipecat, sementara DKPP untouchable (tidak tersentuh)," ujar Refli Harun, direktur eksekutif Correct, dalam keterangan pers mengenai eksaminasi putusan DKPP soal pelanggaran kode etik KPU, Minggu (6/1).
Putusan DKPP, menurut Refli, merupakan imbas dari tafsir peraturan kode etik antara KPU, Bawaslu, dan DKPP yang terlalu luas. Aturan kode etik tiga lembaga itu tidak memerinci seperti apa pelanggaran etik yang bisa ditindak DKPP.
Karena itu, dalam sengketa kegagalan 18 parpol, dengan hanya 12 parpol yang mengadu, ternyata DKPP bisa menyidangkan. "Jika konteks pelanggaran kode etik terlalu luas, akhirnya menjadi eksesif," ujar Refli.
Pengamat hukum tata negara Universitas Andalas Saldi Isra mengapresiasi sidang kode etik secara terbuka. Namun, dalam penegakan kode etik penyelenggara pemilu, DKPP seharusnya cukup patuh pada UU Pemilu.
"DKPP saat ini seperti menjadi pengadilan pemilu. Ini rawan karena pelanggaran sekecil apa pun akan dipermasalahkan," ujarnya.
Menurut Saldi, DKPP, KPU, dan Bawaslu harus bisa mengevaluasi aturan kode etik tiga lembaga tersebut. Jika putusan keluar jalur yang dilakukan DKPP kembali terulang, bisa saja hal itu memicu ketegangan dalam pemilu. "Pemilu 2014 bisa menjadi pemilu yang paling tinggi titik ketegangannya jika (DKPP) melebar kewenangannya," ujarnya mengingatkan.
Direktur Eksekutif Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menambahkan, aspek inkonsistensi juga terlihat dalam putusan DKPP terhadap KPU pusat. Juga dalam putusan daftar pemilih tetap (DPT) pilgub DKI.
Dalam putusan pilgub, DKPP menjatuhkan sanksi teguran tertulis hanya kepada Ketua KPU DKI Dahliah Umar. Sebab, hanya yang bersangkutan yang diadukan. "Sementara DKPP memberikan rekomendasi sanksi kepada Sekjen KPU bersama tiga pejabat lain. Padahal, mereka tidak masuk dalam aduan," ujarnya.
Inkonsistensi lain adalah putusan DKPP yang menyatakan tidak ada niat jahat dari KPU pusat terkait dengan verifikasi administrasi. Namun, DKPP tidak memberikan kewajiban pemulihan nama baik komisioner KPU.
Ini berbeda dengan putusan DKPP terkait pilgub DKI. DKPP menilai KPU DKI telah berusaha keras, namun tetap memberikan sanksi tertulis kepada Dahliah. "Duduk posisi persoalan sama, namun treatment berbeda," ujar Titi. (bay/c1/agm)
"Saat ini KPU bisa dipecat, Bawaslu bisa dipecat, sementara DKPP untouchable (tidak tersentuh)," ujar Refli Harun, direktur eksekutif Correct, dalam keterangan pers mengenai eksaminasi putusan DKPP soal pelanggaran kode etik KPU, Minggu (6/1).
Putusan DKPP, menurut Refli, merupakan imbas dari tafsir peraturan kode etik antara KPU, Bawaslu, dan DKPP yang terlalu luas. Aturan kode etik tiga lembaga itu tidak memerinci seperti apa pelanggaran etik yang bisa ditindak DKPP.
Karena itu, dalam sengketa kegagalan 18 parpol, dengan hanya 12 parpol yang mengadu, ternyata DKPP bisa menyidangkan. "Jika konteks pelanggaran kode etik terlalu luas, akhirnya menjadi eksesif," ujar Refli.
Pengamat hukum tata negara Universitas Andalas Saldi Isra mengapresiasi sidang kode etik secara terbuka. Namun, dalam penegakan kode etik penyelenggara pemilu, DKPP seharusnya cukup patuh pada UU Pemilu.
"DKPP saat ini seperti menjadi pengadilan pemilu. Ini rawan karena pelanggaran sekecil apa pun akan dipermasalahkan," ujarnya.
Menurut Saldi, DKPP, KPU, dan Bawaslu harus bisa mengevaluasi aturan kode etik tiga lembaga tersebut. Jika putusan keluar jalur yang dilakukan DKPP kembali terulang, bisa saja hal itu memicu ketegangan dalam pemilu. "Pemilu 2014 bisa menjadi pemilu yang paling tinggi titik ketegangannya jika (DKPP) melebar kewenangannya," ujarnya mengingatkan.
Direktur Eksekutif Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menambahkan, aspek inkonsistensi juga terlihat dalam putusan DKPP terhadap KPU pusat. Juga dalam putusan daftar pemilih tetap (DPT) pilgub DKI.
Dalam putusan pilgub, DKPP menjatuhkan sanksi teguran tertulis hanya kepada Ketua KPU DKI Dahliah Umar. Sebab, hanya yang bersangkutan yang diadukan. "Sementara DKPP memberikan rekomendasi sanksi kepada Sekjen KPU bersama tiga pejabat lain. Padahal, mereka tidak masuk dalam aduan," ujarnya.
Inkonsistensi lain adalah putusan DKPP yang menyatakan tidak ada niat jahat dari KPU pusat terkait dengan verifikasi administrasi. Namun, DKPP tidak memberikan kewajiban pemulihan nama baik komisioner KPU.
Ini berbeda dengan putusan DKPP terkait pilgub DKI. DKPP menilai KPU DKI telah berusaha keras, namun tetap memberikan sanksi tertulis kepada Dahliah. "Duduk posisi persoalan sama, namun treatment berbeda," ujar Titi. (bay/c1/agm)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Inilah 24 Parpol Tak Lolos Pemilu Versi TePI
Redaktur : Tim Redaksi