JAKARTA - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) selama ini mencium banyak dokter menanam saham di klinik kesehatan atau rumah sakit. Mereka meminta Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk menertibkan praktik tersebut.
Tuntutan itu disampaikan langsung oleh Ketua Pengurus Harian YLKI Sudaryatmo di kantor IDI, Senin (14/1). Dia menuturkan jika ada dokter menanam saham di klinik, berpotensi besar terlibat konflik kepentingan. Di antaranya adalah kepentingan meningkatkan pendapatan klinik tempat mereka menanam saham. "Konflik kepentingan ini sangat merugikan konsumen atau pasien," tandasnya.
Praktik konflik kepentingan ini banyak sekali bentuknya. Misalnya ada pasien yang hasil pemeriksaannya cukup dirawat inap dua malam, tetapi diulur-ulur menjadi lima malam. Begitu juga untuk pemberian obat. "Yang seharusnya obatnya cukup dua jenis, bisa jadi ditambah sampai empat atau lima jenis," katanya.
Untuk itu Sudaryatmo berharap IDI dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengawasi kinerja pada dokter, terutama yang ketahuan atau diduga kuat memiliki saham di sebuah klinik atau rumah sakit. Sudaryatmo sebanarnya sudah mengadu dan mendapatkan jawaban dari Konsil Kedokteran. "Tetapi sikap mereka (Konsil Kedokteran, red) tidak tegas," tandasnya.
Menurut dia Konsil Kedokteran telah mengambil keputusan bahwa dokter boleh menanam saham di klinik, dengan catatan tidak terlibat konflik kepentingan. Para dokter yang memiliki saham di klinik harus tetap professional dalam menangani atau mendiagnosa pasiennya.
Menanggapi tuntutan YLKI itu, pihak IDI menyiratkan kesan menolak. Ketua Umum Pengurus Besar IDI dr Zaenal Abidin mengatakan, tidak masalah jika para dokter Indonesia memiliki saham di klinik atau rumah sakit. "Dari pada yang memiliki saham itu adalah korporasi, kita (profesi dokter, red) akan menjadi buruh," kata dia.
Menurut Zaenal meskipun ada dokter yang memiliki saham di klinik atau rumah sakit, mereka tetap terikat kode etik profesi. Kondisi ini bakal jauh berbeda ketika saham-saham atau kepemilikan klinik dan rumah sakit sepenuhnya milik korporasi. Motivasi utama dalam layanan medis tentu akan lebih cenderung bisnis.
Zaenal mengaku lebih sepakat dilakukan kontrol yang ketat terhadap dokter-dokter penanam saham di klinik atau rumah sakit. Kontrol ini bisa dilaksanakan bersama antara pemerintah, masyarakat, hingga IDI sebagai induk organisasi profesi dokter. (wan)
Tuntutan itu disampaikan langsung oleh Ketua Pengurus Harian YLKI Sudaryatmo di kantor IDI, Senin (14/1). Dia menuturkan jika ada dokter menanam saham di klinik, berpotensi besar terlibat konflik kepentingan. Di antaranya adalah kepentingan meningkatkan pendapatan klinik tempat mereka menanam saham. "Konflik kepentingan ini sangat merugikan konsumen atau pasien," tandasnya.
Praktik konflik kepentingan ini banyak sekali bentuknya. Misalnya ada pasien yang hasil pemeriksaannya cukup dirawat inap dua malam, tetapi diulur-ulur menjadi lima malam. Begitu juga untuk pemberian obat. "Yang seharusnya obatnya cukup dua jenis, bisa jadi ditambah sampai empat atau lima jenis," katanya.
Untuk itu Sudaryatmo berharap IDI dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengawasi kinerja pada dokter, terutama yang ketahuan atau diduga kuat memiliki saham di sebuah klinik atau rumah sakit. Sudaryatmo sebanarnya sudah mengadu dan mendapatkan jawaban dari Konsil Kedokteran. "Tetapi sikap mereka (Konsil Kedokteran, red) tidak tegas," tandasnya.
Menurut dia Konsil Kedokteran telah mengambil keputusan bahwa dokter boleh menanam saham di klinik, dengan catatan tidak terlibat konflik kepentingan. Para dokter yang memiliki saham di klinik harus tetap professional dalam menangani atau mendiagnosa pasiennya.
Menanggapi tuntutan YLKI itu, pihak IDI menyiratkan kesan menolak. Ketua Umum Pengurus Besar IDI dr Zaenal Abidin mengatakan, tidak masalah jika para dokter Indonesia memiliki saham di klinik atau rumah sakit. "Dari pada yang memiliki saham itu adalah korporasi, kita (profesi dokter, red) akan menjadi buruh," kata dia.
Menurut Zaenal meskipun ada dokter yang memiliki saham di klinik atau rumah sakit, mereka tetap terikat kode etik profesi. Kondisi ini bakal jauh berbeda ketika saham-saham atau kepemilikan klinik dan rumah sakit sepenuhnya milik korporasi. Motivasi utama dalam layanan medis tentu akan lebih cenderung bisnis.
Zaenal mengaku lebih sepakat dilakukan kontrol yang ketat terhadap dokter-dokter penanam saham di klinik atau rumah sakit. Kontrol ini bisa dilaksanakan bersama antara pemerintah, masyarakat, hingga IDI sebagai induk organisasi profesi dokter. (wan)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Calon Hakim MA Ingin Pertahankan Hukuman Mati
Redaktur : Tim Redaksi