Hampir dua minggu lalu, Jessica Kumala Wongso terlihat berbinar ketika dibebaskan bersyarat dari Lembaga Permasyarakatan (Lapas) Pondok Bambu, Jakarta.

"Hari ini saya beryukur karena bisa keluar dari lapas, bertemu kembali dengan keluarga, dan teman-teman, dan ini pengacara-pengacara yang sudah seperti keluarga untuk saya," ujarnya dalam konferensi pers.

BACA JUGA: Warga Indonesia di Australia Serukan Kawal Demokrasi dan Putusan MK

"Terima kasih untuk dukungannya, semuanya, doa, support dan segala macam hal-hal yang baik untuk saya ... yang membuat saya selama ini bisa bertahan."

Sejak dibebaskan bersyarat, Jessica pun langsung menjadi bintang tamu di podcast dan televisi.

BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Kamala Harris Resmi Jadi Kandidat Capres dari Partai Demokrat

Namun opini publik terhadap Jessica nampaknya berubah, khususnya setelah film dokumenter Netflix yang dirilis tahun lalu.

Film yang dianggap pakar "sensasional" tersebut dianggap tidak dirangkai menggunakan kaidah jurnalistik yang semestinya.

BACA JUGA: Rakyat Turun ke Jalan, DPR Tak Penuhi Kuorum untuk Sahkan RUU Pilkada

Menjadi tersangka pembunuhan Mirna

Pada tahun 2016 silam, Jessica dinyatakan bersalah karena menuang sianida ke dalam es kopi milik temannya, Wayan Mirna Salihin.

Jessica dan Mirna bertemu di kafe Olivier, yang berlokasi di Grand Indonesia di Jakarta Pusat.

Dalam rekaman CCTV, terlihat bagaimana Jessica tiba sekitar satu jam sebelum Mirna dan teman mereka — Boon Juwita, yang dikenal sebagai Hani.

Setelah memesan es kopi untuk Mirna, Jessica terlihat mengatur beberapa tas belanjanya hingga menghalangi sorotan kamera CCTV.

Setelah Mirna tiba dan menyeruput minuman tersebut, ia terlihat kejang-kejang dan mulutnya berbusa. Ia meninggal dunia dalam perjalanan ke rumah sakit.

Keluarga Mirna tidak mengizinkan otopsi penuh, sehingga tim forensik hanya mengecek perut, hati, dan urinnya.

Jaksa menemukan 298 mg sianida dalam kopi tersebut.Dokumenter yang mengubah persepsi

Pada tahun 2023, Netflix merilis film dokumenter berjudul Ice Cold: Murder, Coffee and Jessica Wongso.

Dokumenter tersebut bertujuan untuk mendalami "pertanyaan yang belum terjawab seputar persidangan Jessica Wongso — bertahun-tahun setelah kematian sahabatnya, Mirna Salihin".

Beberapa orang mengaku pandangannya berubah setelah menyaksikan dokumenter hampir dua jam tersebut.

Pakar film Hikmat Darmawan mengatakan pendapat publik tentang kasus ini berubah "secara signifikan" sebelum dan sesudah film dokumenter dirilis.

"Sentimennya kan sangat negatif terhadap yang disangka sebagai pelaku itu," kata Hikmat kepada Lily Kristanto dari ABC Indonesia.

"Sekarang yang lebih muncul itu spektrum [penonton] yang percaya bahwa dia [Jessica] tidak bersalah sampai ke paling tidak ragu-ragu bahwa prosesnya itu sudah dijalani secara benar."

Namun Hikmat juga mengkritik film dokumenter berdurasi hampir dua jam itu karena pendekatannya yang "sensasional."

"Jadi saya kira dari awal memang dia [dokumenternya] bukan dikerjakan dengan disiplin mencari kebenaran [atau] disiplin jurnalistik, karena jenis dokumenternya kan semacam dokumen jurnalistik gitu ya," katanya.

Hikmat mengajak penonton untuk memahami bahwa film dokumenter ini ditujukan untuk pasar film hiburan yang memainkan emosi penonton dengan elemen "melodramatik".

"Saya merasa itulah kenapa terhadap film ini pun kita harus critical thinking atau mungkin ... menantang para tenaga kreatif untuk membangun narasi yang lebih lebih ... berdisiplin," katanya.

ABC telah meminta tanggapan perusahaan Beach House Pictures yang memproduksi dokumenter Ice Cold.

Namun, Hikmat menyambut baik bagaimana "film dan media audiovisual" membantu membangun pemikiran kritis terhadap lembaga hukum di Indonesia.

"Ada ketidakpuasan umum terhadap proses hukum di negara kita dan barangkali itu yang tampak misalnya dalam kasus ... Jessica ini," katanya.Tidak mempengaruhi pembebasan

Pakar hukum pidana Maria Sylvia Wangga mengatakan opini publik tidak ada hubungannya dengan pembebasan Jessica.

Menurut hukum Indonesia, narapidana yang dijatuhi hukuman penjara selama lebih dari sembilan bulan dapat dibebaskan bersyarat selama dua pertiga dari masa hukuman mereka.

Namun, ini tidak berlaku untuk tahanan yang tidak menjalani hukuman penjara seumur hidup atau hukuman mati.

Dalam kasus Jessica, yang dijatuhi hukuman 20 tahun penjara, ia dapat menjalani hukumannya di luar penjara selama 13 tahun.

Tahanan di Indonesia juga berhak untuk mendapatkan remisi dalam beberapa acara, seperti hari raya keagamaan atau Hari Kemerdekaan, cuti untuk mengunjungi keluarga dan cuti sebelum dibebaskan.

"Jadi itu hak narapidana yang memang sudah selayaknya. Kebetulan saja, kasus Jessica itu menjadi perhatian publik," katanya.

Salah satu pengacara Jessica, Otto Hasibuan, mengatakan kliennya memenuhi persyaratan untuk berperilaku baik dengan mengajar bahasa Inggris dan yoga di penjara.

Jessica harus tetap berada di Jakarta sampai akhir pembebasan bersyaratnya pada tahun 2032.

Dalam konferensi pers setelah pembebasannya, Jessica mengatakan ia belum memiliki rencana apa pun dan telah "memaafkan semua orang yang bersalah" padanya.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dunia Hari Ini: Penjelasan Peringatan Darurat Demokrasi di Indonesia

Berita Terkait