DPR membatalkan Rapat Paripurna untuk mengesahkan Revisi Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada atau RUU Pilkada, Kamis kemarin.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan alasan pembatalan karena kuorum yang tidak terpenuhi.
BACA JUGA: RUU Pilkada Batal Disahkan, Rieke Sebut Pemerintah Wajib Lakukan Hal Ini
Menurut Dasco, ada 89 anggota DPR yang hadir, sementara 87 orang lainnya izin, dan sisanya sedang melakukan kunjungan kerja atau tanpa keterangan.
Padahal untuk menggelar paripurna, setidaknya 50 persen + 1 orang dari 560 anggota DPR harus hadir.
BACA JUGA: Wakil Ketua DPR Tegaskan RUU Pilkada Batal Disahkan
Dasco mengatakan jika DPR harus menggelar rapat paripurna lagi, maka mereka harus mengikuti sejumlah tahapan sesuai tata tertib DPR, padahal pendaftaran calon kepala daerah dimulai Selasa depan (27/08) hingga hari Kamis (29/08).
"Kami tegaskan sekali lagi karena kami patuh dan taat dan tunduk aturan pada saat pendaftaran nanti," ujarnya.
BACA JUGA: Fasilitas di Gedung DPRD Jabar Rusak Imbas Demo Tolak RUU Pilkada, Ini Kata Pj Gubernur
"Karena RUU Pilkada belum jadi UU, maka yang berlaku adalah hasil putusan MK judicial review yang diajukan Partai Buruh dan Gelora," kata Dasco di Kompleks Parlemen, Senayan, kemarin.
Di luar gedung MPR/DPR, ribuan pengunjuk rasa menyuarakan penolakan pengesahan RUU Pilkada yang isinya bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat.
Sejumlah saksi mata dan laporan media menyebutkan sempat ada bentrokan di gedung DPR antara pengunjuk rasa dan polisi menjelang malam hari.'Demokrasi kita terancam'
Di antara mereka yang turun ke jalan kemarin adalah para komika atau para pegiat stand up comedy.
Sam Darma Putra Ginting atau yang dikenal dengan nama Sammy 'Notaslimboy' mengatakan mereka turun ke jalan adalah sebagai bentuk perlawanan.
"Karena kalau enggak dilawan, [pelanggaran konstitusi] ini bakalan terus [berlangsung] ternyata," katanya kepada Hellena Souisa dari ABC Indonesia.
Menurutnya, upaya DPR menganulir Keputusan MK yang secara hukum sudah final dan mengikat sangat mengagetkan.
"Dan ditengarai Kaesang nanti bisa menjadi lolos maju di Pilkada salah satu provinsi, dalam hal ini Jawa Tengah," kata Sammy.
Ia menambahkan jika rakyat tidak bergerak, situasinya akan sama seperti Orde Baru, tetapi dengan "gimmick" para pemimpin bisa dipilih langsung rakyat, padahal calon-calonnya sudah ditentukan elit.
"Jadi kita harus turun ke jalan karena demokrasi kita terancam … hak pilih kita memang tidak dicabut, kita bisa tetap memilih, tapi pilihan kita sudah dibatasi karena sudah ada cawe-cawe duluan sehingga pilihan kita terbatas, bukan lagi orang-orang yang terbaik."
Dengan turun ke jalan, komunitas komika juga ingin menyuarakan aspirasinya, karena para tokoh politik tidak ada yang bersuara meski melihat pelanggaran konstitusi yang dilakukan DPR.
"Surya Paloh, yang tadinya [mengusung konsep] perubahan, diam. Cak Imin, diam. Jusuf Kalla, diam. Enggak ada yang bersuara."
"Jadi ya sudahlah ini masyarakat langsung-lah yang harusnya bersuara … sama seperti tahun 1998 ketika semuanya diam, akhirnya gerakan mahasiswa bergerak sebelum para tokoh berbicara."
Komunitas komika menuntut agar DPR tetapmematuhi Keputusan Mahkamah Konstitusi.
"Ini kan sudah ada Keputusan MK, ya dijalankan saja oleh KPU. Jangan diralat oleh DPR. Itu saja sebenarnya."
"Kenapa pemerintah begitu takut?"Masyarakat tidak bodoh
Bukan hanya mereka yang turun ke jalan yang mendukung Putusan MK.
Aktor Fedi Nuril berterima kasih kepada para pengunjuk rasa yang sudah turun ke jalan untuk mewakili suaranya, yang tidak bisa ikut karena ada harus memenuhi komitmen yang lain.
Fedi mengaku marah melihat ketidakadilan Badan Legislasi DPR yang mampu dengan cepat bereaksi terhadap Putusan MK, sementara ada RUU yang tidak kunjung selesai dibahas selama bertahun-tahun di parlemen.
"Ini terlihat sekali ada kepentingan politiknya, dan yang paling membuat saya marah adalah mereka membuat pernyataan seakan-akan kita ini bodoh banget, gitu."
"Terlihat sekali buru-buru, tergesa-gesa, dan fraksi yang menolak seperti PDIP pun diacuhkan, meskipun saya juga agak geram karena protesnya PDIP seperti tanggung ... tidak tajam," kata Fedi kepada ABC Indonesia.
Ia juga menilai, keputusan MK yang "meresahkan" dan "membuat panik" DPR tersebut lebih besar daripada soal pencalonan Anies Baswedan atau PDIP.
"Karena kan sebenarnya kalau dilihat the big picture-nya itu, banyak sekali partai yang diuntungkan dengan perubahan threshold itu ... mau tetap berkoalisi boleh, tapi keuntungan terbesarnya adalah 'oh, saya bisa maju sendiri dan kalau menang saya enggak perlu bagi-bagi kue' begitu."
Fedi menilai apa yang dilakukan Baleg terhadap Putusan MK adalah bukti jika DPR mengabaikan aspirasi pemilihnya.
"Banyak yang bilang 'ya ngapain berharap, namanya juga politisi', oke saya juga paham sih tapi kalau kita permisif terus, ya mereka akan terus seperti itu."
"Jadi at least kita maki lah mereka, kita ingatkan apa omongan mereka ... kalau kalian memang enggak bisa memegang janji kalian kepada pemilih, ya sudah berilah kami privillege untuk memaki kalian," tutur Fedi.
Bivitri Susanti, pakar Hukum Tata Negara, mengatakan Indonesia sudah mengalami krisis konstitusi, karena konstitusi yang tidak dihormati oleh lembaga-lembaga negara yang seharusnya menjaganya.
"Kalau sudah krisis konstitusi, darurat demokrasi, siapa lagi yang bisa menjaganya? Ya, kita sebagai warganya," ujarnya kepada Erwin Renaldi dari ABC Indonesia.
Menurut Bivitri ini bukan lagi soal siapa yang bisa maju pilkada, bukan juga soal DPR melawan MK, tapi soal kekuasaan yang disalahgunakan untuk kepentingan sendiri.
"Kita harus bersuara, supaya mereka yang memegang kekuasaan tahu kalau kita ini mengerti, paham, dan bisa bersuara, bukan hanya bisa menyoblos mereka."
Simak! Video Pilihan Redaksi:
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kapolri Jenderal Listyo Harus Dengar ini, YLBHI Minta Aparat Tak Boleh Represif