jpnn.com - Donald Trump adalah bukti nyata bahwa kebohongan dan ujaran kebencian telah menjadi senjata superampuh dalam kancah politik zaman now.
Sejak awal kampanye, popularitas Donald Trump dibangun dari kebohongan dan ujaran kebencian yang dilontarkannya. Begitu seringnya kebohongan meluncur dari mulutnya, banyak media yang punya aplikasi pengecekan kebenaran atas pernyataan sang presiden.
BACA JUGA: Trump dan Weinstein Bakal Dibantai di Panggung Golden Globes
Berdasar pengecekan fakta yang dilakukan The Washington Post pada Oktober, presiden Amerika Serikat (AS) itu telah melontarkan 1.318 kebohongan maupun pernyataan yang menyesatkan selama 263 hari menjabat.
Banyak pakar menilai bahwa terpilihnya Trump adalah salah satu efek era post-truth alias pasca kebenaran. Yaitu, era ketika keyakinan dan opini pribadi lebih memengaruhi publik daripada fakta yang ada.
BACA JUGA: Pesan Palestina untuk Trump: Kami Tidak Bisa Diperas!
Profesor ilmu komunikasi dari Illinois State University John Huxford mengungkapkan bahwa maraknya fake news alias hoax merupakan gejala era post-truth.
Gejala itu jelas tampak begitu nyata saat ini. Dia menegaskan, di era post-truth, kebenaran tidak lagi dianggap penting. Kebohongan tidak lagi merusak reputasi politikus maupun institusi yang melakukannya.
BACA JUGA: Tidak Dipercaya Palestina, Donald Trump Sewot
”Kebohongan dan kepalsuan, tampaknya, malah meningkatkan reputasi dan kemampuan politik seseorang di antara para pendukung setianya,” terangnya.
Trump adalah contoh nyata. Dia tetap dipuja para pendukungnya meski sudah berulang-ulang melontarkan kebohongan. Selasa (2/1) Trump malah mencuit bahwa dirinya bakal memberikan penghargaan untuk media yang paling tidak jujur.
Tapi, istilah fake news bagi Trump dan bagi orang normal kebanyakan tentu berbeda. Bagi Trump, fake news adalah berita yang paling dibencinya dan bisa membuatnya marah luar biasa. Terlepas berita itu benar atau tidak.
”Jadi, ketika Anda mendengar orang seperti Donald Trump meneriakkan kata fake news, mereka sebenarnya menolak untuk memercayai berita sebenarnya karena itu bertentangan dengan keyakinan mereka,” tegasnya.
Huxford berharap agar istilah fake news tak lagi digunakan. Sebab, itu seakan menyatakan semua media membuat berita bohong. Padahal, media-media mainstream tidak menulis berita bohong, berita semacam tersebut hanya ditulis media ekstrem tertentu.
Andrew M. Guess, asisten profesor bidang politik dan hubungan publik di Princeton University, mengungkapkan bahwa ada dua kelompok orang yang bakal terpengaruh dengan fake news. Yaitu, orang yang literasi media online-nya rendah dan orang yang mendukung kelompok tertentu.
Sebagai contoh, para pendukung Trump jauh lebih banyak terpapar berita bohong daripada pendukung lawannya. Pada Pilpres AS 2016, mayoritas berita bohong lebih menguntungkan Trump.
Guess menambahkan, berita-berita bohong berdampak pada banyak orang. Berdasar penelitiannya, secara kasar, 1 di antara 4 penduduk AS mengunjungi website yang berisi berita-berita bohong dalam 5 pekan.
Berdasar penelitian The Economist, selama masa kampanye, setiap orang dewasa di AS setidaknya terpapar berita bohong sekali. Sekitar 8 persen dari mereka percaya isi berita tersebut. (sha/c10/dos)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Trump: Milik Saya Lebih Besar dan Kuat dari Kim Jong Un
Redaktur & Reporter : Adil