Donald Trump Masih Penguasa Gedung Putih, Penderitaan Republik Islam Iran Belum Berakhir

Selasa, 10 November 2020 – 21:48 WIB
Presiden AS Donald Trump. Foto: Deadline

jpnn.com, WASHINGTON DC - Meski kalah telah di pemilu presiden pekan lalu, Donald Trump untuk saat ini masih presiden Amerika Serikat yang sah. Artinya, Republik Islam Iran belum bisa bernapas lega.

Amerika Serikat diperkirakan menjatuhkan sejumlah sanksi paling awal pekan depan pada warga Iran yang terlibat dalam tindakan kekerasan terhadap demonstran antipemerintah tahun lalu.

BACA JUGA: Januari 2021, Proteksi Khusus Trump di Twitter Tidak Berlaku Lagi

Sumber-sumber itu, yang berbicara anonim, mengatakan pengumuman sanksi itu bertepatan dengan peringatan satu tahun penindasan paling berdarah terhadap pemrotes di Iran sejak Revolusi Islam pada 1979.

Satu sumber mengatakan serangkaian sanksi pekan depan akan menjadi langkah keras yang dilakukan terhadap banyak individu dan entitas Iran.

BACA JUGA: Donald Trump Tamat, Menlu Retno Dorong ASEAN Perkuat Kerja Sama dengan Amerika Serikat

Baik Departemen Luar Negeri maupun misi Iran untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa belum menanggapi permintaan untuk mengomentari sanksi yang kemungkinan diterapkan pekan depan itu.

Dengan mengutip tiga pejabat Kementerian Dalam Negeri Iran, Reuters sebelumnya melaporkan sekitar 1.500 orang tewas selama kurang dari dua pekan kerusuhan yang bermula pada 15 November 2019. Jumlah itu termasuk sedikitnya 17 remaja dan sekitar 400 wanita serta anggota pasukan keamanan Iran dan polisi.

BACA JUGA: Sambut Kemenangan Biden, Korea Selatan Tak Kehilangan Donald Trump

Kementerian Dalam Negeri Iran mengatakan sekitar 225 orang tewas selama protes itu, yang meletus setelah media negara mengumumkan bahwa harga gas akan naik sebanyak 200 persen dan pendapatan itu akan digunakan untuk membantu keluarga yang membutuhkan.

Sumber itu, yang termasuk seorang pejabat AS dan dua orang yang mengetahui masalah tersebut, mengatakan sanksi itu telah disiapkan selama beberapa bulan dan merupakan yang terbaru dari serangkaian panjang hukuman AS yang dijatuhkan kepada Iran oleh Presiden Donald Trump.

Trump dua tahun lalu meninggalkan kesepakatan nuklir Iran 2015 yang dicapai oleh pendahulunya, Barack Obama.

Sejak itu, Trump memberlakukan kembali sanksi ekonomi AS yang keras. Sanksi dirancang untuk memaksa Teheran melakukan negosiasi yang lebih luas untuk menghambat program nuklirnya, pengembangan rudal balistik, dan dukungan untuk pasukan proksi regional.

Satu sumber mengatakan Washington akan memasukkan ke dalam daftar hitam orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan warga sipil, sementara sumber kedua mengatakan mereka yang diincar termasuk para pejabat pemerintah dan keamanan.

Beberapa sumber meremehkan laporan media bahwa pemerintahan Trump merencanakan banyak sanksi sebelum Presiden terpilih Joe Biden menjabat pada 20 Januari. Biden, yang merupakan wakil presiden Obama, mengalahkan Trump dalam pemilihan AS pekan lalu.

Biden sebelumnya mengatakan dia akan kembali ke kesepakatan nuklir Iran 2015. Dalam kesepakatan itu, Teheran setuju membatasi program nuklirnya dengan imbalan berupa pelonggaran sanksi AS dan pihak-pihak lainnya, jika pemerintah Iran terus memenuhi perjanjian.

"Kami telah menjatuhkan sanksi kepada entitas Iran hampir setiap minggu selama enam bulan terakhir. Tidak ada alasan kami akan menginjak rem sekarang, tetapi kami tidak menginjak pedal gas lebih jauh juga," kata pejabat pemerintahan Trump tanpa menyebut nama.

Dua pekan lalu, Departemen Keuangan AS memberikan sanksi melawan terorisme pada para pemain kunci di sektor minyak Iran karena mereka dianggap mendukung Pasukan Quds, organ paramiliter elite Korps Pengawal Revolusioner Islam.

Analis mengatakan bahwa tindakan itu, yang diambil menjelang Pilpres AS 3 November, merupakan salah satu dari langkah-langkah pemerintahan Trump yang berusaha mempersulit pencabutan sanksi jika Biden memenangi kursi Gedung Putih. (ant/dil/jpnn)


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler