jpnn.com, JAKARTA - Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek dan Dikti Kemendikbud Ali Ghufron Mukti mengatakan, kolaborasi menjadi salah satu solusi meningkatkan kualitas publikasi internasional. Hal ini diwujudkan melalui Program World Class Professor (WCP) yang digagas sejak 2017 lalu.
Sementara dari regulasi, pemerintah telah menerbitkan Permenristekdikti Nomor 20 Tahun 2017 Tentang Pemberian Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan Profesor.
BACA JUGA: Prof Ali Ghufron: Ada 3 Hal yang Harus Diubah Para Guru
“Melalui program WCP, kami ingin memperkuat kolaborasi dan jejaring antara dosen dalam negeri dengan profesor kelas dunia dengan konsep sharing resources. Profesor kelas dunia ini tidak hanya orang asing, tetapi sebagian merupakan ilmuwan diaspora Indonesia yang memiliki karier gemilang di perguruan tinggi luar negeri. Tahun ini, ada 84 penerima Program WCP dari 25 perguruan tinggi di berbagai daerah, yang kemudian menghasilkan 120 joint publications,” tutur Dirjen Ghufron dalam pembukaan Annual Seminar World Class Professor, Senin (2/12).
Output dari program WCP adalah menghasilkan manuskrip joint publication di jurnal internasional bereputasi Q-1 Scimago untuk Skema A dan menghasilkan joint publication di jurnal internasional bereputasi Q-2 untuk Skema B.
BACA JUGA: Penghargaan dari Para Ilmuwan Diaspora untuk Ali Ghufron Mukti
Program WCP juga bertujuan meningkatkan kompetensi dosen Indonesia dalam produktivitas riset serta mendorong perguruan tinggi di Tanah Air masuk ranking 500 besar dunia.
Dirjen Ghufron menjelaskan, di era revolusi industri 4.0 dan society 5.0 saat ini, menjadi kompetitif itu penting, tetapi dengan kolaborasi akan lebih menghasilkan sesuatu yang lebih memiliki nilai dan makna.
Seperti halnya dalam menghasilkan publikasi internasional, Dirjen Ghufron menilai, Program WCP ini menjadi suatu arena kerja sama untuk saling memberikan inspirasi yang nantinya berujung pada ide-ide baru (inovasi).
“Jadi kalau ditanya hasil dari banyaknya publikasi itu apa, jawabannya adalah isi dari publikasi itu sendiri. Karena isi dari publikasi tersebut bersifat kebaruan dan menghasilkan inovasi. Sedangkan suatu bangsa tidak bisa maju kalau tidak inovatif,” tuturnya.
Berdasarkan data evaluasi Program WCP tahun 2017-2019, jumlah draft Joint Publication yang masuk sebanyak 162 draft. Sedangkan yang sudah submited sebanyak 92 publikasi. Sementara 91 publikasi tercatat under review, 25 publikasi accepted, serta 45 publikasi telah berstatus published.
Pada kesempatan tersebut, Plt. Rektor Universitas Trisakti itu juga menyinggung mengenai kompetensi dosen Tanah Air. Para dosen perlu memiliki literasi baru, di antaranya literasi data, literasi teknologi, literasi humanities, komunikasi, dan desain, serta lifelong learning. Begitu juga pendidikan tinggi perlu mengembangkan program pembelajaran online untuk menjangkau banyak mahasiswa.
“Menurut riset Profesor Clayton Christensen dari Harvard Business School, pendidikan online akan menjadi cara yang lebih murah bagi mahasiswa untuk mendapatkan pendidikan. Di sisi lain, di Indonesia program studi online masih sedikit, karena kalau program studi online butuh izin tersendiri. Maka dari itu, supaya perguruan tinggi bisa terus bertahan, proses pembelajarannya harus diubah mengarah pada pemanfaatan teknologi. Namun, untuk mewujudkan itu, selain infrastruktur juga dibutuhkan SDM dan kesiapan dosen itu sendiri,” imbuh Dirjen Ghufron.
Selain WCP, Direktorat Jenderal Sumber Daya Iptek Dikti juga memiliki berbagai program peningkatan kualifikasi dan kompetensi dosen, seperti Program Percepatan Doktor melalui Beasiswa Pendidikan Magister menuju Doktor untuk Sarjana Unggul (PMDSU), pemberdayaan ilmuwan diaspora, post doctoral, mobilisasi dosen, hingga sabbatical leave (dosen merenung). (esy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad