"Mereka menganggap semuanya hanya ingin jadikan tanah Papua sebagai bagian dari imperialisme baru, sehingga mereka sikapi itu harus disingkirkan dari tanah mereka," kata La Ode Ida, di gedung DPD, komplek Parlemen, Senayan Jakarta, Kamis (27/12).
Terlebih di saat banyaknya warga Papua yang sudah terdidik dan menyadari potensi sumberdaya alam wilayahnya yang dua kali lebih banyak dari negara Malaysia yang bisa menjadikan mereka bisa lebih sejahtera apabila dikelola sendiri dalam sebuah negara, ujar senator asal Sulawesi Tenggara itu.
"Hal ini pulalah yang menyemangati perjuangan sebagian rakyat Papua untuk membangun negara sendiri sekaligus dianggap sebagai perwujudan hak kelompok etnik untuk menentukan nasib sendiri," kata La Ode Ida.
Apalagi masih ada persepsi kelompok-kelompok gerakan perlawanan terhadap NKRI bahwa masuknya Papua ke dalam NKRI melalui PEPERA tahun 1969 sebenarnya "dipaksakan" sepihak oleh Indonesia, bukan merupakan kehendak sejati warga Papua. "Tepatnya, menurut mereka bukanlah Papua yang masuk ke pangkuan NKRI, melainkan Indonesia-lah yang masuk menduduki Papua dengan alasan bekas jajahan Belanda," imbuh La Ode Ida.
Selain itu lanjutnya, konflik yang terjadi di Papua juga dipicu oleh pemberlakuan otonomi khusus tapi tidak diiringi dengan pengelolaan pemerintahan yang berpihak kepada kepentingan kesejahteraan rakyat lokal.
"Dana Otsus yang dialirkan dari tahun ke tahun yang nominalnya puluhan triliun rupiah belum dirasakan manfaatnya oleh rakyat Papua secara umum kecuali bagi sejumlah oknum pejabat politik dan birokrasi lokal dengan cara menyalahgunakan posisi, jabatan dan kekuasaan elitistik," kata dia.
Sementara pihak Jakarta, menurut La Ode, terkesan mendiamkan praktik ketidakadilan itu terjadi terus-menerus. "Saya menduga sebagian pejabatnya juga memperoleh atau kecipratan materi dari praktik-praktik korup pengelolaan dan Otsus itu," kata La Ode Ida. (fas/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kejagung Rilis Kasus yang Di-SP3
Redaktur : Tim Redaksi