jpnn.com, JAKARTA - Ketua Komite II Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Parlindungan Purba meminta pemerintah memperbaiki kualitas air Danau Toba Sumatera Utara (Sumut).
“Danau Toba menjadi kawasan strategis nasional harus didukung dengan cara masing-masing,” kata Parlindungan dalam diskusi Peningkatan Kualitas Air Danau Toba, di gedung parlemen, Jakarta, Rabu (17/7).
BACA JUGA: 5 Destinasi Wisata Indah Masuk Daftar Prioritas Utama
Dia berharap tujuh pemerintah kabupaten/kota di kawasan Danau Toba, yakni Simalungun, Tobasa, Toba Samosir, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Karo dan Samosir, juga menganggarkan dana untuk pemeliharaan kualitas air di danau terbesar di Indonesia itu. Menurut dia, anggaran jangan hanya dibebankan kepada Pemerintah Provinsi Sumut, pemerintah pusat atau dinas terkait saja.
“Karena ini banyak kementerian yang terkait. Saya tetap optimistis bahwa kualitas air Danau Toba diperbaiki apabila semua terlibat,” ungkapnya.
BACA JUGA: Bagaimana Kondisi Arus Balik Angkutan Penyeberangan di Danau Toba?
Dia mengatakan, pariwisata merupakan unggulan di Danau Toba, tetapi tidak menjadi masalah kalau ada budidaya perikanan lewat keramba jaring apung (KJA). Menurut dia, yang penting ada daya dukung, yakni maksimal 10 ribu ton produksi per tahun sebagaimana yang sudah ditetapkan dalam Peraturan Gubernur Sumut Nomor:188.44/2013/KPTS/2017 tentang Daya Dukung dan Daya Tampung Danau Toba.
Parlindungan mengatakan Pemprov Sumut juga harus tegas melaksanakan Pergub 188/2017. “Yang pertama harus ditepati 10 ribu daya tampung ikan,” tegasnya.
BACA JUGA: Pemerintah Pusat Harus Bersikap Atas Tuntutan Referendum dari Rakyat Aceh
BACA JUGA: Pemerintah Pusat Harus Bersikap Atas Tuntutan Referendum dari Rakyat Aceh
Parlindungan menilai sumber persoalan pencemaran air adalah di pakan ternak. Karena itu, ujar Parlindungan, kualitas fosfor di pakan ternak untuk budidaya perikanan di Danau Toba harus diturunkan. “Kalau seandainya perikanan itu ada, tetapi kuantitas fosfor pakan itu diturunkan maka tidak tercemar itu airnya,” katanya.
Kepala Bidang Penataan dan Peningkatan Kapasitas Lingkungan Hidup Pemprov Sumut Rismawaty mengatakan, dari hasil inventarisasi mereka ada tiga sumber pencemaran air di Danau Toba yakni perikanan, peternakan dan kegiatan rumah tangga atau limbah cair domestik. Dia mengatakan, Pemprov Sumut sudah menetapkan daya tampung perairan Danau Toba pada 2017 terhadap kegiatan KJA yaitu 10 ribu ton per tahun. Serta melakukan penetapan status trofik perairan Danau Toba, yaitu oligotropik.
“Oligotropik merupakan kelas tertinggi mutu air perairan danau Toba yaitu miskin unsur hara dan dijadikan sebagai peruntukannya sebagai air baku, air minum,” katanya. Menurut dia, penetapan KJA 10 ribu ton per tahun secara bertahap sudah kelihatan. Dia menjelaskan, penurunannya memang sudah terjadi secara signifikan. Yakni dari 83 ribu menjadi 46 ribu ton per tahun. “Diharapkan di 2023 secara bertahap nanti tercapai 10 ribu ton ikan per tahun,” jelasnya.
Dia mengatakan, Pemprov Sumut sudah menerbitkan pelarangan izin baru KJA. Menurut dia, melalui surat kepala DLH Sumut sudah menyampaikan kepada tujuh bupati di kawasan Danau Toba untuk melarang penerbitan izin baru KJA. “Karena memang kuotanya itu sudah tidak mencukupi lagi,” katanya.
Direktur Jenderal (Dirjen) Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Lukmi Purwandari mengatakan sejak 2016 KLHK bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan DLH Provinsi Sumut, serta beberapa pakar melakukan kajian terhadap kualitas air Danau Toba. “Pada 2016 itu disimpulkan bahwa kualitas air Danau Toba memang perlu diperbaiki, artinya ditingkatkan kualitasnya,” kata Lukmi di kesempatan itu.
Berdasar hasil kajian, kata dia, KLHK pada 2017 menyurati gubernur Sumut untuk segera menetapkan status trofik, daya dukung dan daya tampung beban pencemaran Danau Toba. KLHK juga meminta diterbitkan peraturan gubernur untuk mengatur hal tersebut. Dia menjelaskan, status trofik itu terkait kecerahan kualitas air, sementara daya tampung beban pencemaran dilihat dengan parameter fosfor.
“Kontributor yang terbesar untuk fosfor ini adalah ternyata dari kegiatan limbah domestik itu sekitar 22 persen, satu lagi dari kegiatan perikanan 78 persen,” katanya.
Dia menjelaskan, pada 2015 produksi ikan dari KJA masyarakat maupun perusahaan di Danau Toba mencapai 83.861 ton per tahun. Pada 2016, turun menjadi 62.023 ton per tahun. Lantas pada 2017 data 46.861 ton per tahun. “Padahal, supaya kualitas airnya memenuhi kualitas oligotropik harus 10.000 ton ikan per tahun. Jadi, masih kurang banyak, tetapi itu kan 2017, sedangkan 2019 kami belum punya data,” katanya.
Menurut Lukmi, ke depan harus ditegaskan pembagian penurunan produksi ikan di Danau Toba di sejumlah kabupaten. Dia menegaskan bahwa penurunan harus dilakukan secara bertahap. “Ini sebenarnya sudah ada kesepakatannya, tinggal pelaksanaannya saja saya kira perlu ditegaskan lagi,” paparnya.
KLHK juga memberikan bimbingan teknis kepada kabupaten/kota, hotel-hotel di sana agar melakukan pengolahan air limbahnya. “Jadi harus diolah dulu kemudian sebelum dibuang harus minta izin di kabupaten/kota,” paparnya. Menurut Lukmi, beban pencemaran dari daerah tangkapan air seperti hotel, kegiatan peternakan, permukiman yang ada di sekitar Danau Toba harus dikurangi. “Itu juga harus dikurangi meskipun kontribusinya sekitar 22 persen, sementara yang terbesar KJA,” katanya.
Dirjen Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Slamet Soebjakto mengatakan sudah ada berbagai aturan terkait pemanfaatan Danau Toba untuk kegiatan perikanan budidaya. Salah satunya yang terbaru adalah Pergub 188/2017.
“Ini saya kira satu peraturan yang terbaru yang menjadi pegangan kami khususnya di perikanan budidaya, khususnya untuk melakukan pengelolaan keramba jaring apung yang berkelanjutan,” katanya.
Dia mengatakan penurunan produksi ikan per tahun harus dilakukan bertahap sampai 10 ribu ton. Penurunan tidak bisa langsung 10.000 ton, mengingat yang mengelola dan membudidayakan ikan adalah masyarakat di sekitarnya.
“Jelas secara ekonomi ini akan sangat berpengaruh,” paparnya. Dia menambahkan KKP sudah membuat aturan dan sosialisasi terkait petunjuk teknis tata cara bagaimana budidaya perikanan di KJA, khususnya di Danau Toba. “Kami menetapkan pakan ikan rendah fosfat,” ungkap Slamet.
Menurut dia, hal itu perlu dibatasi karena salah satu unsur fosfat adalah salah satu unsur bahan kimia yang bisa memicu pertumbuhan plankton yang membuat penurunan kualitas perairan. “Kami sudah menetapkan aturan kepada pabrik pembuat pakan ikan ini khususnya bahan pakan yang di waduk perarian umum termasuk danau Toba itu agar fosfatnya dibatasi,” katanya. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... DPD RI Usulkan RUU Pelayaran Harus Mengutamakan Keselamatan
Redaktur : Tim Redaksi