JAKARTA - Usulan untuk memisahkan pemilu nasional dan pemilu lokal memang sudah lama terdengar. Terutama dalam rangkaian pembahasan paket RUU bidang politik. Suara yang muncul dari kamar para senator di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) ternyata juga sama.
Mereka mendorong pemisahan antara pemilu nasional dan pemilu lokal itu masuk menjadi bagian dari RUU Pemilu yang kini tengah di bahas DPR. "Kita minta dicantolkan lewat pasal peralihan," kata Wakil Ketua Komite I DPD Paulus Yohanes Sumino di gedung parlemen, Rabu (11/1).
Pemisahan pemilu nasional dan pemilu lokal ini, kebetulan menjadi salah satu materi amandemen UUD 1945 yang diusulkan DPD. Pemilu nasional untuk memilih presiden/wapres, anggota DPR, dan anggota DPD dilakukan secara serentak pada 2014.
Sedangkan, pemilu lokal untuk memilih pasangan kepala daerah beserta anggota DPRD mulai provinsi, kabupaten, sampai kota, digelar paling lambat dua tahun kemudian atau pada 2016. Jadi, dalam lima tahun hanya ada dua kali pemilu.
Tanpa harus menunggu amandemen, menurut Paulus, pemisahan ini bisa dilakukan melalui UU Pemilu. Apalagi, itu tidak bertentangan dengan UUD 1945. "Yang penting pemilunya tetap lima tahun sekali kita lakukan," tegasnya.
Selama ini, kata dia, energi bangsa habis untuk mengurus pemilu dan pilkada. Terutama pilkada yang boleh dibilang berjalan tanpa jeda sepanjang tahun dari daerah yang satu ke daerah yang lain. Bahkan, tidak ada pilkada yang tidak disertai gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Akibatnya demokrasi yang sudah mahal menjadi semakin tidak efisien. Dengan menggelar pilkada secara sekaligus dalam format pemilu lokal, hiruk pikuk yang muncul bisa dikurangi. "Jadi, pemisahan ini tujuannya untuk membentuk pemerintahan yang baik, demokratis, sekaligus stabil," kata Paulus.
Dalam diskusi Penerapan Pemilu Terpisah untuk 2014 itu, Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Didik Supriyanto menyampaikan dukungannya. Menurut dia, pemisahan itu sangat realistis untuk mulai diterapkan pada 2014.
RUU Pemilu Legislatif yang tengah dibahas DPR dijadikan UU Pemilu Nasional. "Penegasan bahwa pelaksanaannya dibarengkan dengan pilpres dibuatkan aturan peralihan," katanya. Nanti, dalam RUU Pilpres disusun aturannya.
"Soal masa jabatan DPRD diperpanjang saja (sampai 2016). Soal jabatan kepala daerah juga bisa diatur secara teknis," kata Didik.
Menurut dia, pemisahan pemilu akan membangun pemerintahan yang kuat. Bahkan, akan mendorong terbangunnya struktur kekuasaan yang solid dari level pusat sampai daerah.
"Dalam bayangan saya, koalisi pendukung pasangan capres itu yang harus diteruskan ke daerah saat pemilu lokal," ujar Didik. Saat ini, format koalisi antar daerah dalam pilkada sangat bervariasi. Hampir tak ada korelasi antara satu daerah dengan daerah lain atau dengan format koalisi saat pilpres.
Sekarang dengan koalisi yang berbeda, pemerintahan menjadi tidak efektif," tegasnya. Didik kembali menegaskan pemisahan ini sangat mungkin segera diterapkan, karena pada prinsipnya tidak merubah sistem. "Hanya merubah jadwal saja," kata Didik.
Ketua Pansus RUU Pemilu Arif Wibowo mengatakan pada prinsipnya DPR menyambut baik ide itu. Sekalipun tidak sempat masuk dalam draf RUU, Arif memastikan persoalan "pemilu serentak" akan menjadi salah satu materi yang dibahas.
Sejauh ini, ungkap dia, ada dua opsi. Pertama, memisahkan pemilu nasional dan lokal. Kedua, pemisahannya berdasarkan pemilu legislatif dan pemilu eksekutif yang di dalamnya mencakup pilkada. Arif mengaku kemungkinan besar untuk mengakomodasi salah satunya cukup besar. Tapi, penerapannya tidak mulai 2014.
"Realistisnya mulai 2019," kata politisi muda PDIP, itu. Ada banyak "efek samping" yang harus dipersiapkan antisipasinya. Salah satu konsekuensinya adalah masa jabatan DPRD dan sejumlah kepala daerah harus diperpanjang. "Ini nggak gampang. Melihat kondisi objektif di lapangan, potensi konflik itu sangat nyata," tandasnya. (pri)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sidang MK Ributkan Poligami Cawako
Redaktur : Tim Redaksi