jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua DPD RI Sultan B Najamudin memberikan dukungan terhadap Undang-Undang larangan minuman beralkohol.
“Saya yakin UU Larangan Minol akan berdampak baik bagi ekonomi secara jangka panjang. Sebab dari asumsi besaran hilangnya pendapatan negara dari cukai pendapatan beralkohol tidak sebanding dengan manfaat dari pelarangan minuman beralkohol,” ujar Sultan dalam siaran pers, Selasa (25/5).
BACA JUGA: RUU Minuman Beralkohol Harus Mengatur 4 Hal
Sebab, menurutnya kita dapat mengurangi dampak kerugian ekonomi berupa turunnya produktivitas masyarakat karena peredaran alkohol, tingkat kecelakaan dan gangguan kesehatan jangka panjang yang menghambat pencapaian bonus demografi yang berkualitas.
Senator muda asal Bengkulu tersebut juga menjelaskan salah satu tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara wajib melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta memajukan kesejahteraan umum.
BACA JUGA: Soal RUU Minol, Fahira: Saya Agak Bingung dengan Beberapa Anggota Dewan
Jadi, menurut Sultan, kedua tujuan tersebut dapat ditafsirkan mencakup pula perlindungan masyarakat dari bahaya minuman beralkohol dalam menciptakan masyarakat yang sehat dan sejahtera.
“Kesehatan itu merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang mesti diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia,” tegas Sultan.
BACA JUGA: Dukung RUU Minol, PKS: Pemabuk Biang Kerok Gangguan Sosial
Setiap orang berhak mendapatkan perlindungan serta jaminan kesehatan, juga berhak mendapatkan rasa aman dari bahaya minuman beralkohol beserta dampak yang ditimbulkan.
Hal ini sebelumnya juga mendapat perhatian dari Pengamat Ekonomi Bhima Yudhistira yang berpendapat bahwa penerimaan yang dihasilkan dari cukai minuman keras tidak sebanding dengan dampak yang ditimbulkan dari konsumsi minuman beralkohol, salah satunya sektor ekonomi.
“Keuntungan negara bisa dilihat dari penerimaan cukai minuman beralkohol dan etil alkohol nilainya masing-masing Rp5,76 triliun dan Rp240 miliar sepanjang 2020. Jika digabungkan nilainya cuma Rp6 triliun atau setara 3,5 persen dari penerimaan cukai hasil tembakau (rokok). Jadi kecil sekali sebenarnya keuntungan yang diperoleh negara,” ujar Bhima, Senin (24/5/2021).
Sementara, lanjut Bhima, dampak dari peredaran Minol ini sangat berisiko bagi perekonomian.
Menurut dia, jika mengambil studi yang dilakukan Montarat (2009) pada 12 negara menyebutkan bahwa beban ekonomi dari minuman beralkohol adalah 0,45% hingga 5,44% dari PDB.
"Jika dilihat, angka PDB Indonesia pada 2020 adalah Rp15.434 triliun. Jika mengambil angka yang sama dengan Amerika Serikat atau 1,66% maka di Indonesia kerugian setara dengan Rp256 triliun," katanya.
Dia menilai tentu beban ekonomi dari Minol ini sangat besar, bahkan lebih tinggi dari belanja kesehatan total di 2020 yakni Rp212,5 triliun.
Sedangkan saat antar-fraksi saat melakukan rapat di Badan Legislasi (Baleg) DPR pada Kamis (14/1). RUU Larangan Minuman Beralkohol akhirnya ditetapkan sebagai Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021.
Sejak tahun lalu, beleid ini menjadi sorotan, karena tidak hanya melarang orang mengonsumsi dan memproduksi, tetapi tiap orang juga dilarang memasukkan, menyimpan, mengedarkan, dan/atau menjual minuman beralkohol di wilayah RI. Mereka yang melanggar pun dikenai sanksi pidana.
Terakhir, Sultan juga menginginkan agar pemerintah dapat mengembangkan sektor lainnya yang dapat memberikan manfaat ekonomi dengan dampak peningkatan penyerapan sektor tenaga kerja seperti pertanian, pengolahan (industrialisasi) komoditas dan ekonomi digital.
"Kita memasuki era perkembangan ekonomi digital. Maka, ada baiknya pemerintah lebih konsentrasi terhadap regulasi skema penerapan ekonomi digital di Indonesia daripada mengembangkan produksi serta peredaran minuman beralkohol di Indonesia,” ujar Sultan.
Menurut Sultan, semua kebijakan bukan hanya ditinjau dari aspek keuntungan jangka pendek, tetapi juga dalam bagan ekonomi secara jangka panjang.(ikl/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich