jpnn.com, JAKARTA - Rancangan Undang-Undang Larangan Minuman Beralkohol (Minol) dianggap menjadi investasi moral bagi bangsa Indonesia.
Regulasi yang ada sekarang dianggap belum cukup untuk menciptakan generasi yang bebas minol.
BACA JUGA: Dukung DPR Sahkan RUU Larangan Minol, HNW: Papua Bisa jadi Inspirasi
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Bukhori Yusuf mengungkap Indonesia saat ini sudah dalam keadaan amat darurat minol.
Menurutnya, bila merujuk hasil riset kesehatan dasar (riskesdas) Kemenkes, jumlah remaja yang mengonsumsi minuman beralkohol 4,9 persen.
BACA JUGA: Fahira Tantang Parpol dan Capres Untuk Selesaikan RUU Minol
Selain itu, berdasar data World Health Organization (WHO) pada 2011 menunjukkan sebanyak 2,5 juta penduduk dunia yang meninggal akibat alkohol.
Sekitar sembilan persen kematian tersebut terjadi pada umur 15-29 tahun atau usia produktif.
BACA JUGA: Dukung RUU Minol, Sekjen MUI Jadikan Papua Contoh Kasus
Menurutnya, butuh pendekatan yang lebih progresif untuk menyelamatkan masa depan bangsa dari dampak merusak minol.
Sebab, model regulasi yang ada saat ini hanya bertumpu pada pendekatan pengendalian semata.
"Sehingga terbukti gagal bila mengacu pada data yang menunjukkan sekitar 58 persen tindakan kriminal di Indonesia dipicu oleh minuman beralkohol," ujarnya, Jumat (13/11).
Ironinya, kata Bukhori, sekitar 14,4 juta remaja di Indonesia telah teridentifikasi sebagai pengonsumsi minol.
Menurut dia, ini berarti bonus demografi yang diperoleh di kemudian hari juga dibayangi bahaya minol yang mengintai generasi usia produktif, bila tidak ada perhatian serius yang melarangnya.
Anggota Komisi VIII DPR itu menilai manusia sebagai makhluk berakal dan secara fitrah menolak minuman beralkohol kecuali dalam keadaan tertentu.
Alasannya, kata dia, minuman yang memabukkan sekurang-kurangnya akan memberikan tiga dampak negatif.
“Pertama, dampak buruk bagi kesehatan," tegasnya.
Menurutnya, minol bisa mengakibatkan kerusakan hati, ginjal, gangguan jantung, bahkan kelemahan kognitif bagi anak di kemudian hari bila dikonsumsi oleh ibu hamil.
"Kedua, adalah dampak psikis, antara lain gangguan daya ingat dan kemampuan berbahasa serta perubahan kepribadian ke arah destruktif,” sambungnya.
Ketiga, dampak sosial. Secara fakta sosial, ujar dia, para pemabuk adalah biang kerok terjadinya gangguan sosial di tengah masyarakat seperti tawuran maupun tindak kejahatan lainnya sehingga merugikan orang lain.
Nah, Ketua DPP PKS itu mencermati bahwa regulasi yang sudah ada (eksisting) bersifat parsial dan tidak komprehensif.
Misalnya, ia mencontohkan, dalam ketentuan KUHP pendekatan hukum hanya menyasar pada ranah penjualan dan konsumsi dengan sanksi pidana dan penjara yang lemah.
"Apalagi, tidak ada klausul yang tegas melarang konsumsi minol di KUHP," katanya.
Karena itu, ia menilai KUHP tidak cukup memadai untuk melakukan rekayasa sosial di masyarakat dalam rangka menciptakan generasi yang bebas minol.
“Sementara dalam RUU Minol ini, kami mencoba merumuskan aturan yang lebih komprehensif, yakni mulai dari ranah produksi, distribusi atau pengedaran, sampai ranah konsumsi," ungkapnya.
Kendati demikian, Bukhori mengaku pihaknya juga tetap memerhatikan dengan seksama terkait pengecualian konsumsi minol untuk kepentingan terbatas.
"Seperti kepentingan adat, ritual keagamaan, wisatawan, dan kebutuhan farmasi,” katanya.
Menurut Bukhori, RUU ini merupakan investasi moral bagi kebaikan masa depan Indonesia.
Ia menjelaskan, dengan menekan jumlah peredaran minol melalui peraturan memadai, diharapkan tercipta sumber daya manusia Indonesia yang sehat secara jasmani dan rohani.
"Serta kondisi masyarakat yang hidup sejahtera lahir dan batin sebagaimana amanat UUD 1945," pungkasnya. (boy/jpnn)
Yuk, Simak Juga Video ini!
Redaktur & Reporter : Boy