jpnn.com, JAKARTA - Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia menilai perlu ada penataan ulang pengelolaan koperasi di Indonesia. Hal ini karena perkembangan koperasi masih jauh dari yang diharapkan.
Hal ini tertuang dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) Komite IV DPD RI di Gedung Parlemen, Rabu (13/9). "Ketika kami reses kemarin, banyak koperasi yang tinggal papan nama dan tidak ada kegiatannya, ada juga dilaporkan di kanwil koperasi itu tercatat tapi koperasi sudah tidak ada. Tata kelola koperasi juga masih jauh dari yang diharapkan,” kata Wakil Ketua Komite IV Ayi Hambali.
BACA JUGA: Impor LNG, Kebijakan Energi Nasional Lemah
Ayi menambahkan dari rapat dengan akademisi dan praktisi koperasi, diharapkan bisa diketahui kondisi koperasi saat ini. Narasumber yang hadir, Ketua Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Koperasi, Suroto mengatakan bahwa problem mendasar koperasi adalah Koperasi belum berkembang karena paradigma perkoperasian yang jauh dari pengertian koperasi yang benar, yaitu manusia ditempatkan sebagai yang utama.
Diskriminasi terhadap koperasi juga masih terjadi. “Di Washington itu poliklinik dan rumah sakit bisa berdiri dan kepimilikannya atas nama koperasi, sedangkan di Indonesia kepemilikan RS itu harus dari PT,” ujarnya.
BACA JUGA: DPD Sesalkan Tak Ada Sanksi Untuk RS Mitra Keluarga
Selain itu di Indonesia itu koperasi harus dibentuk minimal 20 orang padahal dari regulasinya bisa dibentuk oleh satu orang atau lebih.
Menurut Suroto, kebijakan pemerintah harus dimulai dari proses rehabilitasi, karena 71 persen koperasi di Indonesia itu hanya sebatas papan nama dan sisanya masih ada yang berupa rentenir berjubah koperasi.
BACA JUGA: DPD RI: Indonesia Jadi Contoh Kerukunan untuk Myanmar
Efektivitas deputi pengawasan koperasi juga masih kurang, karena dalam tiga tahun belum selesai pengontrolan dan pembubaran koperasi, padahal harusnya dalam satu tahun sudah rampung.
Koperasi harus diberikan free pajak, karena yang memberatkan itu kan dari regulasi PP 43 th 2014. Para pengusaha besar malah dikasih tax holliday dimana investo dengan pengendapan dana 500 miliar.
Sementara itu narasumber yang juga akademisi IPB, Dr. Lukman Baga mengatakan UU 17 th 2012 dibatalkan karena tidak sesuai dengan kebutuhan koperasi dan harus kembali uu no 25 th 1992 yang banyak terdapat ambiguitas.
"Seharusnya digugat juga ke mahkamah konstitusi, soal beberapa pasal dari UU 25 tahun 1995, karena masih belum memenuhi kebutuhan perkopreasian Indonesia,” ucapnya.
Koperasi simpan pinjam (KSP) harus dikembangkan sebagai penyelamat cashflow anggota, yang menjadi basis pembiayaan sektor ril sehingga proses perputaran lebih besar. Luqman berharap kedepan KSP bisa dikembangkan dengan bagi hasil bukan sistem bunga.
Pada kesempatan yang sama akademisi IPB Maryono, KSP ada fenomena di koperasi yang sedikit aneh, kemandirian koperasi menggunakan dana pihak ketiga untuk kegiatan simpan pinjam, “Tidak ada lagi penarikan dana dari anggota, sehingga menyebabkan koperasi tidak mandiri lagi karena menggunakan dana pihak ketiga,” jelasnya.
Anggota DPD RI dapil Jambi Hj. Daryati, menyampaikan bahwa syarat menjadi anggota koperasi masih memberatkan, “Masuk koperasi mengharuskan ada simpanan wajib, nah kasihan masyarakat yang butuh dana tapi harus endapkan dana dulu, akhirnya mereka pinjam ke rentenir, mungkin ada solusi yang lebih baik khususnya buat masyarakat desa yang kurang mampu,” pungkasnya.
Sedangkan anggota DPD RI dapil Jawa Timur, Budiono, dirinya menyoroti dana desa yang melimpah di desa tapi tidak bisa digunakan oleh koperasi. “Posisi dana desa dengan peraturan yang ada harus bentuk bumdes yang harus PT, sehingga koperasi tidak bisa masuk. Dana yang relatif banyak di desa, itu tidak bisa dikelola koperasi, harus ada skema yang bisa digunakan,” tegasnya. (adv/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... DPD: Percayakan Daerah Kelola Dana Desa Sesuai Kebutuhan
Redaktur : Tim Redaksi