jpnn.com, JAKARTA - Komite III DPD menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja dan meminta DPR menghentikan pembahasannya.
“Komite III DPD RI menolak RUU Cipta Kerja dan meminta DPR RI untuk menghentikan pembahasan RUU Cipta Kerja,” kata Wakil Ketua Komite III DPD M. Rahman dalam siaran persnya, Sabtu (18/4).
BACA JUGA: RUU Cipta Kerja Dinilai Jadi Langkah Konkret Pemulihan Ekonomi PascaCovid-19
Menurutnya, RUU Cipta Kerja hanya dominan dalam peningkatan investasi tanpa mempertimbangkan hak-hak pekerja, asas desentralisasi, dan aspek lainnya.
Ia menambahkan, RUU Cipta kerja juga cacat formil karena tidak melibatkan unsur partisipasi masyarakat dalam proses pembentukannya sebagaimana amanat UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan juncto UU Nomor 15 Tahun 2019.
BACA JUGA: RUU Cipta Kerja Diyakini Ampuh Memulihkan Ekonomi Pascapandemi Corona
Menurutnya, RUU ini bertentangan dengan asas otonomi daerah (otda) di Pasal 18 Ayat 2 dan Ayat 5 UUD 1945. Asas otda itu mengakui keberadaan pemerintah daerah (pemda) provinsi, kabupaten/kota yang menganut asas otonomi seluas-luasnya dan tugas pembantuan.
Dia menegaskan, RUU Cipta Kerja melanggar hak asasi warga negara. Seperti hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, jaminan kesehatan, pendidikan yang dijamin dan dilindungi konstitusi. “Serta melepaskan kewajiban negara untuk menyediakan dan memberikan hak-hak tersebut kepada swasta dan atau asing,” ujarnya.
Menurutnya, RUU ini akan menimbulkan ketidakpastian hukum karena dalam hal terjadinya pelanggaran, tidak jelas norma hukum mana yang harus diterapkan. Hal ini, kata dia, mengingat norma tentang pelanggaran dan atau sanksi dalam UU yang menjadi muatan RUU Cipta Kerja itu beberapa di antaranya tidak direvisi atau dicabut.
Ia menambahkan, RUU ini menghapus semua kewenangan pemda dalam hal pendaftaran serta perizinan berusaha. Kewenangan itu dialihkan ke pemerintah pusat. RUU ini hanya memberikan kewenangan pemda melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan otda, selain pendaftaran dan perizinan berusaha.
Ia menjelaskan, Pasal 75 RUU ini mengubah beberapa ketentuan dalam UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.
Kewajiban Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) untuk melaporkan kepada pemerintah pusat bukan kepada Kanwil Agama setempat, setiap pembukaan kantor cabangnya di luar domisili perusahaan, merupakan kebijakan yang tidak efektif dan efisien serta berpotensi menimbulkan birokrasi baru.
Selain itu, lanjut dia, Pasal 89 RUU Cipta Kerja mengubah beberapa ketentuan dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dia menjelaskan secara substansi, isi RUU Cipta Kerja sangat bertentangan dengan Pasal 27 Ayat 2 dan 28D Ayat 2 UUD 1945, karena menghilangkan perlindungan dan kesejahteraan pekerja.
Misalnya, terkait upah minimum, upah, waktu kerja, pesangon, penggunaan tenaga outsourcing, penempatan tenaga kerja asing.
Dia menjelaskan, konsep dasar dari fungsi upah minimum ditujukan sebagai jaring pengaman sosial. Upah minimum diberikan atau berlaku bagi pekerja dengan masa kerja kurang dari satu tahun. Penetapan upah minimum didasarkan pada standar Kebutuhan Hidup Layak (KHL).
Oleh karena itu, kata Rahman, penetapan upah minimum seharusnya menjadi kewenangan bukan saja gubernur untuk UMP tingkat provinsi, tetapi juga bupati/wali kota untuk tingkat kabupetan/kota.
“Karena tujuannya sebagai jaring pengaman dan memenuhi kebutuhan layak pekerja, maka penerapan upah minimum bersifat wajib bagi seluruh sektor usaha,” jelasnya.
Selain itu, Rahman menambahkan, tidak masuk kerja tak boleh menjadi alasan tidak dibayarkannya upah kepada pekerja. Meurut dia, pekerja yang tidak masuk kerja dengan alasan-alasan tertentu tetap berhak atas upah.
Ia menambahkan, kebijakan pengupahan nasional yang akan disusun pemerintah pusat dalam bentuk Peraturan Pemerintah tidak boleh menetapkan perihal nominal upah minimum yang menjadi kewenangan gubernur dan bupati/wali kota untuk menetapkannya.
Sisi lain, kata dia, waktu kerja paling lama 8 jam sehari dan 40 jam seminggu merupakan syarat limitatif yang ditentukan oleh UU. Oleh karena itu, dalam hal pengusaha hendak melakukan pengecualian terhadap waktu kerja yang melebihi waktu kerja tersebut wajib mendapatkan izin dari dinas tenaga kerja setempat dan memberikan upah lembur kepada pekerja.
Ia menambahkan, RUU ini hanya mewajibkan pengusaha memberikan uang pesangon dan atau uang penghargaan kepada pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja. Padahal, kata dia, dalam UU Ketenagakerjaan, selain kedua hal itu, pengusaha juga diwajibkan memberikan uang penggantian hak seperti hak cuti, hak ongkos transportasi, uang perawatan dan pengobatan.
“RUU Cipta Kerja juga menghapus ketentuan Pasal 163, Pasal 164, Pasal 166, Pasal 167, Pasal 169, dan Pasal 172 UU Ketenegakerjaan yang di dalamnya mengatur ketentuan pemberian uang pesangon dua kali lipat,” ungkap Rahman.
Selain itu, kata dia, penggunaan tenaga alih daya atau outsourcing harus dibatasi pada pekerjaan tertentu saja, yakni pekerjaan yang sifatnya penunjang atau bukan pokok, dan hanya berlaku bagi perjanjian kerja waktu tertentu.
Rahman menegaskan RUU Cipta Kerja dapat dipastikan mengekalkan liberalisasi tenaga kerja asing (TKA) di Indonesia. (boy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Boy