DPR Desak Pemerintah Selamatkan Aset Eks BPPN

Senin, 04 Juni 2012 – 22:35 WIB

JAKARTA – Anggota Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) Dewan Perwakilan Rakyat, Abdilla Fauzi Achmad meminta pemerintah segera mengusut tuntas hilangnya aset negara eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Permintaan ini menyusul didasarkan pada audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menemukan terdapat sekitar Rp38,11 triliun aset eks BPPN yang belum diselamatkan.

“Saya kira, perlu diselamatkan aset ampas eks BPPN ini. Kalau  aset negara yang lenyap bisa kembali, saya kira bisa memberikan dampak positif bagi APBN,” ujar Abdilla Fauzi Achmad di Jakarta, Senin (4/6).

BPK menyatakan pencatatan aset eks BPPN masih amburadul akibat kelemahan dalam perhitungan dan penilaian aset eks BPPN. Meskipun ada sebagian kini dialihkan ke PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA).

Aset eks BPPN yang telah diserahkan kepada Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) senilai Rp11,18 triliun tidak didukung oleh dokumen sumber yang valid. Selain itu, aset eks BPPN berupa tagihan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) Rp8,68 triliun belum didukung dengan dokumen kesepakatan dengan pemegang saham.

Masalah yang lain yaitu aset eks BPPN berupa properti sebanyak 917 item belum dinilai. “Kita tentu sangat prihatin jika aset eks BPPN itu benar-benar hilang tak berbekas,” kata pria yang akrab dipanggil Fauzi ini.

Fauzi menjelaskan, raibnya aset eks BPPN ini menggambarkan penanganan aset eks BPPN masih amburadul akibat kelemahan perhitungan penilaian oleh oknum pejabat yang berwenang saat itu. Karena itu, ia meminta pemerintah agar serius mengusut kasus ini.

“Ongkos penyehatan perbankan kita memang mengusik rasa keadilan rakyat karena biaya krisis tersebut dipikul oleh rakyat Indonesia lewat APBN. Sementara segelintir bankir, pengusaha dan pejabat serta mantan pejabat yang telah berpesta-pora dengan uang tersebut, hampir semua justru masih berkeliaran bebas,” katanya.

Hingga saat ini kata dia, pemerintah terbebani bunga obligasi rekap setiap tahun sekitar 60 triliun rupiah yang pada akhirnya membuat kondisi APBN tidak sehat, terutama dalam mendukung pertumbuhan ekonomi.

“BLBI dalam jumlah besar yang sudah dikucurkan menjadi beban seluruh rakyat. Karena untuk menutupi BLBI itu, pemerintah menerbitkan obligasi yang pokok dan bunganya dibayar APBN. Ini jelas tidak adil,” tegas dia.

Untuk itu, Fauzi berharap agar Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) berusaha maksimal mengembalikan uang negara yang diterima perbankan melalui fasilitas BLBI tanpa melupakan kasus korupsi uang negara lainnya.

Menurut dia, penuntasan kasus BLBI akan menjadi pintu masuk guna mengusut kasus bailout sejumlah Rp653,8 triliun. Apalagi, pengusutan kasus korupsi semakin terbuka lebar setelah dunia internasional menyatakan kejahatan korupsi sebagai "extra ordinary crime" atau kejahatan yang luar biasa. "Makanya, perlu terobosan yang luar biasa pula. Tanpa ada terobosan yang berani dari KPK, mustahil BLBI bisa tuntas,” ucapnya.

Selain langkah hukum, langkah penuntasan BLBI harus dibarengi dengan upaya menuntut kekurangan pembayaran sejumlah obligor BLBI yang nilai asetnya ternyata lebih rendah dari nilai aset yang tercantum ketika aset tersebut diserahkan.

“Saya desak, para pengemplang BLBI untuk mengembalikan uang negara yang telah dinikmatinya. Berhentilah membebani rakyat Indonesia dengan pembayaran kewajiban utang yang bahkan tidak sedikitpun mereka rasakan,” tegas dia.

Dia meminta pemerintah dan kita semua harus tegas, apalagi mereka yang mendapat BLBI sudah banyak yang jadi kaya raya lagi. Padahal, mereka yang kaya raya itu, ada sebagian yang memakan duit rakyat lewat BLBI.

”Beban utang negara akibat BLBI harus ditanggung sampai puluhan tahun ke depan. Keuangan negara menderita kerugian luar biasa, ketidakadilan terus berlanjut. Dan saya kira, saatnya wewujudkan rasa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," pungkas Fauzi. (fas/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Distribusi Gula ke Indonesia Timur Tersendat


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler