DPR Dukung Satgas Pangan Tindak Mafia dan Kartel Pangan

Kamis, 27 Juli 2017 – 21:31 WIB
Menteri Pertanian Amran Sulaiman (memegang mikrofon) dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian (berpeci) usai penggerebekan gudang beras bersubsidi milik PT IBU di Bekasi, Jawa Barat, Kamis (20/7) malam. Foto: Kementan

jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi IV DPR RI, Firman Subagyo, mengapresiasi kerja-kerja Satuan Tugas (Satgas) Pangan yang menindak mafia dan kartel di sektor kebutuhan pokok.

Sebab, keberadaan Satgas Pangan terbukti efektif dalam membantu terwujudnya stabilitas harga dan stok, termasuk di waktu-waktu tertentu.

BACA JUGA: MUI-Pemerintah Bersinergi Wujudkan Ekonomi Umat di Sektor Pertanian

"Itu dibuktikan dengan stabilnya harga-harga pas Ramadan sampai Lebaran kemarin. Lebaran kemarin, kan harga sangat stabil, tidak ada gejolak. Padahal, sebelumnya selalu bergejolak," ujar Firman saat dihubungi kemarin.

Dukungan juga diberikan, karena sebelumnya mafia dan kartel pangan sulit tersentuh aparatur hukum. Padahal, banyak pemain yang menguasai berbagai komoditas. Padahal, pangan merupakan amanat konstitusi dan hak asasi agar bisa bertahan hidup.

BACA JUGA: Penggerebekan PT IBU Berdampak pada Ketakutan Pengusaha Beras?

"Gula ada pemainnya, kedelai ada pemainnya, beras ada pemainnya, daging ada pemainnya, jagung ada pemainnya, garam ada pemainnya, singkong apalagi. Semua sudah ada pemainnya," ungkap Firman.

Ketika para mafia dan kartel tersebut belum bisa 'diamankan', mereka dengan sesuka hati mempermainkan harga di hulu atau petani hingga hilir alias konsumen.

BACA JUGA: Satgas Pangan Diduga Menyalahi Prosedur Saat Menggerebek PT IBU

Caranya, memborong semua hasil panen petani dan disimpannya di gudang untuk waktu tertentu hingga stok barang di pasar menipis. Ketika situasi telah terjadi demikian, mereka lalu menjualnya dengan harga tinggi.

"Iya, konsep kartel kan begitu. (Kelangkaan, red) dibuat mereka, supply demand dikuasai mereka, dan Bulog (Badan Urusan Logistik) tidak bisa mengatasi persoalan ini," beber politisi Golkar itu.

Bulog sebagai instrumen negara untuk mengendalikan harga pangan kerap terhambat dan sulit berkompetisi dengan perusahaan swasta, lantaran segala kebijakannya dibatasi oleh peraturan perundang-undangan. Jika melanggar, maka kena 'semprit' aparat hukum.

Sedangkan korporasi, lebih fleksibel karena berkuasa penuh atas sumber daya yang dimilikinya serta bebas membeli atau menjual barang dengan harga murah hingga mahal.

"Namanya pedagang, sudah pintar hitung-hitungannya. Apalagi, kalau dia sudah menguasai, bahwa hasil panen dibeli semua, distok semua," ucapnya. Karenanya, adakalanya justru Bulog membeli barang dari swasta dengan harga tinggi.

Firman mengungkapkan, bermain di sektor pangan sangat menggiurkan. Sebab, tanpa perlu kerja keras dan hanya main kertas, namun mendapatkan untung besar.

"Coba dia kalau membeli gabah kering Rp 4.900/kg, tapi dia bisa menjual beras sampai Rp13.000/kg, bahkan Rp 20 ribu kg beras premium. Yang diuntungkan siapa?" tanyanya.

Padahal, Firman mengingatkan, para pengusaha nakal tersebut tidak pernah membantu petani, baik dalam memenuhi kebutuhan bercocok tanam hingga penyediaan sarana prasarana infrastruktur. Justru, semuanya dibiayai negara melalui subsidi dan bantuan.

Kata legislator asal daerah pemilihan Jawa Tengah III itu, tanpa adanya tindakan tegas terhadap para kartel dan mafia tersebut, maka masa depan Indonesia ke depan bakal terpuruk.

"Negara agraris, tapi industri pertanian dikuasai asing, ini berbahaya. Indonesia penduduknya besar, jumlah kebutuhan sangat tinggi. Tetapi ketika tidak bisa membendung kartel, ini bahaya," tegasnya.

Di sisi lain, menurut Firman, sepantasnya masalah penggerebakan gudang beras milik PT Indo Beras Unggul (IBU) Satgas Pangan tidak dilihat secara parsial, sehingga berpolemik seperti beberapa hari terakhir.

Misalnya, tidak sebatas dilihat dari aspek kerugian negara atau beras miskin (raskin) saja. Namun, dimensi lain, mengingat persoalan tersebut sangat kompleks.

"Complicated-nya adalah adanya pelanggaran terhadap Undang-Undang Pangan, di mana Undang-Undang Pangan itu meminta pengusaha-pengusaha tidak boleh menyetok pangan secara besar-besaran dan itu ada batas waktunya. Ini harus menjadi concern kita bersama," paparnya.

Kemudian, harus 'dibaca' dari para pemain di komoditas beras dan wilayah yang dikuasainya. "Kan kelompok mereka juga di Sidrap sana. PT lain di Jawa Timur, di Siduarjo, di Sragen, itu ada. Itu milik kelompok lain," urainya.

Firman mengaku, tak keberatasan dengan strategi swasta yang membeli gabah petani dengan harga tinggi. Tetapi, komoditas tersebut jangan distok terlalu lama, sehingga menyebabkan kelangkaan di masyarakat.

Hal lain yang patut diperhatikan ialah jajaran petinggi yang ada di perusahaan swasta. Kebanyakan posisi ini dijabat mantan pejabat di Bulog maupun Depot Logistik (Dolog).

"Yang saya dengar, PT IBU ini juga deminisioner Bulog juga. Makanya, Bulog itu harus diperbaiki dari tingkat paling bawah di Dolog-Dolog. ini orang lama, jago-jago main juga," katanya.

Dia berharap, Satgas Pangan tidak berhenti dalam mengungkap mafia dan kartel pangan, tanpa pandang bulu. Terlebih, Firman telah mengungkapkan persoalan tersebut sejak lama.

"Saya pernah katakan kepada Mabes Polri juga. Hanya, waktu itu tidak direspons. Tahun pertama pemerintahan Pak Jokowi, juga pernah saya sampaikan yang di Jawa Timur, daerah-daerah lain," tutup Alumni Universitas Gadjah Mada (UGM) ini.(jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Menteri Amran Tidak Berkompromi dengan Mafia dan Kartel


Redaktur & Reporter : Yessy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler