DPR: Pemerintah Wajib Melindungi Penyandang Disabilitas

Sabtu, 29 Agustus 2020 – 02:55 WIB
Anggota Komisi X DPR Ledia Hanifa. Foto: tangkapan layar/Mesya

jpnn.com, JAKARTA - Dalam rapat pembahasan RUU Cipta Kerja yang memasuki soal perizinan bangunan gedung berbagai ketentuan dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung dihapus. Termasuk menghapus pasal 27 dan pasal 31 UU No 28 Tahun 2002 yang secara khusus memberikan kewajiban aksesibilitas bagi penyandang disabilitas dan lansia.

Anggota Baleg Ledia Hanifa Amaliah segera mengingatkan komitmen perlindungan Pemerintah kepada para Penyandang Disabilitas.

BACA JUGA: Komisi IV DPR RI Perkuat Pengawasan Implementasi Pupuk Bersubsidi

“Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas, pemerintah wajib menyediakan aksesibilitas bagi para penyandang disabilitas di antaranya dengan menyediakan sarana prasarana termasuk bangunan gedung yang ramah disabilitas. Ketika amanah dalam undang-undang ini mewajibkan aksesibilitas tetapi dalam omnibus law hal ini malah dihapuskan kami sangat khawatir hal ini bisa menghambat upaya perwujudan kesetaraan hak bagi para penyandang disabilitas,” kata mantan ketua Panja RUU Disabilitas tahun 2014 ini.

Pasal 25 dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja memang mengubah beberapa ketentuan terkait prasyarat mendapat izin dan sertifikat laik fungsi sebelum mendirikan bangunan dan gedung, termasuk. Di antaranya menghapus pasal 27 dan pasal 31 UU No 28 Tahun 2002 yang secara khusus memberikan kewajiban aksesibilitas bagi penyandang disabilitas dan lansia.

BACA JUGA: Gus Jazil: Maksimalkan Potensi Maritim Indonesia Demi Kesejahteraan Rakyat

Semua ketentuan berupa Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) ini kemudian dijanjikan akan dimuat di dalam Peraturan Pemerintah. Bahkan berbagai proses ini akan dipercepat pula lewat jalan kemudahan pengurusan secara online.

Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Fraksi PKS ini kembali mengingatkan. “Dengan adanya ketentuan definitif dalam undang-undang saja kita masih sering menemukan kelolosan banyak bangunan yang tidak sesuai prasyarat UU No 28 Tahun 2002. Apalagi kalau tidak tertera di dalam undang-undang, tentu semakin tidak ada rasa keharusan memenuhi ketentuan sebelum mengajukan permohonan perizinan dan sertifikat laik fungsi ini.”

BACA JUGA: Sultan: Pemberdayaan Kawasan Maritim Harus Kedepankan Prinsip Keadilan

Ledia kemudian memberi contoh langsung pada Gedung DPR/MPR RI. Menurutnya, gedung DPR ini misalnya, saat dirinya membahas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas sekitar tahun 2015, bertanya tentang apakah Gedung DPR ini memiliki sertifikat laik fungsi?

“Dijawab secara tegas oleh orang PU ada, tetapi pada kenyataannya Gedung DPRI RI ini kan tidak ramah disabilitas, juga lansia. Bahkan toilet yang ada tidak bisa dimasuki pengguna kursi roda. Jadi di mana letak laik fungsinya sementara ada syarat yang tidak terpenuhi yaitu syarat aksesibilitas yang padahal tercantum dalam undang-undang? Sampai akhirnya baru dalam satu dua tahun terakhir mulai direnovasi, dibuat sarana-sarana yang akan mengakomodir aksesibilitas tersebut, dibuat ramp dan saat ini tengah dibuat eskalator.”

Karena itu, Legislator dari Dapil Kota Bandung dan Cimahi ini menegaskan bahwa bila segala ketentuan prasayarat akan dimasukkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah maka NSPK nya haruslah berisi semua rincian teknis secara lengkap dan rinci.

“Semua ketentuan prasyarat teknis yang ada dalam Undang-Undang eksisting No 28 Tahun 2002 Tentang Bangungan Gedung dan yang diamanahkan dalam Undang-Undang No 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas harus tertera secara jelas, lengkap, rinci. Sebab daya paksa Peraturan Pemerintah kan tidak sekuat Undang-Undang. Kalau tanpa uraian teknis yang jelas, lengkap dan rinci ini akan semakin menghambat implementasi di lapangan.”

Tak hanya itu, Ledia juga menegaskan agar Sertifikat Laik Fungsi tidak hanya diberikan sekali untuk selamanya melainkan harus ada evaluasi secara berkala.

Menurutnya, pemberian Sertifikat Laik fungsi pada dasarnya harus jelas standarnya, tampak identifikasi risiko historisnya, dan harus tampak pula tingkat kepatuhannya.

“Maka SLF ini harus pula dievaluasi secara berkala untuk mengantisipasi perubahan-perubahan baik secara fisik bangunan maupun peraturan. Kalau ini dilakukan kita bisa bersama mencegah RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini hadir dengan meninggalkan para penyandang disabilitas di luar kepedulian kita.(jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler