jpnn.com, JAKARTA - Masuknya RUU BUMDes dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) ternyata cukup mengejutkan beberapa pihak, terutama dari kalangan anggota DPR RI.
RUU BUMDes merupakan RUU yang murni diinisiasi oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI) dan masuk daftar Prolegnas tanpa ‘koreksi’ DPR. Pertanyaan mengenai kewenangan DPD RI pun mencuat kembali.
BACA JUGA: BUMDes Sidapurna Sambangi Gudang Rapel Yogyakarta, Nih Tujuannya
Salah satunya datang dari Wakil Ketua Komisi V DPR RI Muhammad Arwani Thomafi. Arwani menyebut bahwa usulan tersebut hanya sekadar pendapat dari DPD RI, namun segala keputusan tetap berada di tangan anggota DPR.
“Jadi, tidak melalui Baleg lagi. Oleh Presiden lalu terbit Surpres ke Pimpinan DPR kemudian Rapat Badan Musyawarah (Bamus) menugaskan Komisi V. Jadi, ini baru ada RUU dari DPD di periode kali ini dan selama kerja-kerja legislasi,” kata Arwani dilansir salah satu portal online pad Jumat (20/8/2020).
BACA JUGA: Kemendes PDTT Sebut 61 Persen Desa Telah Memiliki BUMNDes
Tak hanya Arwani, Kepala Badan Keahlian DPR RI Inosentios Syamsul juga memberikan tanggapan. Menurut Inosentius, berdasarkan pasal 20 ayat 2 UUD 1945 bahwa setiap RUU dibahas oleh DPR bersama Presiden. Bukan dengan DPD. Karena itu, menurutnya, seluruh jalannya persidangan harus dikendalikan oleh DPR.
Kisruh soal kewenangan tersebut, anggota DPD RI Filep Wamafma pun turut geram. Menurutnya, DPR RI tak seharusnya sibuk mempertanyakan ranah kewenangan usulan RUU tersebut.
BACA JUGA: Usut Korupsi Pengadaan Lahan, KPK Kembali Garap Eks Dirut BUMD DKI
“Sejatinya, kewenangan legislasi DPD RI tidak boleh diragukan. Baca lagi Pasal 22D ayat 1, 2 dan 3 UUD 1945 serta Putusan MK yang mengafirmasi kembali posisi DPD,” tegas alumnus magister Hukum Unhas ini.
Menurut Filep, konstruksi Pasal 22D yang terdapat pada Konstitusi tersebut menggarisbawahi sejauh mana peran DPD dalam mengajukan usulan RUU, membahas, dan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan UU.
Namun, menurut Filep, dalam proses perumusan UU, DPD RI sering kali hanyalah dijadikan pelengkap, sebagaimana dalam Pasal 22 D disebutkan kata “ikut”, yang sekadar bermakna “partisipasi”, suatu constitutional participant, yang perannya sangat terbatas.
Jika ditilik dari Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012, MK secara tegas mengafirmasi kembali posisi DPD yaitu: (1) terlibat dalam pembuatan Program Legislasi guna mewakili kepentingan daerah, (2) berhak mengajukan RUU sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, (3) membahas RUU secara penuh dan bukan sekadar partisipan, sehingga DPR dan Pemerintah tidak boleh membatasi ruang DPD terkait hal ini.
Sementara terkait pengajuan RUU, MK memutuskan bahwa kedudukan DPD sama dengan DPR dan Presiden dalam hal mengajukan RUU.
DPD juga dapat mengajukan RUU di luar Prolegnas, dan usul RUU dari DPD tidak menjadi usul RUU DPR, sehingga pembahasan RUU dilakukan secara tripartit antara Presiden, DPD, dan DPR, atau bukan diwakili/berhadapan dengan fraksi-fraksi di DPR.
Atas dasar pertimbangan tersebutlah, Filep menekankan agar kisruh soal kewenangan DPD RI harus ditanggapi secara tegas.
“Pernyataan anggota DPR RI tersebut keliru dan merendahkan institusi DPD RI, kita minta agar yang bersangkutan menyampaikan permohonan maaf dan layak ditegur oleh Ketua fraksi yang bersangkutan. Seharusnya ia kita berlapang dada untuk bersama-sama melakukan tugas-tugas konstitusional, bebas dari segala kepentingan lainnya,” tegas Wakil Ketua I Komite I DPD RI ini.
Dengan demikian, menurut Filep, dalam konteks RUU BUMDes, pembahasan RUU ini harus diberlakukan secara sama sebagaimana bila RUU berasal dari inisiatif Presiden ataupun DPR.
“Dalam hal pembahasan RUU yang diusulkan oleh DPD, MK berpendapat bahwa DPD diberikan kesempatan untuk memberikan penjelasan, sedangkan DPR dan Presiden memberikan pandangan. Maka sesungguhnya tidak ada alasan untuk menolak atau merasa ragu dengan RUU yang diusulkan DPD RI,” kata Filep.
Dia menyebut bahwa DPD memiliki kewenangan penuh dan tak terbagi terkait pengusulan RUU BUMDes. DPD memiliki hak untuk memberikan penjelasan terkait RUU ini, yang kemudian akan ditanggapi secara tripartit oleh Presiden dan DPR.
“Sekarang tentu saja yang menentukan ialah pertarungan politik tripartit ini. Bagaimanapun juga, selalu ada kepentingan dalam pertentangan pembahasan RUU menjadi UU,” ujar Senator dari Papua Barat itu.(jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich