jpnn.com, JAKARTA - Persoalan masuknya kapal Tiongkok ke perairan Natuna terus memicu kontroversi. Anggota Komisi I DPR Willy Aditya mengatakan sikap pemerintah yang tidak bernegosiasi terkait Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) di Natuna sudah tepat dan legal dalam perspektif hukum internasional.
Menurut Willy, perbedaan bahasa yang disampaikan ke publik antara Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan (LBP), itu hanya cara saja.
BACA JUGA: Jokowi Akhirnya Bicara soal Kemelut Natuna
"Semua kompak tidak mengakui apa yang diklaim Tiongkok di atas ZEE kita di Natuna," kata Willy saat dihubungi jpnn.com, Senin (6/1).
Menurut Ketua DPP Partai NasDem ini, menempatkan alat negara seperti kapal besar di wilayah-wilayah perbatasan itu juga bagian mandat pemerintah menjaga kedaulatan RI.
BACA JUGA: Tokoh Masyarakat Lokal: Natuna Sudah Masuk Wilayah Indonesia!
Menurut dia, itu bukan hanya terkait intrusi Tiongkok di Natuna. Semua wilayah perbatasan harus dijaga dengan cara menghadirkan alat negara di sana.
"Sudah benar apa yang sudah dilakukan oleh TNI sejauh ini," tegas wakil ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR itu.
BACA JUGA: Fadli Zon Diam Seribu Bahasa, Kok Enggak Kritik Prabowo Soal Kapal Tiongkok di Laut Natuna?
Intinya, Willy menegaskan pendekatan pertahanan yang dilakukan oleh pemerintah di wilayah perbatasan harus komprehensif. “Pendekatan militer satu hal, Coast Guard atau Bakamla juga penting, selain itu pendekatan ekonomi politik," ujar jebolan Cranfield University, Inggris, itu.
Menurutnya, wilayah-wilayah perbatasan harus juga dibangun sebagai pusat aktivitas ekonomi. Masyarakat berdekatan harus bisa hidup dari perbatasan itu. "Sebab siapa dari kita yang mau perang? Saya kira tidak ada yang menginginkannya," kata pria kelahiran Solok, Sumatera Barat, 12 April 1978 itu.
Willy menilai pernyataan Prabowo yang meminta untuk kalem, tidak usah dibesar-besarkan. Untuk menjaga dan menegakkan kedaulatan tidak harus dengan keributan.
Menurut Willy, ada cara-cara beradab yang bisa jadi pilihan. Dia menegaskan pikiran militeristik bisa mengacaukan stabilitas dunia. Salah satu deklarator organisasi kemasyarakatan Nasional Demokrat itu menegaskan bahwa tenang bukan berarti tidak berstrategi.
"Nah, strategi ini yang kita tunggu. Ketika Prabowo merespon kasus Natuna ini dengan pikiran sipil, apa yang salah? Jangan-jangan kita terlalu mengidolakan militerisme yang kita sendiri sudah kritik jauh-jauh hari," ujar Willy.
Legislator dari dapil Jawa Timur XI ini mengatakan kalau pikiran militerisme yang terus menjadi pertimbangan, maka jangan heran kalau nanti di wilayah isu lainnya juga akan menggunakan pendekatan yang sama.
"Toh, baik Prabowo maupun LBP tetap dalam satu panduan bahwa tidak ada negosiasi untuk ZEE kita yang telah legal dan diakui dunia internasional. Keduanya juga tentu paham proxy-proxy Tiongkok yang bermain," papar Willy.
Dia menambahkan luasnya wilayah Indonesia yang berbatasan dengan negara lain menuntut infrastruktur juga harus dibangun maksimal.
Menurut dia, kapasitas anggaran pendapatan belanja negara (APBN) kalau dimakimalkan untuk membangun infrastruktur pertahanan itu cukup, tetapi akan banyak alokasi lainnya yang akan terpotong.
"Nanti media dan masyarakat sipil juga akan ribut kalau APBN diarahkan ke anggaran pertahanan terlalu besar. Satu per satu kita selesaikan tanpa harus banyak yang dikorbankan," jelas Willy.
Terkait investasi Tiongkok, Willy menilai kecil sekali pengaruhnya, kalau tidak bisa dibilang tak ada. Menurut dia, investasi Tiongkok tidak peduli soal selain keuntungan dan perputaran uangnya. Bayangkan, kata Willy, kalau uang beredar di Tiongkok itu sangat besar karena mereka berhenti invest, maka krisis yang akan terjadi di sana.
Menurut Willy, lihat saja di negara yang menurut standar Amerika dan lainnya pelanggaran HAM-nya besar saja, Tiongkok tetap invest. Bahkan di wilayah yang konflik dan kering sumber daya Tiongkok berani invest. "Jadi, jangan bayangkan hanya karena satu soal ZEE ini lalu Tiongkok akan berhenti investasi," tegasnya.
Willy mengatakan sudah kerap menyampaikan bahwa soal bersahabat, investasi, dan pelanggaran harus didudukkan pada porsinya masing-masing. Kalau dicampur-campur, itu bisa menjadi kegamangan bahkan masalah baru.
Kedaulatan RI itu kewajiban pemerintah untuk menegakkannya sesuai konstitusi. Persahabatan antarnegara itu berdasarkan politik luar negeri bebas-aktif dan membangun kerja sama konstruktif.
Investasi itu hubungan ekonomis yang sederajat, atau bahasa hukumnya hubungan perdata.
“Kita punya hal yang tidak dipunya negara lain dan yakin bahwa apa yang kita punya bisa menguntungkan kedua belah pihak itulah kenapa kita mengundang investasi," katanya.
“Jadi kalau Tiongkok tidak mau invest membangun pabrik garmen di Jawa Tengah karena Indonesia tidak mengizinkan nelayannya masuk ZEE Natuna, ya tidak perlu diundang investasi," ungkapnya.(boy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Boy