jpnn.com, JAKARTA - Anggota Dewan menyindir langkah Badan Pusat Statistik (BPS) yang ikut mendukung langkah pemerintah impor beras 2 juta ton, padahal datanya menunjukkan adanya surplus produksi beras 2,8 juta ton.
BPS dinilai terlalu jauh dan melenceng dari tugas pokok dan fungsinya dalam melaksanakan tugas pemerintahan di bidang statistik.
BACA JUGA: Petani Bawang Putih Sembalun Bersemangat Lagi
“Bukan bagian dia itu (memberikan dukungan atas kebijakan impor beras),” demikian dikatakan Anggota Komisi XI DPR RI, Heri Gunawan di Jakarta, Jumat (26/10).
Politisi Partai Gerindra ini menekankan tugas BPS paling utama adalah mensinergikan data produksi yang dimilikinya kepada kementerian dan lembaga terkait. Artinya, BPS harus memastikan bahwa data produksi yang diperolehnya betul-betul diolah dengan menggunakan metode yang tepat.
BACA JUGA: Dua Sertifikasi Ini Kunci Ekspor Telur Tetas dan Daging Ayam
“Data itu pula menjadi dasar bagi pemerintah untuk menetapkan sebuah kebijakan,” terangnya.
Sayangnya, Heri menilai BPS telah bertindak terlalu jauh dengan membuat interpretasi pembenaran terhadap kebijakan impor beras pemerintah dengan dalih data yang diolahnya sendiri. “Ini yang repot kalau jalan sendiri-sendiri,” akuinya.
BACA JUGA: Sistem Sertifikasi Karantina Langkah Kementan Dukung Ekspor
Lebih lanjut Heri mengatakan, hal ini akan sangat fatal jika BPS ikut memberikan penekanan terhadap sebuah kebijakan. Apalagi jika sampai kebijakan tersebut keliru.
“Saya khawatir penekanan oleh BPS ini kemudian disikapi dalam kebijakan importase pangan lainnya seperti importase gula yang sebelumnya ramai karena diprotes oleh petani gula. Biar nggak digoreng-goreng,” katanya.
Oleh sebab itu, Heri meminta BPS lebih fokus dalam mempertanggungjawabkan data yang dimilikinya. Sehingga data tersebut bisa dikoordinasikan dengan lembaga lain sebagai dasar memutuskan kebijakan. Terlebih data BPS ini juga menimbulkan pertanyaan besar lantaran produksi surplus ini malah menunjukkan adanya indikasi kesalahan kebijakan dalam impor beras yang dilakukan pemerintah.
“Sebab surplus ini sejatinya menunjukkan bahwa produksi petani mencukupi kebutuhan dalam negeri sehingga tidak impor. Kalau sinkron (red.produksi beras surplus) berarti ada data keliru kok ada impor,” tutur dia.
Makanya, sambung Heri, ketimbang memicu polemik baru lagi di publik, BPS harus bersinergi dengan Kemendag, Kementan, Bulog dan instansi pemerintah lainnya. Sebab pada akhirnya, data BPS ini jadi pijakan pemerintah dalam mengambil sebuah kebijakan seperti dalam importase pangan.
“Langkah BPS mengumbar data ke publik dan memberikan penekanan pada kebijakan hanya berpotensi memicu polemik baru di ruang publik,” tegasnya.
“Bagi saya itu informasi (red.produksi beras surplus) positif. Kita bersyukur untuk itu. Cuma akan lebih baik kalau BPS sinergikan dengan kementarian dan lembaga lainnya,” imbuhnya.
Karena itu, Heri berharap hal seperti itu agar bisa saling koreksi, sehingga akhirnya kan pemerintah nyaman dalam memutuskan kebijakan.
Hal senada dilontarkan Anggota Komisi IV DPR RI Andi Akmal Pasluddin. Menurutnya, harusnya BPS hanya berbicara dalam tataran pengumpulan data. Tidak kemudian ikut memberikan pembenaran terhadap kebijakan impor beras yang diambil pemerintah.
“Tidak etis BPS bicara perlu tidaknya impor. BPS itu cukup berbicara bahwa data dia bisa dipercaya dengan menggunakan teknologi yang meyakinkan kita semua bahwa (data) BPS itu benar,” katanya.
BPS, lanjut politisi PKS ini, diberikan anggaran yang lumayan besar untuk memastikan bahwa data-data yang jadi pijakan pemerintah dalam mengambil kebijakan valid dan bisa dipertanggungjawabkan. Tidak kemudian ujug-ujug ikut memberikan penekanan terhadap perlu tidaknya impor.
“Bagi DPR dan Pemerintah yang penting data (BPS) benar, mengenai perlu tidaknya impor itu urusan DPR bersama pemerintah,” tegas dia.
Menurutnya, justru sangat aneh kalau BPS ikut memberikan penekanan terhadap impor beras 2 juta ton tersebut. Sebab data surplus beras 2,8 juta ton malah makin menguatkan indikasi adanya kebijakan ugal-ugalan dalam menetapkan impor pangan.
“Itu ugal-ugalan karena angkanya sangat besar. Jadi bukan masalah haramkan impor itu, tapi karena jumlahnya itu yang sangat besar,” tegasnya.
Untuk itu, pria Alumnus IPB ini menyarankan BPS cukup berpedoman pada tupoksinya sebagaimana diatur undang-undang. Tidak kemudia ikut cawe-cawa dalam memberikan penilaian perlu tidaknya impor beras itu yang seharusnya merupakan tugas DPR dan Pemerintah.
“Nanti DPR curiga ada apa BPS bicara impor dalam tanda kutip ikut mendukung kebijakan impor. Ini bahaya. Kita dukung BPS professional, jangan mau didikte, sampaikan saja datanya apa adanya. Soal kebijakan itu urusan pemerintah bersama DPR. Walau BPS di bawah pemerintah tapi harus jadi lembaga kredibel yang dipercaya. Berbahaya kalau data itu dipolitisir, diintervensi sehingga tidak diyakini kebenarannya,” tandas Akmal.
Sebelumnya, Kepala BPS Kecuk Suhari¬yanto ikut menjelaskan alasan pemerintah terpaksa impor beras walau data dari lembaga yang dipimpinnya menunjukkan ada surplus 2,8 juta ton hingga akhir tahun.
"Kenapa masih impor? Karena surplus (beras) ini tidak ter¬letak di satu tempat. Surplus (keberadaannya) tersebar di petani, konsumen, pedagang, penggilingan sehingga, tidak bisa dijadikan sebagai acuan cadangan beras nasional. Itu tidak bisa dikelola pemerintah," ungkap Kecuk saat jumpa pers mengenai metode baru penghitungan produksi padi, di Jakarta.(jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Peningkatan Mutu Benih Penting untuk Dorong Produksi Pangan
Redaktur : Tim Redaksi