DPR: Tinjau Ulang Keputusan Pembukaan Sekolah di Zona Kuning

Sabtu, 08 Agustus 2020 – 17:58 WIB
Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, Bramantyo Suwondo. Foto: Humas DPR RI

jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, Bramantyo Suwondo berharap kebijakan pembukaan sekolah di zona kuning dipikirkan kembali karena berisiko pada penambahan kasus penularan Covid-19.

Politikus Demokrat yang akrab disapa Mas Bram ini mengatakan diizinkannya pembukaan sekolah di zona kuning merupakan langkah yang tidak tepat di saat kasus Covid-19 masih meningkat dan belum memperlihatkan tanda pelandaian.

BACA JUGA: Pembukaan Sekolah di Zona Hijau dan Kuning Harus Disetujui 4 Pihak Ini

Menurut Bram, pemerintah seharusnya fokus dalam mengendalikan penyebaran Covid-19 terlebih dahulu, agar situasi aman dapat tercapai dan kegiatan belajar mengajar (KBM) tatap muka bisa kembali dilakukan.

“Perkantoran yang diharapkan bisa menjalankan protokol kesehatan dengan disiplin saja justru melahirkan klaster baru. Bagaimana dengan sekolah? Keputusan ini sangat berisiko. Seharusnya, pemerintah bekerja lebih cepat dan tepat agar jumlah zona hijau makin banyak, bukannya justru memaksakan relaksasi pembukaan sekolah di zona kuning,” ungkap Mas Bram kepada wartawan Sabtu (8/8/2020).

BACA JUGA: Pemerintah Tidak Paksakan Daerah Zona Hijau dan Kuning Membuka Sekolah

Untuk diketahui, Mendikbud Nadiem Makarim pada Jumat, 7 Agustus 2020, mengumumkan sekolah di zona hijau dan kuning diperbolehkan melaksanakan pembelajaran tatap muka. Kebijakan ini berdasarkan revisi Surat Keputusan Bersama (SKB) empat menteri, yakni Mendikbud, Menteri Agama (Menag), Menteri Dalam Negeri (Mendagri), dan Menteri Kesehatan (Menkes).

Menurut data dari Satgas Penanganan Covid-19, proporsi anak Indonesia usia 6-18 tahun yang menderita Covid-19 sebanyak 6,8 persen, dengan tingkat kematian 1,1 persen.

BACA JUGA: Komentar Legislator Cantik Ini Bikin Ketar-ketir Orang yang Terlibat Dalam Kasus Pelarian Djoko Tjandra

Secara global, baru-baru ini WHO mengumumkan proporsi orang berusia 15-24 yang menderita Covid-19 naik dari 4,5 persen pada Februari menjadi 15 persen pada Juli 2020.

Ketua Satgas Covid-19 IDAI bahkan mengatakan ada 8000-an anak yang terkonfirmasi positif Covid-19, dengan mayoritas tertular dari orang dewasa di sekitarnya. Artinya, anak-anak usia sekolah pun sangat rentan tertular Covid-19.

Bramantyo menyayangkan revisi SKB 4 Menteri dilaksanakan tanpa evaluasi yang jelas terhadap sekolah di zona hijau yang telah menjalankan KBM tatap muka terlebih dahulu. Nyatanya, di zona hijau pun KBM tatap muka masih berkendala dan berisiko tinggi.

Di Kalimantan Barat, KBM tatap muka akhirnya ditunda karena tiga orang guru dinyatakan positif Covid-19. Di Sumatera Barat, seorang guru dan operator sekolah diketahui positif setelah sekolah telanjur dibuka, akibatnya sekolah pun ditutup kembali.

Di Bengkulu, 17 orang anak menderita Covid-19 karena tertular dari orang tua dan teman, sehingga sekolah diliburkan. Zona hijau di Bengkulu yang membuka sekolah pada 20 Juli 2020 pun berubah menjadi zona merah hanya dalam dua pekan

Bramantyo mengungkapkan pengumuman revisi SKB 4 Menteri kemarin meninggalkan banyak kejanggalan dan pertanyaan.

“Contohnya, jarak tempuh dan transportasi siswa serta guru dari rumah ke sekolah tidak diatur. Apakah yang tinggal di zona merah atau oranye tetap boleh masuk ke sekolah di zona kuning? Apakah boleh naik kendaraan umum? Apakah akan dilaksanakan tes massal sebelum sekolah dibuka? Zonasi Covid-19 ini bersifat sangat dinamis dan selama tidak ada pembatasan mobilitas, risiko penyebaran akan terus meningkat,” ujarnya.

“Jumlah zona kuning dan hijau dalam paparan Mendikbud dan Ketua BNPB pada konferensi kemarin saja berbeda. Seharusnya pemerintah mengevaluasi sekolah di zona hijau terlebih dahulu, kemudian mengidentifikasi kendaladan praktik baiknya, sebelum memutuskan relaksasi ini.”

Mas Bram menyadari bahwa pembelajaran jarak jauh (PJJ) hingga kini masih belum dilaksanakan secara optimal, banyak permasalahan yang muncul mulai dari beban tugas siswa hingga keterbatasan akses dan kemampuan finansial untuk mendukung PJJ.

Namun demikian, pembukaan sekolah kembali bukan solusi ideal saat ini dan tidak boleh diputuskan dengan buru-buru.

Mas Bram mengatakan jika permasalahan utamanya adalah PJJ, sebaiknya pemerintah mengalokasikan anggaran yang lebih untuk membantu PJJ. Cukup banyak dari anggaran penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sejumlah Rp 695,2 triliun itu yang belum terserap secara maksimal. Pemerintah bisa mengalokasikan sebagian anggaran tersebut untuk mendukung pendidikan di masa pandemi dan meningkatkan kualitas PJJ.

Bersama Komisi X, Bramantyo menyatakan bahwa pihaknya sudah mendorong penyusunan dan penerapan kurikulum darurat sejak awal masa pandemi. Namun, pihak Kemendikbud kurang menanggapi rekomendasi ini di awal dan baru memutuskan penggunaan kurikulum darurat saat pengumuman SKB 4 Menteri lalu.

Menurutnya, tidak adanya kurikulum darurat sejak awal telah membingungkan guru dan menyulitkan siswa serta orang tua yang salah kaprah memaknai capaian belajar selama PJJ.

“Belajar dari hal ini, sosialisasi tentang kurikulum darurat dan modul pembelajaran harus dilaksanakan sebaik mungkin. Kemendikbud harus menjalin kerja sama yang erat dengan Dinas dan pihak terkait agar kurikulum darurat diimplementasikan dengan maksimal sehingga PJJ bisa berjalan lebih optimal tanpa membebani,” ucap Bramantyo.

Di samping itu, Bramantyo mengimbau pemerintah daerah, sekolah, dan orang tua murid di zona kuning untuk ekstra hati-hati dalam mengambil keputusan sebelum mengizinkan KBM tatap muka.

“Saya sadar bahwa tidak semua sekolah dapat memenuhi persyaratan protokol kesehatan. Banyak yang masih belum memiliki toilet layak ataupun wastafel dengan aliran air bersih. Saya berharap pemerintah pusat meninjau ulang keputusan relaksasi ini.

Bram berharap pemerintah daerah, sekolah, dan orang tua murid dapat menimbang risiko yang ada. Anak-anak Indonesia memang berhak atas pendidikan yang layak, tetapi utamanya, mereka juga memiliki hak untuk hidup dan hak untuk sehat.(fri/jpnn)

Jangan Lewatkan Video Terbaru:


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler