JAKARTA - Anggota Komisi IX DPR Okky Asokawati mengatakan kasus malpraktik dalam kenyataannya masih banyak terjadi. Bahkan beberapa organisasi kedokteran pun berusaha menutup-nutupi kesalahan yang dilakukan rekan seprofesinya. Hal tersebut terungkap dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara komisi kesehatan dengan keluarga para korban malpraktek, Dirjen BUK Kemenkes, IDI, KKI, pimpinan sebuah rumah sakit dari Medan, Jakarta dan NTT 15 Januari 2012.
"Ketika dugaan malpraktik tersebut disorot oleh para anggota Komisi IX, IDI (Ikatan Dolter Indonesia) maupun KKI (Konsil Kedokteran Indonesia) terlihat tidak transparan untuk menjelaskan posisi masing-masing RS dengan para korban. Bahkan ada kasus yang lambannya direspon oleh pihak MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia)," kata Okky.
Politisi Partai Persatuan Pembangunan itu menambahkan selama ini memang yang terasa adalah adanya usaha dari para dokter untuk menutup tutupi kesalahan rekan sesama dokter.
Bahkan ketika MKDKI melakukan sidang untuk meminta pertanggung jawaban dari seorang dokter sidang tersebut bersifat tertutup. "Conspiracy of Silence dari para dokter tersebut membuat masyarakat seolah olah mengalami kesulitan untuk membuktikan adanya dugaan malpraktik. Sampai saat ini ada dokter yang mendapat sanksi pidana rasanya belum pernah terjadi," katanya.
Di lain sisi, lanjut dia, masyarakat sendiri masih belum menyadari secara utuh bahwa mereka memiliki hak untuk mengajukan ketidak puasan atau bahkan melaporkan adanya dugaan malpraktek pada suatu pusat pelayanan kesehatan.
Masalah yang dihadapi oleh para pasien itu apakah masalah hukum, etika kedokteran atau disiplin kedokteran, merekapun tidak faham tentang hal itu. Dan kemana mereka harus melapor juga tidak disosialisasikan dengan baik oleh pemerintah (Kemenkes, IDI atau KKI).
"Saya yakin banyak kasus-kasus malpraktik yang tidak disuarakan karena keluarga pasien menerima begitu saja dan pasrah dengan nasib yang menimpa. Masyarakat perlu diberi kesadaran bahwa mereka mempunyai hak untuk mengetahui kondisi yang sebenarnya," ungkapnya.
Okky mendesak kepada pemerintah khususnya Direktorat Bina Upaya Kesehatan pada Kemenkes serta IDI agar melakukan sosialisasi advokasi dan edukasi kepada masyarakat mengenai mekanisme pelaporan bila terjadi hal-hal yang dirasakan tidak semestinya. "Hal ini sangat penting agar kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan di Republik ini tetap terjaga baik. Apalagi BPJS Kesehatan akan segera beroperasi pada 1 Januari 2014," kata Okky.
Hanya saja, sambung Okky, ketersediaan fasilitas untuk melaporkan komplain pasien juga tidak maskimal. Setidaknya saat saya melakukan reses beberapa waktu lalu ke RSCM, lokasi tempat dimana pasien bisa melaporkan keluhannya (complaint mechanism) itupun jauh di belakang di pojok yang kumuh dan tidak ada tanda-tanda yang mengarahkan menuju ke tempat tersebut.
Beberapa kasus malpraktik yang tengaj disorot DPR adalah yang dialami pasien MS. Saat ini dia tidak dapat buang air kecil. Kini sepasang selang dipasang pada kedua ginjalnya. Hal itu terjadi karena komplikasi operasi pengangkatan rahim yang mengakibatkan kandung kemihnya ikut tersayat yang dilakukan di sebuah RS di Medan.
Pasien lain yaitu R, seorang anak laki berusia 10 tahun, hingga saat ini mengalami kelumpuhan, buta dan kaku otot setelah dilakukan operasi usus buntu. Komplikasi anestesi adalah penyebabnya. R dioperasi di RS di Jakarta.
Terakhir adalah pasien berinisial E. Dia adalah seorang anak yang meninggal dunia pertengahan tahun lalu di RS di NTT, setelah kepadanya dilakukan tranfusi melalui suntikkan. (boy/jpnn)
"Ketika dugaan malpraktik tersebut disorot oleh para anggota Komisi IX, IDI (Ikatan Dolter Indonesia) maupun KKI (Konsil Kedokteran Indonesia) terlihat tidak transparan untuk menjelaskan posisi masing-masing RS dengan para korban. Bahkan ada kasus yang lambannya direspon oleh pihak MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia)," kata Okky.
Politisi Partai Persatuan Pembangunan itu menambahkan selama ini memang yang terasa adalah adanya usaha dari para dokter untuk menutup tutupi kesalahan rekan sesama dokter.
Bahkan ketika MKDKI melakukan sidang untuk meminta pertanggung jawaban dari seorang dokter sidang tersebut bersifat tertutup. "Conspiracy of Silence dari para dokter tersebut membuat masyarakat seolah olah mengalami kesulitan untuk membuktikan adanya dugaan malpraktik. Sampai saat ini ada dokter yang mendapat sanksi pidana rasanya belum pernah terjadi," katanya.
Di lain sisi, lanjut dia, masyarakat sendiri masih belum menyadari secara utuh bahwa mereka memiliki hak untuk mengajukan ketidak puasan atau bahkan melaporkan adanya dugaan malpraktek pada suatu pusat pelayanan kesehatan.
Masalah yang dihadapi oleh para pasien itu apakah masalah hukum, etika kedokteran atau disiplin kedokteran, merekapun tidak faham tentang hal itu. Dan kemana mereka harus melapor juga tidak disosialisasikan dengan baik oleh pemerintah (Kemenkes, IDI atau KKI).
"Saya yakin banyak kasus-kasus malpraktik yang tidak disuarakan karena keluarga pasien menerima begitu saja dan pasrah dengan nasib yang menimpa. Masyarakat perlu diberi kesadaran bahwa mereka mempunyai hak untuk mengetahui kondisi yang sebenarnya," ungkapnya.
Okky mendesak kepada pemerintah khususnya Direktorat Bina Upaya Kesehatan pada Kemenkes serta IDI agar melakukan sosialisasi advokasi dan edukasi kepada masyarakat mengenai mekanisme pelaporan bila terjadi hal-hal yang dirasakan tidak semestinya. "Hal ini sangat penting agar kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan di Republik ini tetap terjaga baik. Apalagi BPJS Kesehatan akan segera beroperasi pada 1 Januari 2014," kata Okky.
Hanya saja, sambung Okky, ketersediaan fasilitas untuk melaporkan komplain pasien juga tidak maskimal. Setidaknya saat saya melakukan reses beberapa waktu lalu ke RSCM, lokasi tempat dimana pasien bisa melaporkan keluhannya (complaint mechanism) itupun jauh di belakang di pojok yang kumuh dan tidak ada tanda-tanda yang mengarahkan menuju ke tempat tersebut.
Beberapa kasus malpraktik yang tengaj disorot DPR adalah yang dialami pasien MS. Saat ini dia tidak dapat buang air kecil. Kini sepasang selang dipasang pada kedua ginjalnya. Hal itu terjadi karena komplikasi operasi pengangkatan rahim yang mengakibatkan kandung kemihnya ikut tersayat yang dilakukan di sebuah RS di Medan.
Pasien lain yaitu R, seorang anak laki berusia 10 tahun, hingga saat ini mengalami kelumpuhan, buta dan kaku otot setelah dilakukan operasi usus buntu. Komplikasi anestesi adalah penyebabnya. R dioperasi di RS di Jakarta.
Terakhir adalah pasien berinisial E. Dia adalah seorang anak yang meninggal dunia pertengahan tahun lalu di RS di NTT, setelah kepadanya dilakukan tranfusi melalui suntikkan. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... NU Sepakat Ibadah di Jalanan Hukumnya Haram
Redaktur : Tim Redaksi