DPR: Utang Belum Mendorong Produktivitas

Minggu, 20 Agustus 2017 – 23:17 WIB
Anggota DPR Komisi XI DPR RI, Ecky Awal Mucharam. Foto: FPKS DPR

jpnn.com, JAKARTA - Anggota DPR Komisi XI DPR RI, Ecky Awal Mucharam mengingatkan agar pemerintah waspada terhadap utang. Pasalnya, defisit pada RAPBN 2018 ditargetkan mencapai Rp 325 triliun.

Ecky mengatakan defisit anggaran pada tahun 2017 saja menyebabkan rasio utang terhadap PDB diperkirakan mencapai 28,9 persen, dengan penambahan utang baru pada APBN 2018, maka rasio utang akan mendekati 30 persen.

BACA JUGA: 2018, Anggaran Kementerian PUPR Prioritaskan Empat Sektor

“Hal tersebut perlu menjadi perhatian serius, karena tren rasio utang terhadap PDB terus meningkat selama tiga tahun terakhir, dimana pada tahun 2014 hanya sebesar 25 persen. Hal ini menjadi indikasi bahwa utang dilakukan belum dapat mendorong produktifitas,” kata Ecky kepada wartawan, Minggu (20/8).

Menurut Ecky, perlu dicermati bahwa utang menjadi beban anggaran dari tahun ke tahun, melalui pembayaran bunga utang. Beban ini semakin besar dari tahun ke tahun.

BACA JUGA: Inilah Capaian Kinerja Kementerian PUPR selama 2,5 Tahun

Pada tahun 2015, pembayaran kewajiban utang Pemerintah mencapai Rp 155 triliun atau 8,6 persen dari belanja negara. Angka ini melonjak menjadi Rp 182 triliun atau 9,7 persen dari belanja negara.

Pada tahun 2017, berdasarkan APBN 2017, kewajiban bunga utang Pemerintah diperkirakan mencapai Rp 220 triliun dan pada RAPBN 2018 yang diajukan Pemerintah, beban ini mencapai Rp 247 triliun atau 11,2 persen dari Belanja negara.

BACA JUGA: Dana Bansos dan Subsidi Bertambah, Anak Buah Prabowo Curigai Pemerintah

Lebih lanjut, Ecky menekankan bahwa beban pembayaran bunga utang pada RAPBN 2018 tersebut jauh lebih tinggi daripada belanja subsidi dan belanja fungsi perlindungan sosial yang berturut-turut hanya sebesar Rp 172 triliun dan Rp 162 triliun.

Ecky Awal mengingatkan pemerintah bahwa penambahan utang harus diimbangi dengan pelaksanaan program yang optimal, sehingga utang yang dikeluarkan tidak sia-sia.

Ecky mengatakan defisit pada tahun 2015 dan 2016 tidak terencana dengan baik terbukti tidak dapat terserap dengan baik. Hal ini terlihat dari besarnya Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) Pemerintah yang pada tahun 2015 dan 2016 berturut-turut sebesar Rp 24 triliun dan Rp 26 triliun.

Adanya SiLPA artinya Pemerintah merugi karena sudah berutang tetapi tidak digunakan. Akibatnya selain sudah menanggung beban bunga yang ada, Pemerintah kehilangan peluang (missed opportunity) untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui belanja Pemerintah,” tambahnya.(fri/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... RAPBN 2018, Anggaran Pendidikan Naik Rp 14,2 Triliun


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler