jpnn.com, JAKARTA - Spesialis penyakit dalam dan konsultan hematologi onkologi medik Dr Ralph Girson Ginarsa, SpPD-KHOM mengatakan terdapat beberapa opsi terapi kanker paru yang disesuaikan dengan ukuran, cakupan, tipe kanker paru, dan kondisi kesehatan pasien secara umum.
Dia mengatakan gejala kanker paru sering kali tidak nampak pada stadium awal sebab tanda-tandanya serupa dengan penyakit umum lain seperti TBC ataupun dampak dari kebiasaan merokok jangka panjang.
BACA JUGA: Ini Identitas Anggota Pemuda Pancasila yang Menghajar AKBP Darmawan, Ada Peluru Senjata Api
Dr Ralph mengatakan tidak sedikit pasien yang datang dengan kanker paru sudah berada pada stadiun lanjut. Jika pasien melakukan pemeriksaan sejak dini, maka akan mendapatkan hasil pengobatan yang lebih baik.
"Bagi mereka yang di atas usia 55 tahun yang sering terpapar dengan faktor risiko tersebut, deteksi dini kanker paru dapat dilakukan dengan skrining tahunan melalui tes pencitraan. Jika diduga terdapat kanker paru, akan dilakukan scan CT, PET atau MRI, kemudian pengujian lendir, dan pengujian yang lebih lanjut lainnya," kata dokter dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini dalam webinar di Jakarta, Jumat.
BACA JUGA: Pemuda Pancasila Ancam Gelar Demo Lagi, Polisi Beri Peringatan
Dr Ralph menjelaskan terdapat tiga metode utama terapi kanker paru bergantung pada ukuran, cakupan, tipe kanker paru dan kondisi kesehatan pasien secara umum.
Untuk jenis kanker paru Sel Bukan Kecil (non small cell lung cancer atau NSCLC) pada stadium awal (stadium I) di mana kanker masih berada pada salah satu organ paru, terapi dapat dilakukan dengan pembedahan.
BACA JUGA: Waspada, 4 Hal Ini Bisa Menjadi Pemicu Timbulnya Kanker Paru
Setelah itu dapat dilanjutkan dengan kemoterapi untuk mengurangi risiko kambuh. Opsi lain setelah pembedahan dapat dilakukan terapi radiasi.
Pada stadium II, kelenjar getah bening yang terdapat kanker dan kanker yang ada diangkat, kemudian diikuti dengan kemoterapi, dan kemungkinan dengan imunoterapi. Opsi lainnya juga dilakukan radiasi.
Pada stadium IIIA, NSCLC yang telah berukuran lebih dari 7 cm atau telah mengena jaringan getah bening di antara dua organ paru, maka terapi yang dilakukan adalah dengan radiasi, kemoterapi, dan atau pembedahan bergantung pada ukuran tumor, lokasi di paru, kesehatan pasien, serta daya tahan pasien.
Pada stadium IIIB, NSCLC telah menyebar ke kelenjar getah bening pada paru lainnya atau pada leher maupun struktur lain di dada. Kanker ini tidak dapat diangkat hanya dengan pembedahan, namun dengan kemoradiasi.
Imunoterapi bisa diberikan jika kanker dapat terkendali setelah dua kali kemoradiasi. Pasien yang kurang sehat hanya diberikan radiasi saja atau kemoterapi saja.
Pada stadium IV, kanker sudah menyebar ke bagian tubuh lain dan menjadi sulit untuk disembuhkan. Terapi paliatif diberikan dengan fokus pada pengurangan rasa nyeri seperti dengan terapi fotodinamik (PDT) atau terapi laser.
Akan tetapi jika kondisi pasien cukup kuat, pengobatan atau perawatan dengan pembedahan, kemoterapi, terapi target, imunoterapi, maupun radiasi dapat dilakukan.
Menimbang panjangnya proses penyembuhan kanker paru NSCLC, Dr. Ralph mengimbau kepada masyarakat untuk melakukan pencegahan seperti berhenti merokok dan deteksi dini kanker paru.
"Kanker dapat disembuhkan jika ditemukan dan segera dirawat oleh dokter pada stadium awal. Selain itu, dibarengi dengan penerapan pola hidup sehat, makan makanan bergizi, tidak mengonsumsi alkohol, berolahraga secara teratur, cukup istirahat, dan jauhi stres," kata Dr. Ralph.
Dr Ralph juga mengingatkan masyarakat untuk tidak takut melakukan deteksi dini terhadap kanker paru. Sebab, pengobatan dini dapat membawa hasil yang lebih baik dibandingkan dengan terlambat menyadari kanker.
"Jangan takut, karena kita masih termemori bahwa kanker itu tidak bisa diobati atau sulit pengobatannya dan mending pilih alternatif. Kenyataan sekarang sudah berbeda, kita sudah punya berbagai macam protokol, peralatan juga lumayan," kata Dr. Ralph.
Dr. Ralph menyarankan agar pasien yang memiliki kebiasaan merokok selama 20 tahun dan pernah merokok untuk melakukan pemeriksaan. Deteksi terhadap kanker paru juga diharapkan dapat diulang setiap tahunnya.
"Jadi jangan takut untuk melakukan pemeriksaan karena deteksi dini jauh lebih baik daripada terlambat," ujarnya.
Berdasarkan data GLOBOCAN 2020, kanker paru menjadi penyebab sekitar 11 persen atau 2.206.771 kasus baru kanker. Kanker ini juga menjadi penyebab kematian kanker nomor satu di dunia, sedangkan di Indonesia merupakan penyebab 8,8 persen atau 34.783 kasus baru kanker.
Dari kejadian kanker paru tersebut, lebih dari 80 persen merupakan tipe kanker paru Sel Bukan Kecil (non small cell lung cancer atau NSCLC) dan sekitar 40 persen dari NSCLC terjadi mutasi reseptor pertumbuhan epidermal (EGFR).
Setelah ditemukan kanker paru, rata-rata kesintasan 5-tahunan atau prosentase pasien hidup sekurangnya lima tahun adalah sebesar 21 persen. Rata-rata kesintasan 5-tahunan untuk laki-laki sebesar 17 persen, sedangkan untuk wanita sebesar 24 persen.
Kesintasan 5-tahunan untuk NSCLC sebesar 25 persen, dibandingkan dengan 7 persen untuk kanker paru sel kecil.
Ketua Umum Yayasan Kanker Indonesia Prof DR dr Aru Wisaksono Sudoyo, Sp.PD-KHOM, FINASIM, FACP mengatakan sebanyak 80 persen pasien kanker paru yang datang sudah stadium lanjut sehingga prosentase kesintasan menjadi lebih rendah.
Prof Aru menjelaskan bahwa sangat penting untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat akan faktor risiko, gejala dan pertimbangan khusus pada pengobatan kanker paru.
"YKI berharap masyarakat melakukan pencegahan kanker dengan menerapkan pola hidup sehat, tidak merokok, dan melakukan deteksi dini kanker, sebab kanker yang ditemukan dalam stadium dini mudah diobati bahkan bisa sembuh," kata Prof Aru. (antara/jpnn)
Redaktur & Reporter : Rah Mahatma Sakti