Draf Perpres TNI Bisa Ancam Perlindungan Data Pribadi dan Kebebasan Berekspresi

Rabu, 03 Juni 2020 – 15:23 WIB
Sebuah mural yang menentang aksi terorisme terlukis di pinggir Jalan Raya Ngagel, Surabaya, Rabu (16/5). Foto: Hanung Hambara/Jawa Pos

jpnn.com, JAKARTA - Draf Peraturan Presiden (Perpes) Pelibatan TNI dalam Memberantas Terorisme dikhawatirkan memberikan ekses penahanan tanpa dasar, pelanggaran perlindungan data piribadi hingga kebebasan berekspresi.

Dosen Universitas Paramadina Phil Shiskha Prabawaningtyas mengatakan, dampak utama jika rancangan tersebut disahkan pastinya terkait dengan pelaksanaan dan mekanisme evaluasi monitoring atas perluasan mandat TNI.

BACA JUGA: TNI Seharusnya hanya Bertugas Membantu Penanganan Kasus Terorisme

Terutama untuk melakukan fungsi penangkalan serta pencegahan yang sesuai dengan prinsip proporsional serta akuntabel.

Salah satu kekhawatiran terkait kemungkinan terjadi ekses dalam pelaksanaan operasi fungsi penangkalan dan pencegahan karena selama ini UU utama yang pengatur tentang fungsi pelibatan TNI dan peradilan militer belum diatur khususnya terkait subjek hukum militer.

BACA JUGA: 5 Berita Terpopuler: Apa Kabar Perpres Gaji PPPK? Sanksi untuk yang Nekat Berangkat Haji

“Ekses ini mungkin bisa dalam bentuk penggunaan kekerasaan, penahanan tanpa dasar, pelanggaran terhadap perlindungan data pribadi, dan pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi,” ujar Shiskha pada Rabu (3/6).

Sependapat dengan para aktivis dan akademisi serta tokoh masyakat yang menolak kemunculan draf perpres tersebut, Shiskha menilai tidak ada urgensi perluasan mandat baru TNI dalam kondisi krisis menghadapi pandemi COVID-19.

BACA JUGA: 5 Berita Terpopuler: Heboh Pecatan TNI Ruslan Buton, Habib Rizieq Protes, Majalah Playboy

Salah satu yang dikritisi secara tegas adalah Pasal 3 dalam draf perpres itu tentang fungsi penangkalan yang meliputi operasi intelijen, operasi teritorial, operasi informasi, dan operasi lainnya.

“Bahkan terminologi penangkalan tidak ditemukan dalam UU Nomor 5 tahun 2018 tentang Tindak Pidana Terorisme yang merupakan UU rujukan utama. UU ini menggunakan terminologi fungsi pencegahan yang kewenangannya diberikan kepada BNPT,” tambah Shiskha.

Pasal lain yang juga bermasalah disebutkan Shiskha adalah Pasal 7 dalam draf perpres yang malah berbeda dengan memberikan fungsi pencegahan terhadap TNI.

Dia berpendapat pemerintah seharusnya mendahulukan rancangan undang-undang Perbantuan TNI yang mengatur secara khusus tugas perbantuan TNI di dalam operasi militer selain perang (OMSP).

“UU Perbantuan TNI ini lebih urgent untuk diprioritaskan karena ada kebutuhan strategis dari penanganan krisis pandemi COVID-19,” pesannya.

Sebagai contoh perlunya UU Perbantuan TNI diprioritaskan di tengah pandemi, yakni rencana pengerahan TNI dalam membantu Polri terkait pendisiplinan protokol kesehatan di 1.800 titik yang berada di empat provinsi dan 25 kabupaten/kota.

“Pendisiplinan ini dilakukan di ruang publik sipil seperti mal, pasar, sarana transportasi massal, tempat pariwisata dan lain sebagainya yang berada di 1.800 itu,” papar Shiskha.

“Dasar pengerahan ini didasarkan pada Keppres Pembentukan Gugus Tugas dan tidak mengatur detail tentang mekanisme dan persyaratan pelibatan TNI. Bagaimana jika terjadi ekses penggunaan kekerasan?” imbuhnya.

Shiskha pun meminta parlemen turut mengkritisi pemerintah dengan menolak disahkannya Perpres yang telah diserahkan pemerintah sejak awal Mei 2020 lalu ke DPR.

“Mungkin tidak perlu ‘frontal’ dicabut, namun direvisi sesuai dengan UU rujukan utama (UU TNI), khususnya mungkin koordinasi BNPT dengan TNI. Jangan memberikan perluasan mandat baru yang tidak sesuai sebagai turunan dari UU utama,” tandas Siskha yang turut menandatangani Petisi Bersama Tokoh Masyarakat dan Masyarakat Sipil tertanggal 27 Mei 2020 lalu. (cuy/jpnn)

 


Redaktur & Reporter : Elfany Kurniawan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler