TNI Seharusnya hanya Bertugas Membantu Penanganan Kasus Terorisme

Selasa, 02 Juni 2020 – 06:36 WIB
Prajurit TNI. Ilustrasi Foto: DOk. JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Sejumlah pihak menilai pengerahan militer dalam sebuah operasi penanganan terorisme harus dilakukan secara ketat dan selektif. Pasalnya, selama ini penanganan dari kepolisian dinilai sudah cukup.

Koordinator peneliti Imparsial Ardimanto Adiputra menekankan, draf Peraturan Presiden (Perpres) tentang Tugas TNI bukan solusi tepat karena negara tidak sedang dalam kondisi gawat terorisme.

BACA JUGA: Pemerintah Seharusnya Fokus Tangani COVID-19 Ketimbang Dorong Draf Perpres TNI

Dia menyebut TNI dibutuhkan dalam penanganan terorisme tetapi sifatnya hanya membantu.

Khususnya di daerah-daerah yang memiliki medan berat seperti hutan belantara.

BACA JUGA: Jejak Kelam Ruslan Buton, Pecatan TNI yang Diduga Terlibat Kasus Pembunuhan Petani

“Pelibatan TNI dalam menghadapi terorisme di dalam negeri saat ini belum urgent, baru sebatas perbantuan kepada institusi penegak hukum, itu juga hanya untuk kasus tertentu seperti di Poso mengingat area operasinya adalah hutan belantara,” kata Ardimanto, Selasa (2/6).

Bahkan, kata Ardimanto, yang sifatnya membantu pun keterlibatan TNI dalam kasus tertentu penanganan terorisme masih ada yang cacat prosedural.

BACA JUGA: 5 Berita Terpopuler: Isu PKI Muncul Lagi, TNI dan Polri Dikerahkan di 25 Kota, New Normal

Sebagai salah satu contoh perbantuan penanganan teror oleh TNI di Poso tanpa ada keputusan politik melibatkan DPR.

“Proses pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme, termasuk di Poso, terdapat cacat prosedural. Seharusnya pelibatan itu dilakukan berdasarkan keputusan politik negara yang dibuat bersama DPR sebagai fungsi check and balances,” papar Ardimanto.

“Prinsipnya, pengerahan atau penggunaan militer dalam sebuah operasi, termasuk terorisme, harus dilakukan secara ketat dan selektif,” sambungnya.

Alih-alih menjadi solusi, rancangan perpres tentang pelibatan TNI dalam penanganan terorisme yang beredar saat ini dinilainya bahkan bertentangan dengan UU TNI (Pasal 7 ayat 2 dan 3).

Perpres tersebut mempertegas tak diperlukannya pengawasan oleh parlemen.

Bahkan perpres tersebut rentan terjadi penyalahgunaan anggaran karena minim akuntabilitas.

“Karena menghilangkan kewajiban adanya keputusan politik negara yang dibuat bersama DPR. Selain itu rancangan perpres juga bertentangan dengan UU TNI tentang sumber anggaran dapat digunakan untuk penanganan terorisme oleh TNI dapat bersumber selain APBN, yakni APBD, dan sumber lain yang tidak mengikat,” paparnya.

“Hal ini berpotensi terjadi penyalahgunaan karena minim akuntabilitas,” lanjut Ardimanto.

Diketahui, awal Mei 2020 lalu pemerintah menyerahkan draft Peraturan Presiden tentang tugas TNI dalam mengatasi Aksi Terorisme ke DPR.

Penyerahan Rancangan Perpres yang dilakukan di tengah pandemi COVID-19 itu sontak memicu reaksi penolakan oleh sejumlah aktivis, akademisi hingga tokoh masyarakat melalui penandatangan petisi.

Ardimanto termasuk salah satu aktivis yang menandatangani Petisi Bersama Masyarakat Sipil tertanggal 27 Mei tersebut. (cuy/jpnn)


Redaktur & Reporter : Elfany Kurniawan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler