jpnn.com - DRAMA Mario Balotelli menjelang subuh kemarin (wib) mengharukan secara psikologis. Tendangan penalti Balotelli yang membuat Liverpool unggul 1-0 atas Besiktas Turki itu menggambarkan problem psikologis yang paling mendalam pada dirinya.
Bukan mustahil drama kemarin itu menjadi tonggak titik balik Balotelli untuk meraih sukses berikutnya. Terutama kalau tim psikolog Liverpool menggunakan drama itu sebagai materi "rehabilitasi Balotelli".
BACA JUGA: Huistra Tegaskan Tak Pernah Rekomendasi Nama Aad de Mos
Saat Liverpool merekrut Balotelli Agustus tahun lalu bukan main nyaringnya reaksi negatif. Ini karena Balotelli lebih identik dengan sosok bengal. Untuk apa mengambil pemain yang kaya masalah tapi miskin kemampuan.
Mulai dari masalah rasis yang begitu sensitif sampai masalah kedisiplinan yang mendasar. Apalagi terbukti kian jarang Balotelli bikin gol. Penampilannya di lapangan pun seperti ogah-ogahan. Setengah-setengah. Dan banyak bikin pelanggaran yang berbau nakal. Dia pemain yang sama sekali tidak simpatik.
BACA JUGA: Jatuhkan Sanksi, FIFA Tunggu Sampai 23 Februari
Tapi manajemen Liverpool begitu tergiur oleh murahnya harga transfer Balotelli. Soal kebengalannya manajemen Liverpool berdalih akan mencarikan tim psikolog terbaik untuk pemain berumur 24 tahun ini.
Hasilnya ternyata tidak segera kelihatan. Atau mungkin tidak segera dapat tim psikilog dimaksud. Dari hari ke hari penampilan Balotelli jauh dari harapan. Terasa sekali dia tetap main ogah-ogahan. Gerakannya lamban. Wajahnya selalu murung. Potongan rambutnya yang garang sama sekali tidak mencerminkan kegarangan kakinya.
BACA JUGA: FIFA Ancam Beri Sanksi Indonesia
Potongan rambutnya yang disisakan di tengah kepala itu seperti hanya ingin menyisakan sisa-sisa citra kebengalannya.
Pemain kelahiran Palermo (pulau di Italia dengan sifat penduduknya yang keras) itu lantas jarang dimainkan. Hanya kalau Liverpool lagi krisis pemain Balotelli diturunkan. Itu pun hanya menit-menit akhir. Dan tetap mengecewakan. Kecuali pekan lalu.
Saat dia diturunkan menit-menit akhir melawan Crystal Palace. Dia berperan penting dalam terciptanya gol kedua bagi timnya. Kalau bukan pemain yang punya naluri menjebol gawang mustahil terjadi gol hari itu. Liverpool menang 2-1.
Tapi gol itu juga sekaligus menunjukkan bahwa dia punya "masalah pedalaman" yang akut. Dia tidak tampak gembira. Dia tidak meloncat girang. Dia tidak melakukan selebrasi. Dia hanya tidak kelihatan murung.
Tapi penonton mulai memujinya. Sambil berharap cemas. Dari gol itu diharap terjadi pembalikan "kepercayaan diri" nya. Harapan yang tidak mengecewakan.
Kurang seminggu kemudian, "kepercayaan diri" Balotelli itu benar-benar kembali terlihat. Yakni saat dia diturunkan untuk menggantikan Lallana di akhir pertandingan Liga Eropa melawan Besiktas kemarin subuh.
Dalam pertandingan home itu saya seperti melihat "balotelli baru". Atau "setengah baru". Pergerakan-pergerakannya taktis. Umpan-umpannya mengesankan. Pengambilan posisi tanpa bolanya juga tak terbaca.
Dia tampak begitu kecewa ketika mesin gol Sturridge memaksakan diri menendang bola ke gawang lawan dari sudut yang sulit. Tidak terjadi gol. Padahal Balotelli sudah menempatkan diri di lapangan kosong dekat gawang.
Balotelli juga terlihat percaya diri ketika dirinya merasa paling berhak melakukan tendangan bebas di luar kotak penalti di menit berikutnya. Dia sudah mengambil posisi akan mengambil tendangan. Tapi Sturridge yang melakukannya. Tidak terjadi gol.
Rupanya Balotelli benar-benar ingin mendapat kepercayaan. "Percayailah saya", rasanya itu yang ingin dia ucapkan dengan keras sambil diam.
Maka drama pun terjadi. Di akhir pertandingan, saat kedudukan masih 0-0, Jordon Ibe dijatuhkan di kotak terlarang. Liverpool dapat penalti. Sturridge mengambil bola. Dia seperti merasa yang paling berhak melakukan tendangan penalti. Dialah yang punya taktik dijatuhkan. Dia pula yang dikenal sebagai mesin gol Liverpool.
Jordan Henderson, kapten Liverpool (kapten Gerrard lagi absen) juga bergerombol di situ. Henderson juga seperti merasa paling berhak melakukan tendangan itu. Dia memang kapten yang berhak menentukan siapa yang harus bertugas di lapangan.
Tapi Balotelli seperti tidak peduli dengan semua itu. Cepat-cepat dia ambil bola. Dia rengkuh kuat bola itu di dadanya seperti tidak ingin ada orang lain merebutnya. Dia pun mendatangi Henderson dan menepuk bahu sang kapten.
Tepukan itu seperti berisi kata-kata ultimatum: "aku yang akan mengambil tendangan penalti ini".
Henderson pun tertegun seperti tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Saat itu seperti terjadi kevakuman psikologis sesaat.
"Kevakuman" itulah yang dimanfaatkan Balotelli. Sambil tetap merengkuh bola dia melangkah menuju titik penalti. Dia letakkan bola dengan mantap di titik putih. Teman-temannya melihat itu seperti sambil termangu. Atau bahkan meragukan kemampuannya.
Balotelli mundur beberapa langkah sebagai persiapan menendang bola. Menjelang kakinya menyentuh bola gerakan berhenti dia lakukan. Kiper terkecoh. Tendangan bola yang tidak keras itu pun menghasilkan gol satu-satunya untuk modal Liverpool bertandang ke Turki. Itu pun sudah di akhir pertandingan.
Penonton Liverpool yang sudah hampir 90 menit menahan nafas, dan menahan nafas lebih dalam saat melihat Balotelli yang bengal ancang-ancang mengambil penalti, langsung meledak gembira. Histeris.
Kali ini Balotelli terlihat gembira. Tapi baru 1/3 dari seharusnya. Dia hanya berdiri memaku di titik penalti. Sambil merentangkan tangan seperti patung Yesus di puncak bukit Rio de Jaenaro.
Sudah runtuhkah tembok kebengalan dalam hatinya? Itu jugakah yang ingin dia perlihatkan dari perubahan potongan rambutnya subuh itu yang tampak "rambut dengan potongan normal"? Sudah lahir kembalikah Balotelli?
Bayangkan kalau tendangan Balotelli itu gagal. (*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Knicks Makin Sulit Bangkit
Redaktur : Tim Redaksi