------------
UJANG YUSUP MAULANA-Mantan Pengurus PMII Cabang Ciputat, Redaktur Radar Tasikmalaya
-----------
Ini cerita tentang seorang jenderal yang “dikerjai” oleh segelintir mahasiswa. Kalau saya tak salah ingat, Kepala Sosial Politik (Kasospol) ABRI Letnan Jenderal TNI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) waktu itu ditugaskan menjadi pemimpin tim dialog dari ABRI bertemu dengan mahasiswa membahas pemerintahan Soeharto.
Langkah tersebut, oleh kalangan mahasiswa dinilai sebagai upaya untuk mencari jalan keluar atau bargaining politik untuk menyelamatkan pemerintahan Soeharto. Padahal mahasiswa memandang suksesi kepemimpinan nasional dari tangan Soeharto sudah saatnya dilakukan.
Ini sebagai jalan keluar dari karut marutnya situasi bangsa yang ditandai krisis ekonomi moneter yang parah serta makin tidak stabilnya situasi politik dan keamanan.
Kemudian SBY, atas titah Soeharto melalui Kasad Jenderal TNI Wiranto, bergerak ke JCC untuk menemui mahasiswa yang sudah lama menunggu. Namun mendengar kabar bahwa yang datang bukan Wiranto, mahasiswa BEM UI dibawah komando Anas Urbaningrum pun kecewa.
Maka ketika SBY tiba di ruangan pertemuan dan memulai pembicaraan, Anas dan rekan-rekannya hanya diam membisu. Tak lama kemudian, saat SBY asyik berbicara Anas mengomando anak buahnya pergi meninggalkan SBY begitu saja. Waktu itu, SBY kira-kira bereaksi seperti ini:
“Saya kecewa, tadinya saya akan berbicara dengan calon-calon intelektual. Tetapi kenyataannya mereka tidak bisa menghargai,” katanya dengan raut muka memerah. Berita ini disiarkan secara luas oleh beberapa stasiun tv swasta nasional waktu itu.
TRAGEDI POLITIK
Jika ditilik, karir politik Anas Urbaningrum memang jempolan. Sinar kecerdasan terlihat dari kemampuannya menapaki posisi-posisi strategis dan grafiknya terus menanjak. Diawali sebagai Ketua Umum PB HMI Periode 1997-1999, Anggota Tim Revisi UU Politik (1998), Anggota Tim Seleksi Parpol Peserta pemilu 1999, Anggota KPU Periode 2001-2005, Ketua DPP Partai Demokrat, (2005), Ketua Yayasan Wakaf Paramadina (2006), Pimpinan Kolektif Nasional KAHMI (2009), Ketua Fraksi Partai Demokrat DPR RI Periode (2009-2014), Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat (2010-lengser).
Tak hanya itu, Anas sejak bangku SD hingga kuliah, konon selalu tercatat sebagai lulusan terbaik. Masa depan sarjana jebolan Ilmu Politik Universitas Airlangga tahun 1992, Magister Sains Ilmu Politik UI tahun 2000 serta kuliah program doktor di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta makin cemerlang manakala didapuk sebagai Ketua Umum Partai Demokrat yang didirikan SBY.
Uniknya jabatan tersebut diraihnya lagi-lagi setelah dia berhasil menumbangkan SBY dalam munas Partai Demokrat. SBY waktu itu menjagokan Andi Mallarangeng sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Namun dengan kemahirannya berpolitik, Anas mampu mengangkangi pendiri partai berlambang mercy tersebut, kendati SBY berlimpah dana dan kekuasaan.
Pada saat Demokrat di tangan Anas, sebenarnya dunia politik nasional di ambang babak baru yang menjanjikan. Bukan cuma karena kecerdasan dan kepiawaian Anas, tetapi kepemimpinan generasi baru telah dimulai. Sebuah generasi yang terlepas dari kungkungan kejumudan politik warisan Orde Baru. Setidaknya skenario pembaruan seperti dikemukakan Cak Nur, bahwa recovery politik nasional membutuhkan setidaknya 20 tahun sejak lepas tahun 1998, nyaris terjadi di genggaman tokoh muda seperti Anas.
Rupanya skenario ini buyar. Ketika pada Sabtu 23 Februari 2013, Anas memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum Demokrat akibat kuatnya desakan untuk mundur juga karena dikejar dugaan korupsi Hambalang.
Menarik apa yang disampaikan Anas dalam konferensi persnya sesaat setelah menyatakan mundur. Anas sepertinya sadar betul, musibah politik yang menimpanya tak lepas dari rentetan sejarah selama persinggungan dirinya dengan SBY.
“Saudara-saudara sekalian, kalau mau ditarik agak jauh ke belakang, sesungguhnya, ini pasti terkait dengan kongres Partai Demokrat. Saya tidak ingin bercerita lebih panjang. Pada waktunya saya akan bercerita lebih panjang. Tetapi, inti dari kongres itu ibarat bayi yang lahir. Anas adalah bayi yang lahir tidak diharapkan. Tentu rangkaiannya menjadi panjang. Dan rangkaian itu saya rasakan, saya alami, dan menjadi rangkaian peristiwa politik dan organisasi di Partai Demokrat. Pada titik ini, saya belum akan menyampaikan secara rinci. Tapi, ada konteks yang sangat jelas menyangkut rangkaianrangkaian peristiwa politik itu.” (*)
UJANG YUSUP MAULANA-Mantan Pengurus PMII Cabang Ciputat, Redaktur Radar Tasikmalaya
-----------
Ini cerita tentang seorang jenderal yang “dikerjai” oleh segelintir mahasiswa. Kalau saya tak salah ingat, Kepala Sosial Politik (Kasospol) ABRI Letnan Jenderal TNI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) waktu itu ditugaskan menjadi pemimpin tim dialog dari ABRI bertemu dengan mahasiswa membahas pemerintahan Soeharto.
Langkah tersebut, oleh kalangan mahasiswa dinilai sebagai upaya untuk mencari jalan keluar atau bargaining politik untuk menyelamatkan pemerintahan Soeharto. Padahal mahasiswa memandang suksesi kepemimpinan nasional dari tangan Soeharto sudah saatnya dilakukan.
Ini sebagai jalan keluar dari karut marutnya situasi bangsa yang ditandai krisis ekonomi moneter yang parah serta makin tidak stabilnya situasi politik dan keamanan.
Kemudian SBY, atas titah Soeharto melalui Kasad Jenderal TNI Wiranto, bergerak ke JCC untuk menemui mahasiswa yang sudah lama menunggu. Namun mendengar kabar bahwa yang datang bukan Wiranto, mahasiswa BEM UI dibawah komando Anas Urbaningrum pun kecewa.
Maka ketika SBY tiba di ruangan pertemuan dan memulai pembicaraan, Anas dan rekan-rekannya hanya diam membisu. Tak lama kemudian, saat SBY asyik berbicara Anas mengomando anak buahnya pergi meninggalkan SBY begitu saja. Waktu itu, SBY kira-kira bereaksi seperti ini:
“Saya kecewa, tadinya saya akan berbicara dengan calon-calon intelektual. Tetapi kenyataannya mereka tidak bisa menghargai,” katanya dengan raut muka memerah. Berita ini disiarkan secara luas oleh beberapa stasiun tv swasta nasional waktu itu.
TRAGEDI POLITIK
Jika ditilik, karir politik Anas Urbaningrum memang jempolan. Sinar kecerdasan terlihat dari kemampuannya menapaki posisi-posisi strategis dan grafiknya terus menanjak. Diawali sebagai Ketua Umum PB HMI Periode 1997-1999, Anggota Tim Revisi UU Politik (1998), Anggota Tim Seleksi Parpol Peserta pemilu 1999, Anggota KPU Periode 2001-2005, Ketua DPP Partai Demokrat, (2005), Ketua Yayasan Wakaf Paramadina (2006), Pimpinan Kolektif Nasional KAHMI (2009), Ketua Fraksi Partai Demokrat DPR RI Periode (2009-2014), Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat (2010-lengser).
Tak hanya itu, Anas sejak bangku SD hingga kuliah, konon selalu tercatat sebagai lulusan terbaik. Masa depan sarjana jebolan Ilmu Politik Universitas Airlangga tahun 1992, Magister Sains Ilmu Politik UI tahun 2000 serta kuliah program doktor di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta makin cemerlang manakala didapuk sebagai Ketua Umum Partai Demokrat yang didirikan SBY.
Uniknya jabatan tersebut diraihnya lagi-lagi setelah dia berhasil menumbangkan SBY dalam munas Partai Demokrat. SBY waktu itu menjagokan Andi Mallarangeng sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Namun dengan kemahirannya berpolitik, Anas mampu mengangkangi pendiri partai berlambang mercy tersebut, kendati SBY berlimpah dana dan kekuasaan.
Pada saat Demokrat di tangan Anas, sebenarnya dunia politik nasional di ambang babak baru yang menjanjikan. Bukan cuma karena kecerdasan dan kepiawaian Anas, tetapi kepemimpinan generasi baru telah dimulai. Sebuah generasi yang terlepas dari kungkungan kejumudan politik warisan Orde Baru. Setidaknya skenario pembaruan seperti dikemukakan Cak Nur, bahwa recovery politik nasional membutuhkan setidaknya 20 tahun sejak lepas tahun 1998, nyaris terjadi di genggaman tokoh muda seperti Anas.
Rupanya skenario ini buyar. Ketika pada Sabtu 23 Februari 2013, Anas memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum Demokrat akibat kuatnya desakan untuk mundur juga karena dikejar dugaan korupsi Hambalang.
Menarik apa yang disampaikan Anas dalam konferensi persnya sesaat setelah menyatakan mundur. Anas sepertinya sadar betul, musibah politik yang menimpanya tak lepas dari rentetan sejarah selama persinggungan dirinya dengan SBY.
“Saudara-saudara sekalian, kalau mau ditarik agak jauh ke belakang, sesungguhnya, ini pasti terkait dengan kongres Partai Demokrat. Saya tidak ingin bercerita lebih panjang. Pada waktunya saya akan bercerita lebih panjang. Tetapi, inti dari kongres itu ibarat bayi yang lahir. Anas adalah bayi yang lahir tidak diharapkan. Tentu rangkaiannya menjadi panjang. Dan rangkaian itu saya rasakan, saya alami, dan menjadi rangkaian peristiwa politik dan organisasi di Partai Demokrat. Pada titik ini, saya belum akan menyampaikan secara rinci. Tapi, ada konteks yang sangat jelas menyangkut rangkaianrangkaian peristiwa politik itu.” (*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Lokasi Selalu Rahasia, Sajikan Menu Tak Biasa
Redaktur : Tim Redaksi