jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi IV DPR RI asal Fraksi PKS drh. Slamet tak henti-hentinya mendapatkan keluhan masyarakat terkait tingginya harga minyak goreng curah maupun kemasan di pasaran.
Kondisi ini ditambah lagi dengan keadaan ekonomi masyarakat yang belum pulih akibat hantaman badai pandemi Covid-19 yang belum reda.
BACA JUGA: Toko Sepatu dan Warung Ayam Geprek di Duren Sawit Terbakar, Lihat nih Fotonya
“Tidak hanya persoalan meroketnya harga minyak goreng di tanah air, sebelumnya juga marak pemberitaan soal pelanggaran HAM dan UU ketenagakerjaan atas pekerja perkebunan kelapa sawit terkait masalah upah yang rendah, jam kerja yang tinggi, hak-hak pekerja wanita, bahkan mempekerjakan anak dibawah umur. Semuanya dipastikan demi mengejar ongkos produksi yang murah," ujar drh Slamet yang juga sebagai Ketua Umum PPNSI di Senayan, Jakarta, Senin (24/11/2021).
Di sisi lain, kita mendengar pula hal bermunculannya orang-orang kaya dari bisnis kelapa sawit ini.
BACA JUGA: Lagi-Lagi Harga Minyak Sawit Moncer, Naik Signifikan!
“Kenapa bisa terjadi kesenjangan yang sangat jauh? Yang satu menjadi sangat kaya, yang lain menderita, bahkan seluruh rakyat menderita karena harga minyak goreng yang melejit tinggi. Negeri kita berlimpah kelapa sawit tapi kenapa rakyat tidak bisa menikmati dengan harga rendah?," ujar Slamet.
Dia menanyaka posisi negara dan mengapa tidak mengetahui keadaan ini serta mengapa membiarkan keadaan ini tanpa melakukan tindakan yang diperlukan untuk melindungi warga negara? Bukankah negara ini ada karena adanya warga? Bahkan pelanggaran HAM dan UU ketenagakerjaan di perkebunan kelapa sawit pun dibiarkan begitu saja.
BACA JUGA: Kementerian BUMN Bakal Membeli Peternakan Sapi di Belgia, Begini Reaksi Drh Slamet
Sebagaimana kita ketahui perkebunan kelapa sawit marak hadir pasca kebakaran hutan besar-besaran. Hutan eks kebakaran hutan berubah menjadi perkebunan kelapa sawit. Namun, lucunya pemerintah mencari kambing hitam oknum pembakar hutan.
“Jika merasa tidak terlibat semestinya pemerintah melakukan penghutanan kembali untuk mengembalikan habitat aslinya bukan merubahnya menjadi perkebunan kelapa sawit," tegas Slamet.
Jika perkebunan kelapa sawit memang menjadi proyek nasional untuk peningkatan ekonomi seharusnya bisa dicari cara yang baik tidak dengan membakar hutan yang memusnahkan habitat satwa dan botani kekayaan bangsa yang menjaga ekosistem dunia.
Industri kelapa sawit yang meningkatkan ekspor Indonesia mempengaruhi konsumsi dalam negeri. Keuntungan dari ekspor lebih menjadi pilihan pengusaha ketimbang harga dalam negeri. Akibatnya harga minyak goreng yang berasal dari sawit didalam negeri merangkak mengikuti harga minyak sawit dunia.
"Terlebih saat ini harga minyak sawit dunia sedang naik, para penguasa lebih memilih mengekspor produknya dari pada menjual di dalam negeri yang harganya lebih rendah".
Jika kondisi pasar seperti ini dibiarkan lalu siapa yang melindungi rakyat? Di mana negara? Di mana pemerintah? Makin jelas keberpihakan pemerintah dalam mengelola negara lebih memilih rakyat hidup susah daripada konglomerat berkurang kekayaannya.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich