Dua Hakim Beda Pendapat Dalam Putusan Susi Tur Andayani

Senin, 23 Juni 2014 – 14:16 WIB
Terdakwa kasus suap pengurusan sengketa Pilkada Lebak Susi Tur Andayani menjalani sidang vonis di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (23/6). Susi divonis lima tahun penjara dan denda Rp 150 juta, subsider tiga bulan kurungan Foto : Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - JAKARTA - Keputusan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta dalam memberikan vonis kepada terdakwa perkara dugaan suap penanganan sengketa Pemilihan Kepala Daerah Lebak dan Lampung Selatan, Susi Tur Andayani diwarnai perbedaan pendapat oleh dua hakim.

"Bahwa dalam rapat permusyawaratan majelis hakim untuk mengambil putusan tidak terjadi mufakat bulat, terdapat anggota majelis hakim memiliki pendapat yang berbeda yaitu hakim anggota 3 dan 4," kata Hakim Ketua Gosen Butar-Butar saat membacakan putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (23/6).

BACA JUGA: Pekan Ini, Formasi CPNS Ditetapkan MenPAN-RB

Hakim anggota 3 dan 4 yang berbeda pendapat masing-masing bernama Sofialdi dan Alexander Marwata. Dalam persidangan, mereka membacakan pertimbangan mengajukan pendapat berbeda dalam memberikan putusan.

Sofialdi berpendapat bahwa surat dakwaan jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi kabur. Karena itu harus dinyatakan batal demi hukum.

BACA JUGA: Dahlan Iskan Becek-becekan di Sawah Bantu Petani Memburu Tikus

Namun persidangan Susi dilanjutkan dengan pembuktian pokok perkara. Maka dalam putusan akhir, Sofialdi mengaku tetap memiliki pendapat berbeda.

"Bahwa dakwaan penuntut umum telah dinyatakan batal demi hukum maka terhadap surat tuntutan jaksa penuntut umum akan berimplikasi/berakibat hukum kepada terdakwa Susi Tur Andayani tidak dapat dipersalahkan dan dijatuhi pidana berdasarkan surat dakwaan penuntut umum yang batal menurut hukum tersebut," ujar Sofialdi.

BACA JUGA: Pimred: Pengkritik Obor Rakyat Pasti Belum Membaca

Oleh karena itu, Sofialdi menegaskan, surat tuntutan jaksa penuntut umum pada KPK harus dinyatakan tidak dapat diterima.

Sementara itu Alexander menyatakan, surat dakwaan menjadi dasar pemeriksaan perkara hingga  pengambilan keputusan terakhir. Surat dakwaan, kata dia, juga akan memperjelas aturan-aturan hukum mana saja yang didakwakan. Oleh karena itu hakim tidak boleh memutuskan atau memvonis perbuatan yang tidak didakwakan.

Menurut Alexander, majelis hakim sudah melampaui kewenangan karena merumuskan dan membuat sendiri pasal yang tidak didakwakan dalam menjatuhkan putusan kepada terdakwa. "Bila mengingat rasa keadilan terhadap terdakwa justru terdakwa harus dihormati sebab tidak melakukan perbuatan yang tidak didakwakan kepadanya," tuturnya.

Alexander mengungkapkan, dalam criminal justice system, selain kemandirian hakim juga diperlukan adanya profesionalisme dari para penegak hukum seperti penyidik dan penuntut umum. Kata dia, kekhilafan penuntut umum yang tidak mendakwakan Pasal 6 dan Pasal 13 seharusnya tidak dilimpahkan tanggungjawabnya kepada terdakwa.

Dikatakan Alexander, majelis hakim yang membuat keputusan yang tidak didakwakan jaksa penuntut umum  sama saja dengan memberi kelonggaran terhadap kesalahan jaksa. Hal ini akan menimbulkan efek buruk dalam penengakan hukum.

"Tidak tertutup kemungkinan ke depan jaksa penuntut umum akan membuat surat dakwaan "asal-asalan" dengan harapan dalam proses pemeriksaan di pengadilan majelis hakim akan mengoreksinya sesuai dengan fakta-fakta di persidangan," ujar Alexander.

Alexander menyatakan, majelis hakim dalam memberikan putusan harus berpijak kepada dua hal yakni surat dakwaan dan bukti-bukti di persidangan.

"Hakim anggota 4 menyatakan surat dakwaan jaksa penuntut umum tidak terbukti sesuai dengan fakta-fakta persidangan maka putusannya terdawak harus dibebaskan dari dakwaan penuntut umum," tegasnya.

Hakim Ketua Gosen Butar-Butar menyatakan, pengambilan keputusan dalam perkara sesuai permusyawaratan majelis hakim dilakukan dengan pengambilan suara terbanyak.

Gosen menjelaskan, dalam memberikan pidana tujuannya bukan untuk balas dendam atau menyakiti terdakwa. Akan tetapi memberikan pembelajaran agar tidak mengulangi perbuatannya lagi.

Seperti diketahui, Susi dijatuhkan pidana penjara selama lima tahun. Selain itu, Susi juga didenda Rp 150 juta. Apabila denda itu tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama tiga bulan.

Dalam tuntutan jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi, perbuatan Susi dianggap terbukti memenuhi unsur dalam Pasal 12 huruf c Undang-Undang nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Namun majelis hakim dalam putusannya menyatakan, Susi tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dan diancan pidana dalam Pasal 12 huruf c UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dalam dakwaan kesatu dan kedua.

Meski demikian, majelis hakim menilai Susi terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut sebagaimana diatur dan diancam pidana Pasal 6 ayat 1 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dalam dakwaan kesatu dan Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUHP dalam dakwaan kedua. (gil/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Nurul Arifin Sebut Jokowi Tak Paham Konflik Laut China Selatan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler