Dua Sisi Mata Uang Soeharto-Salim

Senin, 11 Juni 2012 – 09:32 WIB

LIEM Sio Liong atau Sudono Salim dan mantan Presiden Soeharto ibarat dua sisi dalam sekeping uang logam. Keduanya besar bersama, jatuh pun bersama. Meski jatuh dengan nama buruk, Liem dan Soeharto tetap punya nama besar hingga kini.

Sepak terjang Liem Sioe Liong dimulai ketika pada 1936, pada usia 20 tahun, putra kedua keluarga petani di Fuqing, Provinsi Fujian, Tiongkok itu memutuskan merantau ke Indonesia. Dia menyusul kakaknya, Liem Sioe Hie, dan kakak iparnya, Zheng Xusheng yang lebih dulu menjadi saudagar minyak sawit di Medan sejak 1922.

Setelah menjadi pemasok minyak sawit terbesar di era 1940-an, Liem lantas hijrah ke Kudus, memulai usaha sebagai penyalur cengkih dan tekstil. Dengan jaringan yang dimilikinya, Liem mendatangkan tembakau dan cengkih dari Sumatera, Maluku, dan Sulawesi Utara melalui pelabuhan Singapura untuk memasok industri rokok di Kudus.

Bisnisnya berkembang dengan mendatangkan obat-obatan untuk gerilyawan di masa pendudukan Belanda. Sesekali, Liem juga menyelundupkan senjata untuk tentara. Karena sering berinteraksi dengan tentara, Liem akhirnya bertemu Soeharto ketika masih menjadi perwira di Kodam IV/ Diponegoro di Semarang. Pada 1952, Salim mendapatkan hak monopoli pengadaan sabun untuk tentara.

Segera setelah Soeharto menjadi presiden pada 1968, Liem memperoleh hak monopoli cengkih dan tepung terigu. Pada tahun 1969, ketika rezim Soeharto mengeluarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri No.6 Th. 1969 supaya warga keturunan Tionghoa mengganti nama, Liem lantas mengubah namanya menjadi Sudono Salim.

Pada 1973, ketika konstruksi sedang giat dilakukan pemerintah, Liem mendirikan industri semen. Pada 1990, memanfaatkan terigu yang dikuasainya, Liem mendirikan Indofood yang hingga kini menguasai pasar mie instan di tanah air. Bisnisnya kian mengkilat ketika mendirikan Central Bank Asia pada 1957 yang lantas berubah nama menjadi Bank Central Asia (BCA) pada 1960.

Pada 1997, kelompok usaha Salim Grup memiliki sekitar 500 perusahaan dengan nilai sekitar mencapai USD 20 miliar dan memiliki tak kurang dari 200 ribu tenaga kerja. Salim juga langganan daftar 25 besar pengusaha terkaya di Asia dan 100 Orang Terkaya di Dunia versi majalah Forbes.

Bisnisnya mengalami kemunduran saat krisis moneter ketika utangnya diprediksi mencapai USD 4,8 miliar. Untuk melunasinya, Liem harus melego 108 perusahaan kepada pemerintah guna membayar utang Rp 52,7 triliun.

Ketika kerusuhan Mei 1998, menjelang jatuhnya Soeharto, rumah Liem di Pasar Baru, Jakarta, dijarah dan dibakar massa. Momen paling dramatis yang terekam kamera adalah seorang penjarah membawa foto besar Liem dan membakarnya di depan pagar rumahnya. Liem sempat mengungsi ke Los Angeles, Amerika Serikat, sebelum memutuskan tinggal di Singapura.

Liem menyerahkan manajemen Salim Grup ke putranya, Anthony Salim pada 1992. Setelah sempat diserahkan pada profesional, Antony kembali menakhodai Indofood pada 2004. Hingga kini, Indofood adalah salah satu penopang utama bisnis Salim Grup.

Liem yang lahir pada 16 Juli 1916 menutup mata di RS Mount Elizabeth Singapura pada usia 96 tahun kemarin (10/6) sekitar pukul 14.50. Liem meninggalkan istri, Lie Las Nio atau Lilani dan empat orang putra-putri, yakni Albert, Andre Halim, Anthony Salim, dan Mira. (dim/nw)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Awang Bantah Dibantu Petinggi Kejaksaan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler