jpnn.com - Mi instan seolah sudah menyatu dengan keseharian masyarakat saat ini karena cara pengolahannya yang praktis dan memiliki rasa yang membuat ketagihan. Sayangnya, kebanyakan mi yang dijual di pasaran mengandung MSG dan bahan pengawet.
VITA WAHYU HARYANTI, Jogja
BACA JUGA: Ya Ampun! Mengakhiri Hidup Sendiri di Pohon Alpukat
FAKTA itulah yang membuat membuat dua siswi MAN 2 Jogja, Aura Nilam Sari dan Hanifa Noor, membuat mi sehat. Bahannya berasal dari biji alpukat.
“Masyarakat pada umumnya akan membuang biji alpukat setelah mengambil daging buahnya. Oleh sebab itu, kami mengolah biji alpukat menjadi mi sehat agar lebih bermanfaat dan bisa dikonsumsi kembali,” jelas Nilam saat ditemui Jawa Pos Radar Jogja.
Biji alpukat terkandung 23 persen pati yang merupakan bahan utama pembuatan mi. Uji coba pembuatan mi yang diberi nama Mie Baper Camil -Mi Rainbow Persea Americana Mill- ini membutuhkan waktu sebulan.
Nilam dan Hanifa mengolah empat biji alpukat bersama 1 kilogram tepung terigu, dua telur, dan satu sendok garam. Mereka juga menggunakan pewarna alami seperti wortel, buah naga, kunyit, dan daun kelor.
Dalam uji coba, siswi kelas XII itu bisa menghasilkan 30 kemasan mi seberat 160 gram/kemasan. Terdapat lima varian rasa yang dikembangkan kedua siswi yang berhasil masuk 10 besar Lomba Karya Tulis Ilmiah Nasional (LKTIN) UII 2017 awal April lalu.
Nama tokoh pewayangan Pandawa Lima dipilih menjadi nama lima varian rasa tersebut. Mie Puntodewo memiliki rasa original tanpa pewarna, sedangkan mi Nakula berwarna oranye wortel. Ada pula mi Sadewa berwarna ungu buah naga, mi Bima mempunyai warna kuning dari kunyit, dan mi Arjuna berwarna hijau hasil pewarnaan daun kelor.
Hanifa menambahkan, pembuatan mi yang mereka jual seharga Rp 6 ribu itu sangat mudah dan sederhana. “Biji alpukat dicuci terlebih dahulu, dikupas kulit arinya, kemudian diparut,” ungkap siswi kelas XI ini.
Hasil endapan parutan itu kemudian dikeringkan dalam oven selama 30 menit. Endapan yang mengering dan menjadi pati lantas diolah menjadi adonan dengan campuran tepung terigu, telur, garam, dan pewarna alami.
“Setelah itu digiling jadi mi kemudian dijemur selama sehari. Mi ini bisa bertahan hingga satu bulan karena kami tidak menggunakan bahan pengawet,” tambah Hanifa.
Mereka juga membuat bumbu mi dengan bahan yang biasa kita gunakan seperti garam, laos, kunyit, bawang merah, bawang putih, gula pasir, dan ketumbar yang digoreng dan dikeringkan. Kemasan minya sendiri terbilang unik, karena menggunakan desain batik Parang sebagai penghargaan akan kearifan lokal Jogjakarta.
Guru pembimbing Karya Tulis Remaja (KIR) MAN 2 Jogja, Exwan Adriyan mengungkapkan, pihak sekolah akan berupaya memfasilitasi dan memberikan pembinaan kepada siswa yang berpotensi di bidang penelitian. “Saat ini lebih dari 20 siswa ikut ekstrakurikuler KIR, baik untuk eksakta maupun non-eksakta,” ujarnya.
Pada 17 April nanti, Nilam dan Hanifa akan mempresentasikan hasil penelitian mereka dalam grand final Lomba Karya Tulis Ilmiah Nasional (LKTIN). Kedua siswi ini merupakan satu dari dua tim yang mewakili Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dalam ajang lomba yang diikuti 25 tim SMA/SMK/MAN seluruh Indonesia itu.
“Kami berharap dapat masuk tiga besar terbaik pada grand final nanti,” tambah Exwan.(laz/ong)
Redaktur : Tim Redaksi