JAKARTA - Dua warga negara Malaysia Muhammad Hasan bin Khusi Muhammad dan R. Azmi bin Muhammad Yusof, divonis tujuh tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Selasa (5/3).
Vonis itu lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi. Tiga pekan lalu, Azmi dan Hasan dituntut sembilan tahun penjara, dan denda Rp 200 juta subsider empat bulan kurungan.
Majelis menyatakan keduanya terbukti merintangi penyidikan kasus korupsi, dengan sengaja menyembunyikan keberadaan terdakwa perkara korupsi Pembangkit Listrik Tenaga Surya di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada 2008, Neneng Sri Wahyuni.
"Menjatuhkan putusan kepada M. Hasan - R. Azmi, dengan pidana penjara masing-masing selama 7 tahun, dikurangi masa penahanan," kata Hakim Ketua Pangeran Napitupulu saat membacakan amar putusan, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Selasa (5/3).
Majelis juga menuntut denda masing-masing Rp 300 juta kepada kedua warga negeri jiran ini. Kata Majelis, jika tidak sanggup membayar diganti kurungan selama enam bulan.
Majelis hakim memerintahkan keduanya tetap berada dalam tahanan.
Pangeran Napitupulu mengatakan, Hasan dan Azmi bersalah melanggar pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Hakim menilai Neneng bertemu Muhammad Hasan pada awal Juni 2011 di Kedai Raja Abdul Aziz, dekat Universitas Utara Malaysia, Kuala Lumpur, Malaysia.
Dalam pertemuan itu, Neneng meminta tolong kepada Hasan mencarikan jalan masuk ke Indonesia melalui jalur tidak resmi.
Hasan menyanggupi permintaan itu. Namun, tidak lama kemudian, Interpol menangkap suami Neneng, Muhammad Nazaruddin, di Cartagena, Kolombia.
Azmi sebenarnya merupakan salah satu rekan bisnis Muhammad Nazaruddin. Keduanya berkongsi dalam perusahaan dan perkebunan kelapa sawit milik Nazaruddin, PT Inti Karya Plasma, di Pekanbaru, Riau.
Azmi pernah mengunjungi Nazaruddin di Rumah Tahanan Cipinang, Jakarta Timur. Saat itu, dia mengatakan kepada Nazaruddin, Neneng aman dan tinggal di sebuah apartemen.
Mereka pun yakin Neneng tidak bakal tertangkap di Malaysia, lantaran keduanya memiliki banyak kenalan di Polisi Diraja Malaysia.
Setelah bertemu Neneng, kemudian Hasan menemui Azmi, lantas melakukan pertemuan dengan M. Azis Toyibin.
Azis Toyibin adalah warga Indonesia asal Ponorogo. Dia bekerja sebagai calo tiket di Malaysia. Hasan meminta bantuannya untuk bisa membawa Neneng masuk ke Indonesia lewat jalur 'bawah' atau tidak resmi. Aziz pun menyanggupi.
Kemudian, pada 12 Juni 2012, Neneng bersama Toyibin berangkat dari Malaysia menggunakan kapal cepat dan tiba di Pelabuhan Sengkuang, Batam.
Sementara Azmi, Hasan, dan satu pembantu Neneng, Chalimah alias Camilla, berangkat menggunakan kapal laut dari Pelabuhan Setulang Laut, Johor, Malaysia, dan tiba di Pelabuhan Batam Center.
Setelah tiba di Batam, Neneng, Chalimah, Hasan, dan Azmi langsung menuju Hotel Batam Center. Hasan memsan dua kamar, satu buat dia dan Azmi, sementara lainnya buat Chalimah dan Neneng.
Keesokan harinya, Neneng, Chalimah, Hasan, dan Azmi berangkat ke Jakarta dari Batam, menggunakan pesawat Garuda Citilink. Dalam tiket, identitas Neneng ditulis dengan nama Nadia.
Setelah tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Neneng, Chalimah, Azmi, dan Hasan Berpencar. Neneng bersama Chalimah naik taksi menuju rumahnya di kawasan Pejaten, Jakarta Selatan. Sedangkan Azmi dan Hasan diantar sopir Nazaruddin pergi ke Hotel Lumirre, Senen, Jakarta Pusat.
Sebelum ditangkap, Hasan sempat menghubungi Neneng pake telepon dan mengatakan jangan tinggal di rumahnya. Hasan dan Azmi kemudian menyusul Neneng ke rumahnya. Sekitar pukul 13.00 WIB, tim KPK meringkus Neneng, Chalimah, Hasan, dan Azmi di rumah Neneng. (boy/jpnn)
Vonis itu lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi. Tiga pekan lalu, Azmi dan Hasan dituntut sembilan tahun penjara, dan denda Rp 200 juta subsider empat bulan kurungan.
Majelis menyatakan keduanya terbukti merintangi penyidikan kasus korupsi, dengan sengaja menyembunyikan keberadaan terdakwa perkara korupsi Pembangkit Listrik Tenaga Surya di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada 2008, Neneng Sri Wahyuni.
"Menjatuhkan putusan kepada M. Hasan - R. Azmi, dengan pidana penjara masing-masing selama 7 tahun, dikurangi masa penahanan," kata Hakim Ketua Pangeran Napitupulu saat membacakan amar putusan, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Selasa (5/3).
Majelis juga menuntut denda masing-masing Rp 300 juta kepada kedua warga negeri jiran ini. Kata Majelis, jika tidak sanggup membayar diganti kurungan selama enam bulan.
Majelis hakim memerintahkan keduanya tetap berada dalam tahanan.
Pangeran Napitupulu mengatakan, Hasan dan Azmi bersalah melanggar pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Hakim menilai Neneng bertemu Muhammad Hasan pada awal Juni 2011 di Kedai Raja Abdul Aziz, dekat Universitas Utara Malaysia, Kuala Lumpur, Malaysia.
Dalam pertemuan itu, Neneng meminta tolong kepada Hasan mencarikan jalan masuk ke Indonesia melalui jalur tidak resmi.
Hasan menyanggupi permintaan itu. Namun, tidak lama kemudian, Interpol menangkap suami Neneng, Muhammad Nazaruddin, di Cartagena, Kolombia.
Azmi sebenarnya merupakan salah satu rekan bisnis Muhammad Nazaruddin. Keduanya berkongsi dalam perusahaan dan perkebunan kelapa sawit milik Nazaruddin, PT Inti Karya Plasma, di Pekanbaru, Riau.
Azmi pernah mengunjungi Nazaruddin di Rumah Tahanan Cipinang, Jakarta Timur. Saat itu, dia mengatakan kepada Nazaruddin, Neneng aman dan tinggal di sebuah apartemen.
Mereka pun yakin Neneng tidak bakal tertangkap di Malaysia, lantaran keduanya memiliki banyak kenalan di Polisi Diraja Malaysia.
Setelah bertemu Neneng, kemudian Hasan menemui Azmi, lantas melakukan pertemuan dengan M. Azis Toyibin.
Azis Toyibin adalah warga Indonesia asal Ponorogo. Dia bekerja sebagai calo tiket di Malaysia. Hasan meminta bantuannya untuk bisa membawa Neneng masuk ke Indonesia lewat jalur 'bawah' atau tidak resmi. Aziz pun menyanggupi.
Kemudian, pada 12 Juni 2012, Neneng bersama Toyibin berangkat dari Malaysia menggunakan kapal cepat dan tiba di Pelabuhan Sengkuang, Batam.
Sementara Azmi, Hasan, dan satu pembantu Neneng, Chalimah alias Camilla, berangkat menggunakan kapal laut dari Pelabuhan Setulang Laut, Johor, Malaysia, dan tiba di Pelabuhan Batam Center.
Setelah tiba di Batam, Neneng, Chalimah, Hasan, dan Azmi langsung menuju Hotel Batam Center. Hasan memsan dua kamar, satu buat dia dan Azmi, sementara lainnya buat Chalimah dan Neneng.
Keesokan harinya, Neneng, Chalimah, Hasan, dan Azmi berangkat ke Jakarta dari Batam, menggunakan pesawat Garuda Citilink. Dalam tiket, identitas Neneng ditulis dengan nama Nadia.
Setelah tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Neneng, Chalimah, Azmi, dan Hasan Berpencar. Neneng bersama Chalimah naik taksi menuju rumahnya di kawasan Pejaten, Jakarta Selatan. Sedangkan Azmi dan Hasan diantar sopir Nazaruddin pergi ke Hotel Lumirre, Senen, Jakarta Pusat.
Sebelum ditangkap, Hasan sempat menghubungi Neneng pake telepon dan mengatakan jangan tinggal di rumahnya. Hasan dan Azmi kemudian menyusul Neneng ke rumahnya. Sekitar pukul 13.00 WIB, tim KPK meringkus Neneng, Chalimah, Hasan, dan Azmi di rumah Neneng. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Anggaran Kurang, Kerjasama dengan Korsel Ditunda
Redaktur : Tim Redaksi