jpnn.com - Kalau ada penobatan ‘’newsmaker of the year’’ tahun ini, salah satu tokoh yang potensial menang adalah KSAD Jenderal Dudung Abdurrahman. Dalam setahun terakhir ini namanya sering muncul di media, berbagai komentar dan tindakannya sering memantik komentar pro maupun kontra.
Dudung dengan cepat menjadi media darling sejak menjadi Pangdam Jaya sampai kemudian kariernya melesat bak meteor menjadi orang nomor satu di Angkatan Darat.
BACA JUGA: LBH Pelita Umat Kritisi Ucapan Jenderal Dudung soal Tuhan bukan Orang Arab
Jarang sekali muncul media darling dari kalangan tentara, karena selama ini tentara selalu bersikap disiplin dalam berbicara dan bertindak. Namun, Dudung beda. Dia adalah tipe tentara vokalis yang sering menjadi viral karena komentar-komentar yang kontroversial.
Media darling biasanya lebih banyak muncul dari kalangan politisi, yang punya kesempatan lebih terbuka untuk berbicara dan berkomentar mengenai isu-isu kontemporer apa pun. Namun, dalam dua tahun terakhir tidak muncul figur media darling dari kalangan politisi.
BACA JUGA: Jenderal Dudung Sebut Reuni 212 Tak Punya Izin, Begini Kalimat Selanjutnya
Publik pernah mengenal Fahri Hamzah dan Fadli Zon sebagai politisi vokal yang menjadi langganan media.
Dua politisi ini bertahun-tahun dikenal sebagi ‘’duet ganda putra’’ dari Senayan, karena selalu kompak dalam memberikan komentar-komentar tajam mengenai berbagai isu.
BACA JUGA: Cerita Jenderal Dudung Saat Turunkan Baliho Rizieq Shihab, Pakai Frasa Darah MendidihÂ
Duet politisi PKS dan Gerindra itu dikenal sebagai kritikus Jokowi, dan menjadi media darling yang komentarnya selalu dicari oleh para jurnalis. Namun, sejak Fahri keluar dari PKS dan pensiun dari parlemen 2019, Fadli Zon kehilangan pasangan, dan tidak bisa menemukan lagi yang ideal.
Akhirnya Fadli Zon bermain solo sebagai ‘’tunggal putra’’ Senayan. Meski kehilangan pasangan, Fadli tetap menjadi suara Senayan yang paling vokal dan kritis terhadap berbagai kebijakan pemerintah, meskipun Partai Gerindra resmi menjadi bagian dari koalisi pemerintah setelah pilpres 2019.
Fadli menjadi media darling untuk beberapa lama. Komentar-komentarnya selalu tajam terhadap kekuasaan. Ia menyindir Jokowi yang lebih memilih menjajal Sirkuit Mandalika daripada mengunjungi korban banjir di Sintang.
Fadli juga mengritik penggundulan hutan dengan cuitannya ‘’deforestasi itu nyata’’.
Seperti jargon iklan rokok, ‘’how low can you go’’ atau ‘’how far can you go’’, seberapa jauh sih Fadli dibebaskan berkicau, seberapa jauh dia dibiarkan menjadi kritikus pemerintah? Nah, pertanyaan itu akhirnya terjawab ketika Gerindra akhirnya menegur Fadli secara terbuka dan memerintahkannya untuk ‘’shut up!’’ alias tutup mulut.
Fadli pun tutup mulut. Setidaknya dalam dua minggu terakhir ini Fadli menghilang dari dari jagat maya, yang selama ini menjadi wahananya untuk berekspresi. Setelah menghilang dua minggu Fadli muncul dengan mengunggah foto bareng Puan Maharani dalam sebuah acara parlemen di Madrid.
Selesai sudah. Fadli diam, dan media kehilangan salah satu darling yang selalu siap memberi pasokan berita.
Dari kalangan oposisi masih muncul Mardani Ali Sera dari PKS. Namun, Mardani tidak segarang Fadli yang berani tarung. Mardani malah sangat defensif ketika muncul kontroversi interupsi di rapat pleno DPR soal pengangkatan Jenderal Andika Perkasa sebagai Panglima TNI.
Alih-alih meladeni gertakan PDIP, Mardani malah minta maaf.
Jenderal Dudung Abdurrachman bukan politisi. Namun, dia tahu persis bagaimana bermain seperti politisi. Beberapa komentarnya lebih mirip sebagai komentar politisi ketimbang komentar jenderal Angkatan Darat.
Yang terbaru Dudung berkomentar mengenai kebiasaannya berdoa dengan memakai bahasa Indonesia setelah salat. Dalam dialog Podcast dengan youtuber Deddy Corbuzier (1/12) Dudung mengatakan, "Kalau saya berdoa setelah salat, doa saya simple, ya Tuhan, pakai bahasa Indonesia saja, karena Tuhan kita bukan orang Arab.’’
Pernyataan Dudung itu kontan mendapat reaksi keras dari banyak kalangan. Bahkan ada yang menganggap Dudung melakukan pelecehan agama karena menyebut ‘’Tuhan bukan orang Arab’’. KH Wafi Maimun Zubair menganggap pernyataan Dudung menimbulkan kegaduhan, karena tidak sesuai dengan tupoksinya sebagai pimpinan Angkatan Darat.
Kasus semacam ini pernah menimbulkan kontroversi ramai pada 2005. Seorang mantan petinju bernama Yusman Roy mendirikan Pondok I’tikaf Ngaji Lelaku di Malang. Salah satu ajaran yang diamalkan adalah melakukan salat dengan memakai Bahasa Indonesia.
Ajaran Yusman Roy ini mendapatkan reaksi keras dari para ulama termasuk dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Malang. Yusman dilaporkan ke polisi dan kemudian dibawa ke pengadilan. Hakim memutuskan Yusman terbukti melakukan pelecehan agama dan menjatuhkan vonis dua tahun penjara.
Selesai menjalani hukuman Yusman balik lagi mengasuh pondoknya. Dia juga tetap menjalankan ritual salat berbahasa Indonesia. Menurut Yusman, semua yang dia amalkan ada dalilnya dalam Al-Qur'an. Menurut Yusman, dirinya bukan orang Arab dan Allah memahami semua bahasa. Karena itu itu Yusman tetap menjalankan ritual salat berbahasa Indonesia.
Almarhum Gus Dur pernah menyampaikan pendapat yang dianggap nyeleneh ketika mengusulkan mengganti ‘’Assalamu alaikum’’ dengan ‘’selamat pagi’’.
Menurut Gus Dur, dua ungkapan salam itu mempunyai esensi yang sama, dan kerena itu ‘’selamat pagi’’ bisa dijadikan pengganti ‘’Assalamu alaikum’’.
Pernyataan itu menjadi kontroversi nasional. Bahkan kalangan NU sendiri tidak sepenuhnya bisa menerima pemikiran Gus Dur itu.
Pada Muktamar NU di Pesantren Krapyak, Yogyakarta, 1989, Gus Dur ‘’diadili’’ dan diminta mempertanggungjawabkan pendapatnya.
Gus Dur, seperti biasa, dengan santai mengatakan, banyak orang Indonesia yang tidak fasih mengucapkan Bahasa Arab, atau bisa mengucapkan tetapi tidak paham maknanya.
Banyak orang di pedesaan yang hanya mengerti ‘’sugeng enjing’’ atau ‘’punten’’ ketika menyapa orang. Banyak orang yang hanya bisa mengucapkan ‘’selamat pagi’’ dan kesulitan mengucapkan ‘’Assalamu alaikum’’ secara benar.
Gus Dur terkenal dengan ungkapannya ‘’gitu saja kok repot’’. Penjelasan Gus Dur yang sederhana membuat peserta muktamar tersenyum.
Namun, kontroversi di kalangan intelektual Islam masih tetap panas. Assalamu alaikum adalah ajaran Islam yang mengandung doa, sementara ‘’selamat pagi’’ adalah ungkapan budaya, karena itu tidak bisa menggantikan salam yang menjadi ajaran agama.
Gagasan pribumisasi Islam ala Gus Dur ini menjadi wacana yang kontroversial sampai sekarang. belakangan muncul wacana Islam Nusantara yang mirip dengan pribumisasi Islam ala Gus Dur. Gagasan Islam Nusantara memisahkan unsur budaya Arab dengan ajaran inti Islam. Yang harus diadopsi adalah ajaran Islam, bukan budaya Arabnya.
Konsep Islam Nusantara ditolak oleh banyak kalangan karena dianggap sebagai bagian dari agenda politik untuk proyek deradikalisasi Islam. Islam Nusantara ditolak karena dianggap mempromosikan ‘’Jawanisasi Islam’’ yang mengerdilkan Islam menjadi lokal dan tidak sesuai dengan prinsip Islam yang ‘’rahmatan lil alamin’’.
Kampanye Islam Nusantara mulai jarang terdengar, dan sekarang muncul kampanye moderasi beragama yang disponsori oleh Kementerian Agama di bawah Yaqut Choliel Qoumas.
Sama dengan gerakan Islam Nusantara, gerakan moderasi beragama juga menimbulkan kontroversi di kalangan umat, karena dianggap tidak sesuai dengan prinsip penerapan Islam yang kaffah, yang total dan holistik.
Ungkapan Dudung mengenai doa Bahasa Indonesia bisa dilihat sebagai bagian dari gerakan kampanye moderasi beragama. Demikian pula ketika beberapa waktu yang lalu Dudung menyebut bahwa semua agama benar di mata Tuhan.
Manuver terbaru ini menunjukkan bahwa Dudung adalah jenderal yang piawai dalam memainkan isu-isu politik. Sangat mungkin, Jenderal Dudung punya target politik pribadi dengan manuver-manuver ini. (*)
Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror