JAKARTA - Indonesia Pemantau Aset (Inpas) melaporkan PT Pertamina dan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas ke Komisi Pemberantasan Korupsi, Rabu (27/3). Inpas menduga, oknum di dua lembaga itu sengaja menyimpangkan penyaluran Jenis Bahan Bakar Tertentu (JBT) Bersubsidi periode 2008-2011 sehingga merugikan negara senilai Rp 289 miliar.
Direktur Eksekutif Inpas, Boris Korius Malau menjelaskan, pelaporan dugaan penyimpangan ini mengacu pada pasal 55 Undang-undang nomor 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi.
Menurut dia, di pasal itu disebutkan setiap orang yang menyalahgunakan pengangkutan dan atau niaga BBM yang disubsidi pemerintah dipidana dengan penjara paling lama enam tahun dan denda maksimal Rp 60 miliar.
"Bentuk-bentuk penyimpangan, antara lain adanya penyaluran JBT Bersubsidi kepada pihak yang tidak berhak menerimanya pada rentang waktu 2008-2011," kata Boris saat menyerahkan dokumen temuan Inpas terkait penyimpangan JBT Bersubsidi ke KPK, Jakarta, Rabu (27/3).
Boris merincikan, pada 2008, ada 35 kasus penyaluran JBT. Rentang waktu setahun itu kerugian negara sekitar Rp 176 miliar. Penyimpangannya, kata dia, penyaluran 73.717 liter JBT Bersubsidi ke industri dan 2.176.283 liter ke kapal penangkap ikan. Ditegaskan dia, subsidi itu melebihi kapasitas yang sudah ditentukan.
Boris melanjutkan, ada 27 kasus penyimpangan pada 2009 dengan nilai subsidi Rp 33 miliar. Diantaranya, PT KAI menggunakan solar bersubsidi sebanyak 35.989.419 liter untuk angkutan barang industri. Selain itu, lanjut dia, penyaluran BBM Bersubsidi pada dua SPBB melebihi alokasi yang ditetapkan sebesar 10 ribu liter premium dan 80 ribu liter solar.
Menurutnya lagi, kasus serupa juga terjadi pada 2010-2011. Boris mengatakan, 2010 tercatat 11 kasus dengan nilai subsidi Rp 6,4 miliar. Tahun 2011 sebanyak 30 kasus dengan nilai sebesar Rp 73,8 miliar. "Berdasarkan temuan data-data itu yang terjadi dari tahun ke tahun terus berlangsung diduga melibatkan oknum pejabat Pertamina," ujarnya.
"Kami meminta Ketua KPK Abraham Samad sesegera mungkin menindaklanjuti laporan ini untuk menghindari kerugian negara yang lebih besar," kata Boris.
Dia juga mengungkapkan bahwa BPH Migas juga harus ikut bertanggungjawab. Sebab, katanya regulasi penyaluran JBT Bersubsidi berada di lembaga itu.
Hal ini ditegaskan dalam Keputusan Presiden nomor 86 tahun 2002 pada Bab I pasal 4.
Bunyinya, sebut dia, fungsi badan pengatur adalah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan penyediaan dan pendistribusian BBM. "Sebagai badan pengawas, kami menilai BPH Migas telah lalai menjalankan fungsinya," kata dia.
Terbukti pada tahun 2011, lanjut dia, subsidi JBT melebihi volume yang ditetapkan APBN-P sebesar 1.324.861 kiloliter. "Ini sangat fatal. Jangan sampai untuk menutupi kebocoran-kebocoran minyak di Pertamina diatasi dengan cara menaikan harga BBM," tegas Boris.
Inpas meminta KPK menjadikan kasus penyimpangan penyaluran JBT Bersubsidi menjadi bagian prioritas penyidikan kasus korupsi di Tanah Air. Dia menegaskan, KPK sudah diberikan jalan terang karena Inpas telah memberikan bukti-bukti kerugian negara yang telah dapat dihitung.
Menurutnya lagi, kasus ini melibatkan pejabat negara dan adanya dugaan tindakan perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan kewenangan dengan memperkaya diri sendiri ataupun orang lain."Sebab itu, kami merekomendasikan pasal 3 UU Nomor 31 tahun 2009 juncto UU nomor 20 tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi," pungkasnya. (boy/jpnn)
Direktur Eksekutif Inpas, Boris Korius Malau menjelaskan, pelaporan dugaan penyimpangan ini mengacu pada pasal 55 Undang-undang nomor 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi.
Menurut dia, di pasal itu disebutkan setiap orang yang menyalahgunakan pengangkutan dan atau niaga BBM yang disubsidi pemerintah dipidana dengan penjara paling lama enam tahun dan denda maksimal Rp 60 miliar.
"Bentuk-bentuk penyimpangan, antara lain adanya penyaluran JBT Bersubsidi kepada pihak yang tidak berhak menerimanya pada rentang waktu 2008-2011," kata Boris saat menyerahkan dokumen temuan Inpas terkait penyimpangan JBT Bersubsidi ke KPK, Jakarta, Rabu (27/3).
Boris merincikan, pada 2008, ada 35 kasus penyaluran JBT. Rentang waktu setahun itu kerugian negara sekitar Rp 176 miliar. Penyimpangannya, kata dia, penyaluran 73.717 liter JBT Bersubsidi ke industri dan 2.176.283 liter ke kapal penangkap ikan. Ditegaskan dia, subsidi itu melebihi kapasitas yang sudah ditentukan.
Boris melanjutkan, ada 27 kasus penyimpangan pada 2009 dengan nilai subsidi Rp 33 miliar. Diantaranya, PT KAI menggunakan solar bersubsidi sebanyak 35.989.419 liter untuk angkutan barang industri. Selain itu, lanjut dia, penyaluran BBM Bersubsidi pada dua SPBB melebihi alokasi yang ditetapkan sebesar 10 ribu liter premium dan 80 ribu liter solar.
Menurutnya lagi, kasus serupa juga terjadi pada 2010-2011. Boris mengatakan, 2010 tercatat 11 kasus dengan nilai subsidi Rp 6,4 miliar. Tahun 2011 sebanyak 30 kasus dengan nilai sebesar Rp 73,8 miliar. "Berdasarkan temuan data-data itu yang terjadi dari tahun ke tahun terus berlangsung diduga melibatkan oknum pejabat Pertamina," ujarnya.
"Kami meminta Ketua KPK Abraham Samad sesegera mungkin menindaklanjuti laporan ini untuk menghindari kerugian negara yang lebih besar," kata Boris.
Dia juga mengungkapkan bahwa BPH Migas juga harus ikut bertanggungjawab. Sebab, katanya regulasi penyaluran JBT Bersubsidi berada di lembaga itu.
Hal ini ditegaskan dalam Keputusan Presiden nomor 86 tahun 2002 pada Bab I pasal 4.
Bunyinya, sebut dia, fungsi badan pengatur adalah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan penyediaan dan pendistribusian BBM. "Sebagai badan pengawas, kami menilai BPH Migas telah lalai menjalankan fungsinya," kata dia.
Terbukti pada tahun 2011, lanjut dia, subsidi JBT melebihi volume yang ditetapkan APBN-P sebesar 1.324.861 kiloliter. "Ini sangat fatal. Jangan sampai untuk menutupi kebocoran-kebocoran minyak di Pertamina diatasi dengan cara menaikan harga BBM," tegas Boris.
Inpas meminta KPK menjadikan kasus penyimpangan penyaluran JBT Bersubsidi menjadi bagian prioritas penyidikan kasus korupsi di Tanah Air. Dia menegaskan, KPK sudah diberikan jalan terang karena Inpas telah memberikan bukti-bukti kerugian negara yang telah dapat dihitung.
Menurutnya lagi, kasus ini melibatkan pejabat negara dan adanya dugaan tindakan perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan kewenangan dengan memperkaya diri sendiri ataupun orang lain."Sebab itu, kami merekomendasikan pasal 3 UU Nomor 31 tahun 2009 juncto UU nomor 20 tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi," pungkasnya. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Diperiksa KPK, Politisi PAN Mengaku Tak Kenal Tersangka
Redaktur : Tim Redaksi