jpnn.com - JAKARTA – Kebijakan pemerintah dalam mengurusi soal gula patut pertanyakan. Pemerintah ingin menggenjot kinerja industri gula nasioal, nanum di sisi lain juga membuka impor gula rafinasi besar-besaran. Kebijakan ini yang menjadi pukulan berat bagi industri gula nasional.
Direktur Utama PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) Ismed Hasan Putro mengatakan, impor gula rafinasi (gula kristal putih untuk industri) membuat ratusan ribu ton gula lokal tak bisa dijual dan menumpuk di gudang.
BACA JUGA: LRT Rugikan Jasa Marga? Ini Kata Bos Adhi Karya
Akibatnya, penutupan pabrik gula pun menjadi pilihan pahit yang terpaksa harus dilakukan. ”Kami sudah menutup satu pabrik. Kalau impor gula rafinasi kembali dibuka, kami akan tutup satu pabrik lagi,” ujarnya saat dihubungi Jawa Pos (21/3).
Pada 2014 BUMN di sektor perkebunan itu menutup Pabrik Gula Karangsuwung di Cirebon, Jawa Barat. Tahun ini, kata Ismed, jika pemerintah jadi membuka keran impor 1,5 juta ton gula rafinasi, RNI akan menutup Pabrik Gula Sindang Laut yang juga di Cirebon.
BACA JUGA: Laba Melejit, Terbesar dari Jualan Mi Instan
”Ada 3 ribu karyawan tetap dan tidak tetap yang terpaksa di-PHK (pemutusan hubungan kerja), ditambah 2 ribu petani tebu yang akan kehilangan pekerjaan,” katanya.
Sebelumnya Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Panggah Susanto mengatakan, setelah memberikan rekomendasi izin impor gula rafinasi 600 ribu ton pada Triwulan I 2015, pihaknya meberikan rekomendasi untuk impor tambahan sebesar 1,5 juta ton.
BACA JUGA: Astra Kuasai Pasar SUV
Tambahan tersebut diberikan untuk mencukupi kebutuhan industri makanan dan minuman. ”Rekomendasi sudah kami serahkan ke Kemendag (Kementerian Perdagangan),” ucapnya.
Gula rafinasi sebenarnya memang diperuntukkan pasar industri makanan dan minuman. Namur, kenyataannya, gula impor tersebut selalu saja merembes ke pasar umum. Akibatnya, harga gula jatuh dan gula hasil produksi pabrik dalam negeri sulit bersaing.
Januari lalu Menteri Perdagangan Rachmat Gobel membeber temuan tim verifikasi yang menyebut sepanjang Januari–September 2014 ada 199,5 ribu ton gula rafinasi yang merembes masuk ke pasar umum.
Pemerintah juga telah menjanjikan untuk bersikap tegas kepada importer gula rafinasi yang membocorkan gula ke pasar umum. Janji untuk mengawasi lebih ketat juga berulang-ulang disampaikan Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian.
Namun, kata Ismed, pelaku usaha industri gula dalam negeri tidak lagi percaya. ”Jaminan gula rafinasi tidak merembes ke pasar umum? Itu omong kosong,” tegasnya.
Ismed pun mempertanyakan keberpihakan pemerintah kepada industri gula dalam negeri. Dia mencontohkan, ketika Februari perusahaan otomotif asal Amerika Serikat General Motors (GM) menutup pabriknya di Bekasi, para menteri langsung memusatkan perhatiannya.
Sebaliknya, ketika ada pabrik tebu yang mempekerjakan ribuan karyawan dan petani terancam tutup, kepedulian pemerintah tidak terlihat. ”Ini ironis, memprihatinkan,” tuturnya.
Rembesan gula rafinasi impor yang terus berulang juga membuat berang para petani tebu. Ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Arum Sabil mengatakan, selama ini pemerintah seolah menutup mata dengan dampak yang diderita petani gara-gara harga gula yang anjlok karena rembesan gula rafinasi. ”Apalagi, sanksi bagi importer hanya administrasi. Mestinya mereka dipenjara seumur hidup atau dihukum mati,” tegasnya.
Berdasar data Dewan Gula Indonesia 2014, impor gula sepanjang tahun lalu mencapai 3,7 juta ton, sedangkan produksi gula oleh pabrik dalam negeri 2,6 juta ton, adapun kebutuhan gula nasional untuk rumah tangga dan industri sekitar 5,7 juta ton. Dengan demikian, ada kelebihan pasokan sekitar 600 ribu ton. (owi/c10/sof)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dorong Perajin di Daerah Tertinggal Cari Celah dari Pelemahan Rupiah
Redaktur : Tim Redaksi