Duh...Harga Cabai Terus Naik

Minggu, 06 November 2016 – 00:18 WIB
Pedagang di pasar tradisional. Ilustrasi Foto: dok.JPNN.com

jpnn.com - SOLSEL - Harga cabai di sejumlah daerah di Sumatera Barat hingga kemarin masih mengalami kenaikan.

Bahkan, kenaikan terjadi dalam satu-dua hari sekali. Besaran kenaikan harga cabai berkisar Rp 5 ribu.

BACA JUGA: Pulang dari Bromo, Mobil Pembawa Mahasiswa UGM Masuk Jurang

Pantauan Padang Ekspres (Jawa Pos Group) di Pasar  Muarolabuh, Kabupaten Solok Selatan, Jumat (4/11), harga cabai merah naik menjadi Rp 95 ribu per kilogram.

Padahal dua hari sebelumnya harga cabai  Rp 90 ribu per kilogram.

BACA JUGA: Tak Kenal Waktu, Bocah Ingusan Mau Layani Pria Beristri

Di Pasar Muorobodi, Kecamatan IV Nagari , Kabupaten Sijunjung  harga cabai juga naik Rp 5 ribu. Pada Rabu (2/11), harga cabai Rp 80 ribu per kilogram dan Kamis (3/11) sebesar Rp 80 ribu. Kemudian, Jumat (4/11) naik lagi jadi Rp 85 ribu.

Pedagang cabai di Pasar Muarolabuh, Seprianti menyebutkan kenaikan harga cabai dipicu harga beli kepada pemasok juga naik.

BACA JUGA: Puluhan Ton Ikan Sitaan KKP Dibagikan ke Warga

Dia sebelumnya membeli cabai dari pemasok seberat 1 kilogram seharga Rp 89 ribu sehingga dijual lagi di pasar Rp 90 ribu per kilogram.

“Hari ini (kemarin,red), harga pembelian kami naik dari Rp 89 ribu jadi Rp93 ribu per kilogram. Sehingga harus menjual cabai seharga Rp 94 ribu hingga Rp 95  ribu per kilogram,” jelasnya.

Rata-rata setiap hari pasar, cabainya terjual maksimal 30 kg. Berkurang dari sebelum kenaikan harga yang mencapai minimal 70 kg.

Rita,45, pedagang di Pasar Muorobodi  Sijunjung menyebutkan, kenaikan harga cabai karena pasokan cabai yang diterima pedagang juga sedikit.

“Cabai yang kami beli biasanya berasal dari pulau Jawa dan Sumbar. Sekarang entah karena pasokan kurang atau bagaimana, harga dari tengkulak lebih mahal dari biasanya. Saat ini modal kami sampai Rp 75 ribu sekilo,” ungkap Rita sambil melayani pembeli, kemarin.

Kenaikan harga cabai berimbas pada menurunnya daya beli. Apalagi harga karet juga belum menunjukkan kenaikan.

”Biasanya langganan saya membeli sekilo cabai setiap belanja, namun karena harganya naik, daya beli langganan hanya setengah kilo saja,” tuturnya.

Juriani, 40, salah seorang warga Sijunjung mengatakan, naiknya harga cabai dalam kondisi ekonomi masyarakat yang tidak stabil saat ini, sangat berpengaruh pada daya beli.

Meski dirinya seorang pegawai negeri sipil, namun naiknya harga cabai berpengaruh pada daya beli keluarganya.

”Jika uang Rp 100 ribu biasanya bisa buat beli cabai dan bawang serta sayur-sayuran, saat ini hanya cukup buat beli cabai,” ujarnya.

Meningkatnya harga cabai tidak hanya berpengaruh pada warga dan pedagang cabai saja, tapi juga bagi Elda Susanti, 34, salah seorang pemilik rumah makan di jalan lintas Sumatera, Sijunjung.

Elda mengatakan, keuntungan rumah makan yang dikelolanya semakin menipis akibat  tingginya harga cabai. Pasalnya, setiap rumah makan di  Sumbar sangat identik dengan masakan pedas.

“Kita sangat merasakan dampak kenaikan harga cabai. Kondisi saat ini tidak mungkin pengusaha rumah makan menaikkan harga makanan karena jelas akan membuat pelanggan pergi. Kita juga tidak bisa mengurangi porsi cabai untuk setiap makanan yang dijual, karena akan menurunkan kualitas atau cita rasa masakan,” terangnya.

Elda menuturkan, harga cabai saat ini mulai mengkhawatirkan, apalagi bagi dirinya yang memerlukan bumbu dapur dalam jumlah besar dan masakannya banyak menggunakan cabai.

Elda berharap pemda bisa segera menstabilkan harga cabai sehingga tidak berdampak pada terganggunya usaha mereka.

Terpisah, Kepala Dinas Koperasi Industri dan Perdagangan (Disperindag) Solsel Akhirman meminta agar Dinas Pertanian mencarikan solusi terkait serangan hama yang menyerang tanaman cabai petani daerah itu.

Dengan mengatasi serangan hama tersebut, maka pasokan cabai diharapkan bisa memenuhi kebutuhan masyarakat Solsel.

Menurutnya, serangan hama cabai tak hanya merugikan petani, namun juga akan berdampak pada berkurangnya pasokan dan tingginya harga cabai di tengah masyarakat.

Diakuinya bahwa selama ini selaian pasokan lokal, pasokan cabai untuk warga Solsel berasal dari Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi dan Alahanpanjang, Kabupaten Solok, Lampung dan pulau Jawa.

“Meski pasokan cabai impor kurang, kami berharap pedagang jangan mencekik harga. Jangan terlalu ambil untung lebih banyak sehingga masyarakat mengeluh,” tukasnya.

Sementara, Kepala Dinas Pertanian Peternakan dan Ketahanan Pangan Solsel, Del Irwan menyebutkan di APBD Perubahan 2016 pihaknya akan memperbantukan 15 kelompok tani (kelntan) untuk menanam cabai merah.

Pihaknya hanya membantu pupuk, tapi tidak sepenuhnya. Yakni hanya pupuk MPK dan pupuk cair serta mulsa.

Sedangkan bibit cabai dibeli ke petani lokal. Cara budidaya cabai mulai bercocok tanam hingga panen nantinya akan dipantau dinas.

“Sebanyak 15 keltan kita bina menanam cabai, sikapi lonjakan harga hingga pertengahan tahun 2017. Bila tak dilakukan, maka harga cabai akan terus meningkat,” ungkapnya.

Hal itu dilakukan untuk mengantisipasi inflasi dan terganggunya ekonomi masyarakat.

Hal itu sekaligus menindaklanjuti imbauan Gubernur Sumbar agar satu kepala keluarga menanam 10 batang cabai dengan polybag.

Bibit cabai dan polybag bakal disalurkan ke warga pertengahan November ini.

“Pertengahan bulan ini, kami realisasikan. Agar setiap KK tidak terlalu bergantungan cabai ke Pedagang, sebab untuk kebutuhan dalam jumlah sedikit akan dapat terpenuhi dengan bercocok tanam cabai di rumah,” katanya.

Soal serangan hama, menurutnya budidaya tanaman cabai butuh penanganan khusus. Mulai pembersihan lokasi tanam hingga menjauhi kondisi tanah lembab.

Tanaman cabai butuh pencahayaan lebih serta dipantau untuk antisipasi serangan hama.

“Soal penyakit keriting, mudah layu, membusuk dan lainnya memang sulit diatasi. Namun, dapat dikurangi lewat perhatian khusus dengan penyemprotan pestisida ketika hama baru menyerang,” katanya.

Terpisah, Dinas Pertanian Provinsi Sumbar Candra mengklaim kenaikan harga cabai bukan disebabkan permainan pedagang, namun berkurangnya pasokan.

“Kenaikan yang terjadi memang karena pasokan cabai untuk Sumbar berkurang,” sebut Candra.

Dia mengatakan, kondisi tersebut diperparah dengan dijualnya cabai lokal asal Sumbar ke provinsi tetangga seperti Riau dan Kepulauan Riau.

Data Dinas Pertanian Sumbar, dalam setahun produksi cabai lokal mencapai 59 ribu ton. Sentra penghasil cabai di antaranya, Solok, Agam, Tanahdatar dan Limapuluh Kota. Sementara untuk konsumsi di Sumbar rata-rata mencapai 30 ribu ton per tahun.

“Jadi sebenarnya Sumbar bisa tidak kekurangan cabai jika pedagang tidak menjual cabai ke provinsi tetangga, seperti Pekanbaru dan Kota Batam. Jadi cabai lokal harus dimanfaatkan untuk dijadikan solusi,” ujarnya.

Menurut Candra, produksi cabai merah lokal yang dijual ke luar provinsi mencapai 30 ribu ton lebih setiap tahun.

Guna meredam kenaikan harga cabai, Dinas Pertanian menggelar pasar tani setiap Jumat di kantor atau di Dinas Pertanian di KM-8 Bandar Buat, Padang, dan dikhususkan menjual komoditi cabai merah.

“Jumlah cabai yang disediakan setiap minggu selalu ditambah, dengan harga jual di bawah harga pasar,” ujarnya.

Pada Jumat ini pihaknya menempatkan cabai 100 kilogram. Minggu depan akan dinaikan menjadi 200 kilogram dan aman dinaikkan unuk seterusnya.

“Harga jual cabai Rp 70 ribu di pasar tani, sedangkan harga di pasaran Rp 80 ribu sampai Rp 85 ribu per kilogram,” sebut Candra.

Sementara untuk meredam gejolak harga cabai akibat pasokan menipis, Gubernur Irwan Prayitno telah mengeluarkan surat edaran pada 24 Oktober lalu, yang isinya menginstruksikan seluruh PNS menanam cabai di pekarangan rumah masing-masing.

Satu orang diimbau menanam 10 pohon cabai merah. Dengan harapan, produksi cabai meningkat, dan masyarakat bisa memenuhi kebutuhan tanpa tergantung dari stok di pasaran.

“Untuk tahun ini penanaman cabai oleh PNS masih dilakukan secara swadaya. Hampir 50 persen PNS Dinas Pertanian di kabupaten/kota telah melaksanakan arahan ini. Tahun 2017 pohon cabai akan diberikan Dinas Pertanian karena baru bisa dianggarkan di tahun 2017,” jelasnya.

Seperti diketahui, komoditi cabai merah menjadi penyumbang inflasi Oktober di Sumbar. Berdasar rilis Bank Indonesia, inflasi di Sumbar pada Oktober tertinggi kelima secara nasional, yakni sebesar 0,54 % (mtm).

Secara spasial, inflasi Sumbar disumbang oleh inflasi Kota Padang sebesar 0,56 %, dan Bukittinggi 0,37 %. Cabai merah menjadi komoditi penyumbang inflasi tertinggi. (tno/hnd/wni/sam/jpnn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Danlantamal V Tinjau Pembangunan Lapangan Tembak Pesapen


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler