Tragedi di Pelabuhan Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), 24 Desember lalu, menyisakan duka mendalam bagi para korban. Ada yang kehilangan nyawa, ada pula yang kehilangan masa depan.
UMAR WIRAHADI, Bima
SITI Rahma masih berduka. Perempuan 35 tahun itu kehilangan Arif Rahman, 19, keponakan sekaligus anak angkatnya, yang tewas karena peluru polisi dalam insiden di Pelabuhan Sape akhir tahun lalu. Yang menyesakkan, tragedi pilu tersebut terjadi di depan mata Siti. "Dia (Arif Rahman, Red) sudah seperti anak saya sendiri," ungkap perempuan tiga anak itu kepada Jawa Pos, Senin (6/2).
Arif merupakan salah seorang di antara dua korban tewas karena tertembus timah panas polisi dalam tragedi Sape. Sebetulnya, dia tak begitu terlibat dalam aksi penolakan tambang tersebut. Seminggu sebelum kejadian, pemuda tamatan SMA tersebut baru saja pulang dari Timika, Papua. Di sana, dia bekerja sebagai tukang bangunan.
Kedatangan Arif di kampung halamannya di Desa Sumi, Kecamatan Lambu, bertepatan dengan situasi yang memanas. Warga di sana meradang setelah Bupati Bima Ferry Zulkarnain mengeluarkan surat keputusan (SK) izin eksplorasi emas.
Seperti warga lainnya, Arif pun tersulut dan ikut menentang. "Dia ikut demo, saya yakin, karena kesadarannya. Bukan karena provokasi warga lainnya," ujar Siti.
Tewasnya Arif disaksikan langsung oleh Siti. Arif tertembak sekitar 200 meter dari Pelabuhan Sape. Dada kirinya tertembus peluru dan tewas seketika. Siti juga menjadi korban. Perempuan yang bekerja sebagai petani tersebut terkena tembakan di paha kanan. Namun, luka itu tak berakibat fatal karena bisa tertolong tim medis.
Korban tewas lainnya adalah Saiful, 18, siswa kelas XII SMAN 1 Lambu. Menurut kesaksian sejumlah warga, Saiful tertembak saat menolong Arif di depan SPBU Desa Bugis. "Padahal, saat itu dia sudah angkat tangan. Dia tidak bawa apa-apa," tutur Salfina Juliani, 15, seorang pelajar yang juga menjadi korban. Betis kiri siswi SMAN 1 Kota Bima itu juga terkena peluru. Beruntung, luka yang dialami tak begitu parah.
Salah satu di antara puluhan korban luka adalah Sahabudin. Dia sejatinya tidak ikut berdemo saat kejadian. "Saya memang pernah ikut, tapi dua hari sebelum kejadian," tuturnya.
Pagi itu, pukul 07.10 Wita, bunyi dering SMS masuk ke handphone Sahabudin. Sebuah pesan pendek dikirim tetangganya. Bunyinya: Cepat tolong kami. Banyak warga yang sudah diangkut polisi ke kota. Pria 31 tahun itu pun langsung bergegas menuju Pelabuhan Sape.
Sesampai di pertigaan menuju pelabuhan, suasana sudah ramai. Mobil-mobil patroli melaju, sedangkan beberapa warga tampak berlarian di pinggir jalan. Sahabudin nekat melajukan motornya mendekati pelabuhan.
Nahas, sesampai di depan sebuah toko, beberapa meter dari gerbang dermaga, dia ambruk. Sahabudin merasakan nyeri yang sangat hebat di atas lutut kirinya. "Saya belum sadar bahwa saya terkena tembakan," katanya.
Belakangan, dia baru sadar tubuhnya terkena peluru. Darah mengalir dari atas lututnya. Untungnya, timah panas itu tak sampai mengenai tulang tempurung kakinya. Beberapa saat kemudian, sejumlah aparat datang mendekati. Bukannya menolong, salah seorang aparat malah memukulkan popor senjata ke kepala dan pundak Sahabudin. Pria yang bekerja sebagai sopir ekspedisi itu mengaku digilas motor yang ditunggangi polisi.
Sehari di RSU Kota Bima, kondisi Sahabudin membaik. Namun, tim medis menyerah. Petugas tak bisa mengeluarkan pelor panas yang bersarang di pahanya. Sahabudin pun dirujuk ke RSUD di Mataram.
Baru pada hari kedua peluru di paha Sahabudin berhasil dikeluarkan. Ternyata, timah panas itu menembus tulang pahanya. Untuk pemulihan, bungsu di antara dua bersaudara tersebut dirawat hingga 12 hari. Bahkan, untuk meluruskan kembali tulangnya, paha kirinya dibedah dan dipasangi pen atau pelat. "Kata dokter, setahun lagi alat ini baru bisa dilepas," jelasnya.
Karena luka itu, Sahabudin tidak bisa berjalan sempurna. Dia harus menggunakan alat bantu. Penderitaan dia belum berakhir. Karena cacat itu, dia gagal menikah. Tunangannya berubah pikiran dan membatalkan rencana pernikahan.
"Padahal, akhir Desember itu kami berencana menikah. Keluarga kami sudah setuju. Apa boleh buat, tiba-tiba nggak jadi," ungkapnya lantas tersenyum.
Cerita duka juga datang dari Ismail Abdullah, 55. Kakek tiga cucu itu diterjang empat peluru. Dua di bagian dada, satu di lengan kanan, dan satu lainnya bersarang di paha. Ismail beruntung karena nyawanya selamat. "Waktu itu saya merasa akan mati. Tapi, ini semua karena pertolongan Tuhan," ujarnya.
Dia sama sekali tidak menduga aparat bertindak seperti itu. Pagi itu, pukul 05.30, warga sempat bersalaman dengan polisi. Massa yang waktu itu sekitar 100 orang bersiap pulang ke kampungnya. Namun, suasana berubah tegang.
Hal tersebut bermula dari permintaan polisi kepada warga agar menyerahkan senjata tajam (sajam). Namun, warga dengan tegas menolak. Aparat lantas mengepung pelabuhan. Dalam negosiasi, warga bersedia menyerahkan sajam asalkan polisi juga meletakkan senjata. "Saya anggap, dari situlah awal mula meletusnya tembakan," beber Ismail.
Selain empat peluru yang bersarang di tubuhnya, peci hitam yang dikenakan Ismail sempat terserempet timah panas. Dia menunjukkan bekas peluru yang menyasar pecinya. Tampak jelas, di bagian luar peci hitam itu terdapat dua bekas bolongan. "Untung tidak menembus kepala saya. Semua ini karena kuasa Allah semata," ungkapnya.
Untuk menghindari tembakan, Ismail sampai terjun ke laut. Dia kemudian ditolong keponakannya yang bernama M. Mahfud, 31. Ayah tiga anak itu lantas dibawa ke Puskesmas Lambu. Dua pelor berhasil dikeluarkan dari dada Ismail, sedangkan dua lainnya dikeluarkan di RSU Kota Bima.
Selanjutnya, selama seminggu dia dirawat intensif di RSUD Mataram. "Sekarang dada saya terasa sesak. Kalau bernapas, terasa berat," ujar Ismail.
Perlakuan polisi yang dinilai sewenang-wenang itu langsung mendapat perhatian dari Jakarta. Komnas HAM dan LSM Kontras langsung turun ke lokasi. Hasilnya, dua lembaga yang konsen dengan urusan masyarakat sipil tersebut menyimpulkan adanya pelanggaran berat HAM dalam insiden di Sape.
Tentang korban tewas dan puluhan warga yang tertembak, Kapolres Kota Bima AKBP Kumbul K.S. tak bisa menyangkal bahwa ada pelanggaran berat dalam kasus itu. Dalam keterangannya kepada koran ini, sekitar 10 orang sedang diperiksa di Polda NTB.
Sayangnya, alumnus Akpol 1991 itu tak bersedia membeberkan lebih jauh seputar sanksi yang dikenakan kepada aparat yang menyalahi protap. "Saya tidak bisa menjelaskan. Kasus ini sedang ditangani Polda NTB langsung," kilahnya. (*/c5/ca)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Anak-Anak Khawatir Bakal Ditinggal sang Ibu
Redaktur : Tim Redaksi