jpnn.com - Pabrik keripik singkong milik Sucipto ini barangkali menjadi yang terbesar di wilayah Malang Raya, bahkan mungkin di Jawa Timur. Kapasitas produksinya saat ini mencapai tiga ton per hari.
Tapi, jauh sebelum menjadi pengusaha besar seperti sekarang ini, Sucipto pernah hidup sangat miskin.
BACA JUGA: Misteri Masjid Jin, Bergantung pada Mata Batin Sang Kiai
GIGIH MAZDA ZAKARIA
Bangunan pabrik keripik Cap Lumba-Lumba itu berdiri kokoh di atas lahan seluas satu hektar, di Desa Talok, Kecamatan Turen.
BACA JUGA: Kangen Koes Plus? Jangan Sampai Ketinggalan Acara Ini
Pada bagian depan halaman pabrik itu, sebuah monumen lumba-lumba setinggi dua meter berdiri kokoh.
Lumba-lumba itu, seolah menjadi hewan yang sakral di mata sang pemilik pabrik. “Penggunaan nama itu berawal dari pengalaman saya saat berada di Pantai Ngliyep, 1998 silam. Waktu itu, saya melihat ada sekawanan lumba-lumba yang bergerak dari timur ke barat,” ujar Lumba, mencoba mengingat-ngingat lagi memori dua dekade silam, saat ditemui di rumahnya, akhir bulan lalu.
BACA JUGA: Kalau Mudik ke Malang Ngadem di 10 Desa Wisata Ini Yuk...
Meski begitu, usaha untuk memulai bisnis keripik singkong belum ia lakukan di tahun tersebut.
Kala itu, kehidupan Sucipto belum seperti sekarang. Sucipto mengais rezeki dengan menjalani pekerjaan kasar. Mulai dari petani, hinga kuli batu.
Pekerjaan kasar itu ia lakoni sejak 1986. Dari pekerjaannya itu, Sucipto bisa memiliki tabungan sebesar Rp 90 juta di tahun 1997.
Tapi, alih-alih menggunakannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, maupun untuk modal usaha, Sucipto malah “membuangnya”.
“Saya mendapatkan petunjuk lewat mimpi. Dalam mimpi itu, saya diminta untuk membersihkan semua harta saya. Bahkan, istri saya juga bermimpi serupa,” ujar dia.
Bukan hanya uang Rp 90 juta saja, Sucipto juga memberikan seluruh benda yang ia miliki untuk fakir miskin.
“Kami lantas tinggal di rumah mertua. Untuk tidur, kami hanya menggunakan alas tikar,” kata pria yang sempat meramaikan penjaringan calon bupati Malang dari PDIP, 2014 silam itu.
Sementara untuk menyambung hidup, Sucipto memilih untuk bekerja sebagai kuli batu dan buruh tani. Pekerjaan itu ia lakoni selama lima tahun.
Hingga akhirnya, di tahun 2001, Sucipto mendapatkan ide untuk membuka usaha pembuatan keripik. Tekadnya bulat, meski ia tak memiliki cukup uang untuk memulai sebuah usaha.
Solusinya adalah pinjam sana-pinjam sini. “Saya ngebon bahan baku singkong dari petani. Minyaknya ngebon dari toko. Wajan penggorengannya juga pinjam, dari saudara,” kata pria 51 tahun ini.
Tak hanya itu, Sucipto juga membuat sendiri alat pemotong singkong. Dia memanfaatkan gergaji kayu bekas dan dinamo dari pompa air. Dengan alat sederhana buatannya itu, Sucipto bisa memotong singkong menjadi bagian-bagian tipis.
Pada tahap awal merintis usaha, Sucipto dibantu beberapa orang tetangganya. Butuh waktu tiga hari untuk menghasilkan … kilogram keripik singkong.
Keripik-keripik singkong yang awalnya tanpa merk itu dipasarkan sendiri oleh Sucipto. Door to door, keliling kampung.
“Alhamdulillah, dalam waktu sekitar dua jam, barang dagangan saya terjual habis,” ujar dia.
Dari situ, Sucipto seolah melihat secercah harapan dari bisnis yang baru ia rintis itu. Apalagi, dari keliling kampung itu, Sucipto mendapatkan relasi-relasi baru dari pedagang yang siap membantu pemasaran produknya.
Bisnis itu terus berkembang. Sucipto pun memiliki berpikir soal brand saat ada pihak dari Dinas Kesehatan yang mendatangi pabriknya, 2004 silam.
“Ketika mencari merk apa yang cocok, saya teringat dengan momen saat melihat kawanan lumba-lumba di Pantai Ngliyep,” kata pria kelahiran 29 Agustus 1965 itu.
Kini, usaha keripik cap lumba-lumba itu berkembang besar hingga memiliki 187 pegawai. Setiap harinya, pabrik milik Sucipto itu rata-rata memproduksi tiga ton keripik.
Dua ton di antaranya adalah keripik singkong. Sementara satu ton lainnya keripik pisang. Pemasarannya, tersebar di berbagai daerah di seluruh Indonesia.
Setelah berhasil mengembangkan usaha keripik singkong sampai sebesar sekarang, Sucipto tak lupa menyisihkan pendapatan yang ia terima untuk sedekah.
Selama delapan tahun, terhitung sejak 2009 hingga sekarang, Sucipto sudah mengeluarkan Rp 2 miliar untuk membangun Masjid Ageng Raden Bagus di seberang rumahnya. Proses pembangunan masjid seluas 832 meter persegi itu masih terus berlangsung.
Tak hanya masjid saja, Sucipto juga punya andil dalam pengembangan kawasan Candi Jawar di Dusun Kaliputih, Desa Mulyoasri, Kecamatan Ampelgading. Di sana, dia membangun sebuah pendapa.
“Tujuannya, supaya pengunjung bisa berteduh saat cuacanya panas, atau saat turun hujan,” kata bapak empat anak ini.
Kemudian, di tahun 2012, dia juga mengeluarkan uang Rp 175 juta untuk membangun PAUD-TK Raden Bagus, di Talok, Turen.
Lalu, Sucipto juga membeli lahan seluas 9 hektar di Gunung Prekul, Desa Gedangan, dan lahan seluas 5 hektar di kawasan Gunung Putri, Dampit. Lahan berhektar-hektar itu sengaja ia beli untuk reboisasi. (*/muf)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Timnas U-19 Lumat DPFF Malang United 5-0
Redaktur & Reporter : Soetomo