----------
Priyo Handoko, Jakarta
---------
Hujan deras masih mengguyur ibu kota ketika Dudi Mardiyansyah berbincang dengan Jawa Pos di Bale Dahar, Jalan Panjang, Jakarta Barat, Rabu malam lalu (6/2).
Awalnya, dia menunjukkan jari tengah tangan kanannya. Sejurus kemudian, ganti lidahnya yang sedikit dijulurkan. Tapi, saat itu Dudi bukan sedang marah atau bermaksud kurang sopan.
Dia sengaja menunjukkan bukti-bukti fisik yang ditimbulkan saat diserang kejang hebat akibat ayan sepanjang 2009. "Jari tangan saya patah," kata Dudi sambil menunjukkan posisi jari tengahnya yang agak bengkok. "Lidah saya hancur karena sering tergigit," lanjutnya seraya menunjukkan sisi pinggir lidahnya yang penuh bekas luka gigitan.
Yang lebih menyedihkan, dari hasil pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI), otak kiri Dudi sempat cedera. Karena sering kejang, terjadi pengecilan di daerah hippocampus yang berfungsi sebagai pusat memori. "Makanya, ke mana-mana saya sering nyasar," kisah pria kelahiran Sukabumi, 8 Maret 1979, itu.
Sebelum bertemu Jawa Pos, Dudi baru saja memberikan transformation coaching rutin ke salah satu perusahaan nasional. Pesertanya semua manajer, kepala cabang, sampai owner. Materinya terkait performance, leadership, dan produktivitas. Program ini sudah berjalan empat bulan. Perusahaan yang menjadi kliennya itu punya 13 cabang dengan omzet triliunan rupiah per bulan.
"Alhamdulillah, ini berkat epilepsi," ungkap pendiri PT Transformasi Meraih Sukses sekaligus Human Resources Neuro Linguistic Programming (HRNLP) itu. Neuro linguistic programming secara sederhana dapat dijelaskan sebagai teknik motivasi dengan mentransformasi pola pikir, sikap mental, cara berkomunikasi, dan interaksi.
Lho apa hubungannya epilepsi dengan itu semua" "Saya telah melakukan transformasi dari penyandang epilepsi, lalu melakukan terapi mandiri, menjadi terapis, sampai akhirnya menjadi trainer NLP berstandar internasional," jawabnya lantas tersenyum simpul. Dudi pun mulai menceritakan perjalanan hidupnya yang penuh liku.
Tamat dari SMA di Sukabumi pada 1996, Dudi nyaris tidak bisa melanjutkan kuliah karena keterbatasan biaya. Ayahnya hanya guru honorer. Sejak kelas 4 SD, Dudi diasuh kakeknya. "Prinsip saya, jika ada keinginan, selama impian jelas, selama kebiasaan-kebiasaan untuk meraih impian itu konsisten, saya yakin tercapai," katanya. Keyakinan Dudi terbukti. Pamannya bersedia membiayai kuliahnya selama dua semester. Syaratnya, Dudi harus memenuhi biaya hidupnya sendiri.
Dudi menerima tantangan itu. Dia mengambil program D-3 di Akademi Kimia Analisis Bogor. Di sela-sela kuliah, Dudi menjadi guru les matematika, fisika, dan kimia. Dari sana dia bisa menutupi biaya hidup bulanan. "Padahal, waktu SD nilai matematika atau IPA saya selalu semangat 45. Kalau nggak nilainya 4 ya 5," ujar Dudi lantas terkekeh.
Setahun menimba ilmu, sang paman benar-benar tidak bisa lagi membiayai kuliah Dudi. Anak-anak pamannya yang bertambah besar tentu memerlukan biaya yang tidak sedikit. Untungnya, Dudi berhasil mendapatkan beasiswa pada 1999.
Sebelum lulus, Dudi melamar kerja di salah satu perusahaan produsen minuman ringan di Indonesia. Dia diterima pada Oktober 1999 sebagai teknisi laboratorium. Baru tiga bulan bekerja, Dudi yang kala itu hampir memasuki usia 21 tahun memutuskan untuk menikah.
Sekitar 2001, sambil bekerja Dudi mengambil S-1 di Sekolah Tinggi Kimia Analisis Bogor. Kuliahnya setiap Sabtu-Minggu. "Saya tetap profesional di kantor sebagai karyawan dan di kampus sebagai mahasiswa. Hasilnya, saya dapat IPK 3,6. Padahal, waktu kuliah D-3 IPK cuma 3,25," tuturnya.
Berkat otak encernya, Dudi mendapatkan kesempatan mengikuti program profesi untuk analisis kimia di Sligo University, Irlandia, selama dua minggu. "Saya satu-satunya peserta dari Indonesia. Alhamdulillah, dapat nilai tertinggi 92," kata Dudi bangga. Kembali ke Indonesia, Dudi terus berusaha meningkatkan kinerja. "Apa yang diminta perusahaan saya berikan. Perusahaan minta 10, saya kasih 12," sahutnya.
Karir Dudi kian moncer. Pada 2008 dia telah menjadi staf senior di bagian quality assurance. Suatu saat, manajer di bagiannya ternyata dipindah menjadi manajer di bagian lain. Oleh perusahaan, Dudi diberi kesempatan mengisi posisi yang kosong.
"Tepat setelah bekerja sembilan tahun, setelah naik posisi empat kali, dari teknisi, staf junior, staf, lalu senior staf, saya menjadi manajer," katanya. Dudi yang baru berusia 29 tahun itu menjadi manajer termuda di perusahaannya.
Motivasi Dudi kian terpacu. Kini dia mulai merancang impian berikutnya; menjadi kepala pabrik. Kali ini Dudi ingin menjadi kepala pabrik sebelum 35 tahun. "Sudah berhasil menjadi manajer termuda, saya ingin menjadi kepala pabrik termuda," katanya. Sejak itu Dudi bersemangat membaca buku-buku atau memutar CD-CD motivasi. Untuk melengkapinya, pada tahun itu juga Dudi mengambil S-2 Manajemen Keuangan di Universitas Mercubuana.
Dalam situasi penuh semangat inilah, terjadi titik balik yang tidak pernah diduga. Peristiwa itu terjadi pada awal 2009. Kuliah Dudi baru mau masuk semester ke-3. Saat asyik mendengarkan sebuah CD motivasi di kamar rumahnya, tiba-tiba dia kehilangan kesadaran. "Begitu sadar, sudah ada dua tetangga masuk kamar saya. Istri menceritakan bahwa tadi saya kejang hebat. Istri yang baru pertama melihat juga kaget," kenangnya.
Dudi ingat, orang tuanya bercerita bahwa dia pernah kejang waktu bayi. Tapi, tak ada yang terpikir kalau itu epilepsi. Sebelum kejang hebat itu, Dudi memang pernah beberapa kali pusing, tapi masih bisa jalan. Pada 2006, seorang teman kerjanya menyarankan dia periksa ke dokter saraf. Saat itu dia baru tahu kalau mengidap epilepsi.
Namun, Dudi masih menganggapnya remeh. "Saya termasuk nakal. Tidak minum obat," sesalnya. Kejang hebat sampai kehilangan kesadaran pada awal 2009 itu menjadi pengalaman baru buat. Apalagi, setelah itu serangan kejang semakin sering berulang. Jari tengah tangan kanannya yang patah, lidah dengan bekas gigitan, sampai cedera di daerah hippocampus, menjadi kenang-kenangan yang tak mungkin terlupakan.
Tapi, yang lebih membuat Dudi stres sebenarnya soal kejang yang sering terjadi sebelum dia berangkat kerja. Akibatnya, begitu sampai kantor kondisi fisiknya sudah drop. "Baru mau mulai kerja sudah nggak kuat," katanya.
Tapi, Dudi beruntung. Perusahaan swasta tempatnya bekerja memberikan kesempatan untuk beristirahat total tiga bulan mulai Juni-Agustus 2009. Selama masa cuti panjang itu, Dudi masih mengalami serangan kejang. Cuma sudah agak ringan. Meski begitu, dia sempat dirawat di rumah sakit lebih dari dua minggu.
"Obat yang diberikan ternyata belum cocok, bikin merah-merah, alergi obat. Alerginya diobati, tiba-tiba kena demam tinggi. Di rumah sakit yang sama kena tifus sampai diare," sebutnya. Dudi mengaku itu merupakan momen bahwa dia merasa terpuruk. "Pusing kok jadi begini, padahal karir tengah naik," ungkapnya.
Dalam masa sulit itu, Dudi sangat berterima kasih kepada istrinya, Aas Puspitaningsih. Sang istri selalu mendampingi. "Suatu pagi, saya sadar dengan istri di sebelah lagi mengerang kesakitan. Rupanya, waktu saya kejang dan istri mau memasukkan handuk (ke mulut Dudi), tangannya tergigit sampai hancur kukunya," kenangnya terharu.
Suatu ketika Dudi bertemu psikolog di sekolah anaknya. Psikolog itu menyarankan Dudi bertemu seseorang bernama Bendry di kawasan Kelapa Dua, Depok. Meski konselor remaja, psikolog itu yakin Bendry dapat memotivasi Dudi. Ternyata benar. Bendry menyemangati Dudi bahwa Tuhan tidak akan menguji kemampuan di luar hambanya. "Antara potensi dan ujian, pasti lebih besar potensi. Maka cari potensi itu, lalu berdamailah dengan kondisi," kata Dudi.
Dia pun mulai mengikuti seminar tiga hari bertajuk Miracle in Life di Bandung. "Sampai sesi fire walk, berjalan di atas api, saya ikutin, yakin pasti bisa," ujarnya. Dari sana Dudi mulai terinsiprasi dan bersemangat. Serangan kejang makin lama makin menghilang. "Mulai Agustus tidak ada serangan yang hebat lagi. Ya tentunya sambil minum obat," ujarnya.
Dudi tetap percaya diri untuk tampil. Banyak penderita epilepsi yang menjadi minder. Dudi sendiri pernah merasakannya. "Saya sempat malu bertemu orang yang pernah lihat waktu saya dapat serangan," tambahnya.
Memanfaatkan cuti panjang yang masih tersisa, Dudi semakin antusias mengikuti berbagai seminar motivasi lain. Dia mulai mengenal hipnoterapi atau"clinical hypnosis.
Yakni, aplikasi hipnosis dalam menyembuhkan gangguan mental dan meringankan gangguan fisik. Dia juga mengikuti neuro language programing (NLP) yang intinya mengarah kepada teknik pemberdayaan diri. Bisa pula untuk terapi pribadi.
Setelah jatah cuti habis, Dudi kembali ke kantor dengan semangat baru. Ternyata posisinya sudah digantikan orang lain, seorang perempuan yang dalam penilaian singkat Dudi berkinerja sangat bagus. Dudi salut, karena perempuan itu secara sukarela mengembalikan posisi manajer kepadanya. Alih-alih menerimanya, Dudi justru mendapat pencerahan baru.
"Saya berpikir, saya mulai menikmati dunia pelatihan. Sedangkan dari level pekerjaan, ibu itu kayaknya lebih semangat dan membutuhkan. Akhirnya, saya memutuskan resign (mundur)," tuturnya.
Keputusan itu kini sangat disyukuri Dudi setiap hari. Setelah mundur dari perusahaan, Dudi langsung mendirikan PT Transformasi Meraih Sukses dan HRNLP. Dudi menyebut HRNLP sebagai lembaga pelatihan pertama yang mengintegrasikan pengembangan human resources dengan NLP. Ribuan orang sudah mengikuti pelatihan yang diselenggarakan Dudi. Mulai instansi pemerintah, sekolah pemerintah, departemen, kampus, sampai perusahaan swasta nasional dan internasional.
"Ada pula para widya iswara," katanya. Widya iswara adalah PNS yang diangkat sebagai pejabat fungsional oleh pejabat yang berwenang dengan tugas, tanggung jawab, wewenang untuk mendidik, mengajar, dan atau melatih PNS pada lembaga pendidikan dan pelatihan (diklat) pemerintah. "Awalnya, saya ingin menjadi kepala pabrik sebelum usia 35 tahun. Ternyata, positifnya dari epilepsi itu saya malah punya perusahaan di usia 30 tahun," tuturnya tersenyum.
Bahkan, kini dia melakukan coaching ke berbagai kalangan dan mengadakan training of trainer. Ada program beasiswa untuk beberapa calon trainer yang lulus seleksi. Menurut Dudi, tak kurang dari 71 trainer yang mengikuti training-nya sudah memiliki branding sendiri. Termasuk sang istri yang mem-branding dirinya sebagai "Motivator Keluarga".
"Istri punya klub, anggotanya di Facebook mencapai 16 ribu orang," sanjung Dudi yang telah menulis buku Bangkit dari Dasar Jurang Kehidupan dan Keajaiban Berperilaku Positif itu.
Pada Januari 2013 Dudi membentuk komunitas bernama Forum Transformer Indonesia. Anggotanya para trainer, motivator, inspirator, mentor, coach, guru, dan siapa saja yang ingin melakukan tranformasi. Motonya every day is unlimited trasnformation day. Menurut Dudi, kalau kita sudah berhasil mentransformasi diri, mulailah berpikir untuk mentransformasi orang lain.
"Kalau Merry Riana mengatakan mimpi sejuta dolar, saya mimpi sejuta transformer pengubah bangsa pada 2045," tegas ayah Fathin Naufal, 10, dan Alimah Solihat, 8, itu. Meski sejak akhir 2009 tidak pernah lagi kejang, Dudi terkadang masih mendapat serangan ringan. Misalnya, lupa tempat. "Makanya, kalau perjalanan agak jauh (dari rumah di Cibinong, Bogor) atau malam, saya pakai sopir," katanya.
Meski begitu, Dudi tidak berkecil hati. "Pakai sopir juga pemberdayaan orang agar bekerja," ujarnya. Dudi kini menganggap epilepsi tidak lagi sebagai momok, tapi anugerah. "Kalau tidak epilepsi, belum tentu saya melakukan transformasi dan melahirkan transformer. Yakinlah bersama kesulitan akan ada kemudahan," tandasnya. (*/c2/oki)
Priyo Handoko, Jakarta
---------
Hujan deras masih mengguyur ibu kota ketika Dudi Mardiyansyah berbincang dengan Jawa Pos di Bale Dahar, Jalan Panjang, Jakarta Barat, Rabu malam lalu (6/2).
Awalnya, dia menunjukkan jari tengah tangan kanannya. Sejurus kemudian, ganti lidahnya yang sedikit dijulurkan. Tapi, saat itu Dudi bukan sedang marah atau bermaksud kurang sopan.
Dia sengaja menunjukkan bukti-bukti fisik yang ditimbulkan saat diserang kejang hebat akibat ayan sepanjang 2009. "Jari tangan saya patah," kata Dudi sambil menunjukkan posisi jari tengahnya yang agak bengkok. "Lidah saya hancur karena sering tergigit," lanjutnya seraya menunjukkan sisi pinggir lidahnya yang penuh bekas luka gigitan.
Yang lebih menyedihkan, dari hasil pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI), otak kiri Dudi sempat cedera. Karena sering kejang, terjadi pengecilan di daerah hippocampus yang berfungsi sebagai pusat memori. "Makanya, ke mana-mana saya sering nyasar," kisah pria kelahiran Sukabumi, 8 Maret 1979, itu.
Sebelum bertemu Jawa Pos, Dudi baru saja memberikan transformation coaching rutin ke salah satu perusahaan nasional. Pesertanya semua manajer, kepala cabang, sampai owner. Materinya terkait performance, leadership, dan produktivitas. Program ini sudah berjalan empat bulan. Perusahaan yang menjadi kliennya itu punya 13 cabang dengan omzet triliunan rupiah per bulan.
"Alhamdulillah, ini berkat epilepsi," ungkap pendiri PT Transformasi Meraih Sukses sekaligus Human Resources Neuro Linguistic Programming (HRNLP) itu. Neuro linguistic programming secara sederhana dapat dijelaskan sebagai teknik motivasi dengan mentransformasi pola pikir, sikap mental, cara berkomunikasi, dan interaksi.
Lho apa hubungannya epilepsi dengan itu semua" "Saya telah melakukan transformasi dari penyandang epilepsi, lalu melakukan terapi mandiri, menjadi terapis, sampai akhirnya menjadi trainer NLP berstandar internasional," jawabnya lantas tersenyum simpul. Dudi pun mulai menceritakan perjalanan hidupnya yang penuh liku.
Tamat dari SMA di Sukabumi pada 1996, Dudi nyaris tidak bisa melanjutkan kuliah karena keterbatasan biaya. Ayahnya hanya guru honorer. Sejak kelas 4 SD, Dudi diasuh kakeknya. "Prinsip saya, jika ada keinginan, selama impian jelas, selama kebiasaan-kebiasaan untuk meraih impian itu konsisten, saya yakin tercapai," katanya. Keyakinan Dudi terbukti. Pamannya bersedia membiayai kuliahnya selama dua semester. Syaratnya, Dudi harus memenuhi biaya hidupnya sendiri.
Dudi menerima tantangan itu. Dia mengambil program D-3 di Akademi Kimia Analisis Bogor. Di sela-sela kuliah, Dudi menjadi guru les matematika, fisika, dan kimia. Dari sana dia bisa menutupi biaya hidup bulanan. "Padahal, waktu SD nilai matematika atau IPA saya selalu semangat 45. Kalau nggak nilainya 4 ya 5," ujar Dudi lantas terkekeh.
Setahun menimba ilmu, sang paman benar-benar tidak bisa lagi membiayai kuliah Dudi. Anak-anak pamannya yang bertambah besar tentu memerlukan biaya yang tidak sedikit. Untungnya, Dudi berhasil mendapatkan beasiswa pada 1999.
Sebelum lulus, Dudi melamar kerja di salah satu perusahaan produsen minuman ringan di Indonesia. Dia diterima pada Oktober 1999 sebagai teknisi laboratorium. Baru tiga bulan bekerja, Dudi yang kala itu hampir memasuki usia 21 tahun memutuskan untuk menikah.
Sekitar 2001, sambil bekerja Dudi mengambil S-1 di Sekolah Tinggi Kimia Analisis Bogor. Kuliahnya setiap Sabtu-Minggu. "Saya tetap profesional di kantor sebagai karyawan dan di kampus sebagai mahasiswa. Hasilnya, saya dapat IPK 3,6. Padahal, waktu kuliah D-3 IPK cuma 3,25," tuturnya.
Berkat otak encernya, Dudi mendapatkan kesempatan mengikuti program profesi untuk analisis kimia di Sligo University, Irlandia, selama dua minggu. "Saya satu-satunya peserta dari Indonesia. Alhamdulillah, dapat nilai tertinggi 92," kata Dudi bangga. Kembali ke Indonesia, Dudi terus berusaha meningkatkan kinerja. "Apa yang diminta perusahaan saya berikan. Perusahaan minta 10, saya kasih 12," sahutnya.
Karir Dudi kian moncer. Pada 2008 dia telah menjadi staf senior di bagian quality assurance. Suatu saat, manajer di bagiannya ternyata dipindah menjadi manajer di bagian lain. Oleh perusahaan, Dudi diberi kesempatan mengisi posisi yang kosong.
"Tepat setelah bekerja sembilan tahun, setelah naik posisi empat kali, dari teknisi, staf junior, staf, lalu senior staf, saya menjadi manajer," katanya. Dudi yang baru berusia 29 tahun itu menjadi manajer termuda di perusahaannya.
Motivasi Dudi kian terpacu. Kini dia mulai merancang impian berikutnya; menjadi kepala pabrik. Kali ini Dudi ingin menjadi kepala pabrik sebelum 35 tahun. "Sudah berhasil menjadi manajer termuda, saya ingin menjadi kepala pabrik termuda," katanya. Sejak itu Dudi bersemangat membaca buku-buku atau memutar CD-CD motivasi. Untuk melengkapinya, pada tahun itu juga Dudi mengambil S-2 Manajemen Keuangan di Universitas Mercubuana.
Dalam situasi penuh semangat inilah, terjadi titik balik yang tidak pernah diduga. Peristiwa itu terjadi pada awal 2009. Kuliah Dudi baru mau masuk semester ke-3. Saat asyik mendengarkan sebuah CD motivasi di kamar rumahnya, tiba-tiba dia kehilangan kesadaran. "Begitu sadar, sudah ada dua tetangga masuk kamar saya. Istri menceritakan bahwa tadi saya kejang hebat. Istri yang baru pertama melihat juga kaget," kenangnya.
Dudi ingat, orang tuanya bercerita bahwa dia pernah kejang waktu bayi. Tapi, tak ada yang terpikir kalau itu epilepsi. Sebelum kejang hebat itu, Dudi memang pernah beberapa kali pusing, tapi masih bisa jalan. Pada 2006, seorang teman kerjanya menyarankan dia periksa ke dokter saraf. Saat itu dia baru tahu kalau mengidap epilepsi.
Namun, Dudi masih menganggapnya remeh. "Saya termasuk nakal. Tidak minum obat," sesalnya. Kejang hebat sampai kehilangan kesadaran pada awal 2009 itu menjadi pengalaman baru buat. Apalagi, setelah itu serangan kejang semakin sering berulang. Jari tengah tangan kanannya yang patah, lidah dengan bekas gigitan, sampai cedera di daerah hippocampus, menjadi kenang-kenangan yang tak mungkin terlupakan.
Tapi, yang lebih membuat Dudi stres sebenarnya soal kejang yang sering terjadi sebelum dia berangkat kerja. Akibatnya, begitu sampai kantor kondisi fisiknya sudah drop. "Baru mau mulai kerja sudah nggak kuat," katanya.
Tapi, Dudi beruntung. Perusahaan swasta tempatnya bekerja memberikan kesempatan untuk beristirahat total tiga bulan mulai Juni-Agustus 2009. Selama masa cuti panjang itu, Dudi masih mengalami serangan kejang. Cuma sudah agak ringan. Meski begitu, dia sempat dirawat di rumah sakit lebih dari dua minggu.
"Obat yang diberikan ternyata belum cocok, bikin merah-merah, alergi obat. Alerginya diobati, tiba-tiba kena demam tinggi. Di rumah sakit yang sama kena tifus sampai diare," sebutnya. Dudi mengaku itu merupakan momen bahwa dia merasa terpuruk. "Pusing kok jadi begini, padahal karir tengah naik," ungkapnya.
Dalam masa sulit itu, Dudi sangat berterima kasih kepada istrinya, Aas Puspitaningsih. Sang istri selalu mendampingi. "Suatu pagi, saya sadar dengan istri di sebelah lagi mengerang kesakitan. Rupanya, waktu saya kejang dan istri mau memasukkan handuk (ke mulut Dudi), tangannya tergigit sampai hancur kukunya," kenangnya terharu.
Suatu ketika Dudi bertemu psikolog di sekolah anaknya. Psikolog itu menyarankan Dudi bertemu seseorang bernama Bendry di kawasan Kelapa Dua, Depok. Meski konselor remaja, psikolog itu yakin Bendry dapat memotivasi Dudi. Ternyata benar. Bendry menyemangati Dudi bahwa Tuhan tidak akan menguji kemampuan di luar hambanya. "Antara potensi dan ujian, pasti lebih besar potensi. Maka cari potensi itu, lalu berdamailah dengan kondisi," kata Dudi.
Dia pun mulai mengikuti seminar tiga hari bertajuk Miracle in Life di Bandung. "Sampai sesi fire walk, berjalan di atas api, saya ikutin, yakin pasti bisa," ujarnya. Dari sana Dudi mulai terinsiprasi dan bersemangat. Serangan kejang makin lama makin menghilang. "Mulai Agustus tidak ada serangan yang hebat lagi. Ya tentunya sambil minum obat," ujarnya.
Dudi tetap percaya diri untuk tampil. Banyak penderita epilepsi yang menjadi minder. Dudi sendiri pernah merasakannya. "Saya sempat malu bertemu orang yang pernah lihat waktu saya dapat serangan," tambahnya.
Memanfaatkan cuti panjang yang masih tersisa, Dudi semakin antusias mengikuti berbagai seminar motivasi lain. Dia mulai mengenal hipnoterapi atau"clinical hypnosis.
Yakni, aplikasi hipnosis dalam menyembuhkan gangguan mental dan meringankan gangguan fisik. Dia juga mengikuti neuro language programing (NLP) yang intinya mengarah kepada teknik pemberdayaan diri. Bisa pula untuk terapi pribadi.
Setelah jatah cuti habis, Dudi kembali ke kantor dengan semangat baru. Ternyata posisinya sudah digantikan orang lain, seorang perempuan yang dalam penilaian singkat Dudi berkinerja sangat bagus. Dudi salut, karena perempuan itu secara sukarela mengembalikan posisi manajer kepadanya. Alih-alih menerimanya, Dudi justru mendapat pencerahan baru.
"Saya berpikir, saya mulai menikmati dunia pelatihan. Sedangkan dari level pekerjaan, ibu itu kayaknya lebih semangat dan membutuhkan. Akhirnya, saya memutuskan resign (mundur)," tuturnya.
Keputusan itu kini sangat disyukuri Dudi setiap hari. Setelah mundur dari perusahaan, Dudi langsung mendirikan PT Transformasi Meraih Sukses dan HRNLP. Dudi menyebut HRNLP sebagai lembaga pelatihan pertama yang mengintegrasikan pengembangan human resources dengan NLP. Ribuan orang sudah mengikuti pelatihan yang diselenggarakan Dudi. Mulai instansi pemerintah, sekolah pemerintah, departemen, kampus, sampai perusahaan swasta nasional dan internasional.
"Ada pula para widya iswara," katanya. Widya iswara adalah PNS yang diangkat sebagai pejabat fungsional oleh pejabat yang berwenang dengan tugas, tanggung jawab, wewenang untuk mendidik, mengajar, dan atau melatih PNS pada lembaga pendidikan dan pelatihan (diklat) pemerintah. "Awalnya, saya ingin menjadi kepala pabrik sebelum usia 35 tahun. Ternyata, positifnya dari epilepsi itu saya malah punya perusahaan di usia 30 tahun," tuturnya tersenyum.
Bahkan, kini dia melakukan coaching ke berbagai kalangan dan mengadakan training of trainer. Ada program beasiswa untuk beberapa calon trainer yang lulus seleksi. Menurut Dudi, tak kurang dari 71 trainer yang mengikuti training-nya sudah memiliki branding sendiri. Termasuk sang istri yang mem-branding dirinya sebagai "Motivator Keluarga".
"Istri punya klub, anggotanya di Facebook mencapai 16 ribu orang," sanjung Dudi yang telah menulis buku Bangkit dari Dasar Jurang Kehidupan dan Keajaiban Berperilaku Positif itu.
Pada Januari 2013 Dudi membentuk komunitas bernama Forum Transformer Indonesia. Anggotanya para trainer, motivator, inspirator, mentor, coach, guru, dan siapa saja yang ingin melakukan tranformasi. Motonya every day is unlimited trasnformation day. Menurut Dudi, kalau kita sudah berhasil mentransformasi diri, mulailah berpikir untuk mentransformasi orang lain.
"Kalau Merry Riana mengatakan mimpi sejuta dolar, saya mimpi sejuta transformer pengubah bangsa pada 2045," tegas ayah Fathin Naufal, 10, dan Alimah Solihat, 8, itu. Meski sejak akhir 2009 tidak pernah lagi kejang, Dudi terkadang masih mendapat serangan ringan. Misalnya, lupa tempat. "Makanya, kalau perjalanan agak jauh (dari rumah di Cibinong, Bogor) atau malam, saya pakai sopir," katanya.
Meski begitu, Dudi tidak berkecil hati. "Pakai sopir juga pemberdayaan orang agar bekerja," ujarnya. Dudi kini menganggap epilepsi tidak lagi sebagai momok, tapi anugerah. "Kalau tidak epilepsi, belum tentu saya melakukan transformasi dan melahirkan transformer. Yakinlah bersama kesulitan akan ada kemudahan," tandasnya. (*/c2/oki)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Disebut Teh Arab, Tak Haram
Redaktur : Tim Redaksi