jpnn.com - Memandang pepohonan di lahan hutan yang dia kelola, Artim Yahya menarik napas lega. Sonokeling, sengon, dan beberapa jenis pohon lain tumbuh subur. Bahkan sudah cukup besar untuk dipanen.
ANDRA NUR OKTAVIANI, Lombok Utara
BACA JUGA: 338 CJH Pilih Mutasi ke Luar Daerah
’’Nilai-nilai ekonomis kayu-kayu itu sangat besar,’’ katanya kepada Jawa Pos yang menemuinya awal bulan lalu.
Desa Santong, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, tempat tinggalnya, kini juga sudah jauh berubah.
BACA JUGA: Separuh Calon Jemaah Haji Kesehatannya Berisiko Tinggi
Anak-anak mudanya sudah bersekolah sampai ke perguruan tinggi. Rumah-rumah warga telah bertembok. Bahkan banyak di antara mereka yang sudah berhaji.
Semua itu sungguh tak terbayangkan 20 tahun lalu. Dua dekade silam, Santong hanyalah desa gersang dengan rata-rata penduduk miskin. Tidak ada tanaman produktif yang tumbuh di kampung tersebut.
BACA JUGA: Ini Imbauan Kemenag Kepada Calon Jamaah Haji!
Artim-lah figur sentral di balik transformasi Santong. Dari desa tertinggal hingga menjadi desa percontohan di Asia Tenggara sekarang ini. Dan, itu berawal dari sebuah ’’program limpahan’’ desa lain.
Pada 1997 lalu itu, desa tetangga Santong-lah yang sejatinya terpilih sebagai desa percontohan program Hutan Kemasyarakatan (HKm). Tapi, entah kenapa, warga desa tersebut menolak.
Mendengar itu, Artim yang ketika itu menjadi kepala desa langsung menawarkan desanya untuk dijadikan percontohan.
Dia melihat HKm bisa menjadi jawaban atas kekhawatirannya pada nasib masyarakat Desa Santong yang secara ekonomi sangat jauh dari kata mapan.
Bibit yang sudah dikirim pemerintah ke desa sebelah pun akhirnya diangkut Artim ke Desa Santong.
Awalnya, Artim dan warga ragu untuk memanfaatkan hutan Santong karena tandus dan gersang.
Tapi, dengan tekad kuat lepas dari kemiskinan, mereka mencoba mengolah lahan hutan dengan menanam berbagai jenis pohon yang bibitnya memang sudah diberikan pemerintah.
’’Seperti sonokeling, sengon, mahoni, gamelila, dan kalimuru, yang ditanam dengan sistem tumpang sari bersama dengan tanaman sirih,’’ cerita Artim yang kini berusia 51 tahun.
Seiring dengan berjalannya waktu, jenis tanaman yang ditanam di HKm pun bertambah. Masyarakat meluaskan sistem tumpang sari dengan menanam tanaman buah-buahan seperti kakao, kopi, alpukat, nangka, melinjo, kemiri, vanili, dan durian montong.
Menurut Artim, jika hanya mengandalkan tanaman kayu-kayuan, masyarakat tetap tidak akan punya penghasilan rutin.
Santong yang sebelumnya gersang dan tandus menghijau dan rimbun. Mereka pun mulai menikmati hasil tanaman buah yang mereka tanam.
Kakao, kopi, alpukat, durian montong, dan yang lain menjadi sumber penghasilan warga. Itulah yang juga kemudian berhasil meningkatkan perekonomian warga sebagai komoditas hasil hutan bukan kayu (HHBK).
Setelah merasakan sendiri dampaknya, warga Desa Santong semakin bersemangat mengelola lahan mereka.
Tak semata mengandalkan hasil hutan, tapi juga mulai berinisiatif meningkatkan nilai ekonomis hasil hutan dengan mengolahnya menjadi barang jadi.
Contohnya, jika sebelumnya warga Desa Santong menjual biji kopi ke koperasi untuk dijual kembali ke produsen kopi, kini mereka belajar mengolah kopi.
’’Nanti yang dijual dari petani itu berbentuk kopi bubuk. Harganya sudah jauh lebih tinggi daripada biji kopi,’’ terangnya.
Dinas koperasi juga memberikan pelatihan pascapanen berupa pembuatan keripik, sale pisang, dan dodol durian.
Warga pun mulai mengaplikasikan hasil pelatihan tersebut. Misalnya, sale pisang. Sebelumnya, mereka menjual pisang dalam keadaan mentah seperti di pasar-pasar.
Hal yang sama akan dilakukan pada kakao. Nanti ada pengolahan kakao para petani HKm. Setelah itu, hasilnya baru dijual ke luar.
Dinas perkebunan membantu masyarakat dengan teknik pascapanen berupa fermentasi kakao agar hasil panen menjadi lebih bagus.
Fermentasi kakao bisa membantu mengurangi biji kakao yang pecah. ’’Karena biji kakao yang pecah bisa mengurangi harga. Kami sangat butuh sentuhan teknologi untuk meningkatkan kualitas dan ekonomi dari hasil hutan kami,’’ kata Artim.
Dua puluh tahun lalu, ungkap dia, tidak ada satu pun warga yang berani bermimpi untuk naik haji.
Jangankan naik haji, untuk kebutuhan sehari-hari saja, mereka masih kesulitan. Namun, sekarang tidak lagi.
Dari hasil pertanian itu pula, setidaknya 20 warga Santong, termasuk Artim, sudah bisa menunaikan haji. Beberapa akan menyusul berangkat haji.
Tidak seperti kebanyakan calon jemaah haji yang menabung di bank untuk membayar ongkos naik haji, warga Desa Santong menabung dengan cara mereka sendiri. Cara yang terbilang unik pada era modern sekarang ini.
’’Jadi, uang hasil menjual komoditas hutan kami gunakan untuk membeli sapi. Sapinya nanti terus besar dan beranak. Sapi itu kami jual untuk bayar ongkos naik haji,’’ tutur Artim.
Kesuksesan Desa Santong mengelola HKm itu pun menggema jauh. Hampir setiap tahun berbagai pihak datang berkunjung, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Pada 2000, misalnya, bupati dan ketua DPRD Kulon Progo, Jogjakarta, datang. ’’Sekarang mereka juga sudah punya HKm sendiri,’’ ujarnya.
Kunjungan dari luar negeri dimulai pada 2009. Diawali rombongan dari Jepang. Pada 2011, utusan dari 14 negara di Asia giliran berkunjung ke HKm Santong untuk mempelajari keberhasilan pengelolaan hutan berbasis masyarakat itu.
Pada tahun yang sama, ada 35 negara yang field trip ke Desa Santong. Tahun berikutnya, ada 15 negara yang melakukan kunjungan.
Setelah itu, pada Oktober 2012, ada utusan dari 10 negara ASEAN yang datang untuk melakukan studi banding mengenai pengelolaan hutan berbasis masyarakat.
Mereka datang untuk melihat partisipasi masyarakat dan meminta informasi mengenai proses izin HKm Santong dari bupati Lombok Utara.
Artim menyatakan, pada 2013, Bank Dunia juga sempat berkunjung ke HKm Santong. Mereka melihat dampak HKm Santong kepada masyarakat.
Pada 2013, ada pula petani dari Jawa Timur yang ingin melihat pengelolaan kopi dan kakao. ’’Setahun, bisa ada dua rombongan yang datang berkunjung ke HKm Santong,’’ jelas Artim.
Itulah yang membuat Artim yang kini hanya berstatus petani biasa jadi lega. Meski belum sepenuhnya. HKm yang dikelola masyarakat Desa Santong belum mengantongi izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK).
’’Kami baru punya izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu. Sekarang kayunya mulai tua. Kalau izin tidak keluar, pohon akan tumbang,’’ tegasnya.
Tapi, seperti juga dua dekade silam, Artim tak hendak menyerah. Sekarang dia sedang menyiapkan berkas-berkas yang telah diperbarui untuk kembali mengajukan izin. (*/c5/ttg)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Telantar di Jakarta, Jemaah Umroh Pilih Pulang Kampung
Redaktur & Reporter : Soetomo