Dunia Film Itu Fatamorgana yang Nyata

Selasa, 20 Mei 2014 – 11:21 WIB
Foto: Don Kardono/Indopos/JPNN

jpnn.com - Semua insan film tahu pasti, bahwa industri  perfilman itu tergolong high risk, berisiko tinggi. Sulit memastikan proyeksi return on investment (ROI). Semua pelaku film juga paham, banyak fakta yang sulit diregulasi. Tetapi semua orang maklum, bahwa film itu tak pernah mati, karena kreativitas itu sangat dinamis dan tak pernah padam.

 

BACA JUGA: Kembalinya Michael Jackson Menuai Kontroversi

Kata Chairil Anwar, “Aku akan hidup lebih dari 1000 tahun lagi.”  Itulah film kita. Yang maju, dia akan berlari sangat kencang, melompat lebih jauh, dan meninggalkan lainnya dalam jarak bumi-langit. Yang biasa-biasa saja, ya semakin jauh, semakin jatuh dan tinggal menunggu saat. Karena itu di film dikenal istilah: kreativitas tanpa batas.

Ada fakta bahwa jumlah bioskop di Indonesia itu hanya 721 an, yang masih aktif memutar film. Dari jumlah itu, 90 persen milik kelompok 21 atau XXI. Lalu Blitzmegaplex tak lebih dari 10 persen. Hak pemilik bioskop untuk memutar atau tidak memutar film tertentu. Hak mereka untuk memilih, jenis film apa yang “laku” di pasaran. Hak mereka untuk menentukan sebuah film itu diputar lebih lama atau lebih cepat dari skedulnya.

BACA JUGA: Mantan Suami Hilang, Peggy Melati Sukma Khawatir

Hak mereka untuk menentukan harga, atau mengatur skedul penayangan. Dan lagi-lagi, itu tidak salah. Karena mereka bisnis, dan bisnis tidak pernah tunduk pada siapapun, kecuali demand atau permintaan pasar. Mereka harus hidup dan mendapatkan margin keutungan dari bisnis yang berbasis pada entertainment itu. Tidak ada yang bisa mengatur mekanisme pasar, itu mirip pemilihan presiden atau pemilihan calon anggota legislatif kemarin.

Tokoh yang hebat, mengakar kuat, punya massa loyal, banyak konstituen yang “berani mati”, tinggi dalam popularitas, besar dalam elektabilitas, belum tentu dipilih rakyat.

BACA JUGA: Jessica Iskandar Sudah Menikah, Kini Dikabarkan Hamil

Begitu pun film, produk cinema yang dibuat oleh sutradara hebat, penulis terkenal, dukungan teknologi canggih, hasil yang perfect-pun belum tentu masuk kriteria dalam seleksi di Group 21 atau  Blitzmegaplex. Dampaknya, investasi yang sudah dikeluarkan antara Rp 2 M sampai Rp 10 M untuk membuat film itu mandek, tidak bisa kembali modal. Film sudah dibuat, distribusi macet, tidak bisa diputar dimana-mana, tidak booming, tidak menghasilkan income. Produser bisa langsung stroke.

Akhirnya “banting harga”, dilempar ke TV, atau dijual DVD-VCD dengan risiko, pembajakan liar. Produser, rata-rata 95 persen, mengembalikan investasinya dari kerjasama distribusi di bioskop. Kecuali film-film dengan tema khusus, yang didedikasikan untuk kepentingan khusus, yang sudah ada funding-nya. Yang penting mereka mengerjakan film, sedang ongkos produksinya sudah dihandle oleh sponsor.

Pasar terus bergerak dan anomali. Itu pula yang sering menjadi alasan, mengapa industri film kita tidak segera booming, sekalipun karya-karya film nasional sudah “berkibar” di festival-festival internasional. Bahkan, ada beberapa yang sudah diputar di AS dan Eropa. Kreativitas anak-anak film kita kalau jujur, jauh lebih keren dibandingkan Thailand dan Filipina. Tetapi industri dan uang yang beredar dari dunia perfilman di sana, mungkin memiliki velue lebih besar.

Soal “kekuasaan” kurator film yang menyeleksi film-film yang akan ditayangkan di bioskop itu, ada juga pengalaman menarik. Film Sepatu Dahlan, yang diputar 14 April 2014 lalu, hanya sehari naik di jaringan 21, dan langsung diturun lagi. Belum sempat booming, sudah di-cut. Kenyataan seperti film yang disutradarai Benni Setiawan dengan bintang Donny Damara, Kinaryosih, Ray Sahetapi, dan lainnya itu mungkin juga banyak dihadapi produser-produser film nasional lain.

Apakah semua film nasional bisa diputar di 21 atau Blitz? Pasti tidak? Bagaiamana kriterianya? Ya mereka yang mengatur sendiri, independen, tidak boleh ada campur tangan siapapun. Termasuk pemerintah. Karena soal distribusi, ini soal market, soal bisnis. Dan pemerintah hanya berkewajiban mendorong, dan membangun iklim yang kondusif untuk pengembangan perfilman nasional. “Film sebagai karya kreatif. Produk kreatif, dan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif terus mendorong tumbuh berkembangnya industri ini,” jelas Syamsul Lusa, Staf Ahli Menteri Parekraf RI, di Cannes.

Melihat semangat anak-anak muda Indonesia di Marche du Cannes, Syamsul cukup berbangga. Di luar negeri, produk-produk film nasional tetap mendapat tempat. Di pasar internasional, bisa dipasarkan dengan buyernya cukup menjanjikan untuk sustainable. “Di Pasar Film Cannes ini, fokusnya adalah berjualan film nasional. Kami memfasilitas dengan booth Cinema Indonesia, sekaligus memasarkan pariwisata Indonesia,” kata dia. 

Syamsul Lusa akan terus memperjuangkan agar di festival-festival penting, seperti Cannes, Berlin, Los Angeles, Hongkong, Busan, dan lainnya, Indonesia harus ikut. Agar keberlangsungan program pengembangan film nasional ini terus terjaga dan tetap berkembang.

Pemerintah DKI Jakarta juga sudah mengapresiasi dunia perfilman nasional. Khusus di DKI, sejak 2013, pajak tontonan dihitung berdasarkan gross film Indonesia dikembalikan kepada produsen film sebanyak 75 persen. Itu berdasarkan Pergub Prov. DKI Jakarta no. 115 tahun 2012.

Memang, kalau melihat angka, baru 13 persen dari penduduk Indonesia yang punya akses, punya potensi dan doyan nonton bioskop, itu angkanya cukup besar. Dan, rasionya masih dibisa dibesarkan lagi, jika ada penambahan layar bioskop baru. Dibandingkan dengan jumlah kelas menengah Indonesia yang terus meningkat. Biaya hidup nsional rata-rata sebesar Rp 5,58 juta per bulan. Porsi pengeluaran konsumsi hanya 35 persen, sisanya untuk kepentingan lain, hampir 65 persen.

Dari 82 kota yang disurvei oleh BPS, biaya hidup tertinggi di Jakarta Rp 7,5 juta dan terendah di Banyuwangi Rp 3 juta. Artinya, kelas menengah atas yang menjadi sasaran pemasaran film nasional itu masih dalam koridor pengembangan. Potensi sangat terbuka, karena produksi atau suplay film nasional itu sudah semakin besar dan bergairah.

Cerita hebatnya, di film itu kalau booming, filmnya berkualitas, sukses di pasar, mendunia, menjadi bahan perbincangan publik, maka hasilnya pun sangat menjanjikan. Baik secara finansial, maupun image. Tak ternilai lagi. Dan, untuk menjadi booming itu adalah pekerjaan rumah insan-insan film nasional. Taruhannya hanyalah kreativitas! Targetnya membuat “nyata” fatamorgana! (don/habis)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ribuan Fans Taylor Swift Gagal Nonton


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler