jpnn.com, BOGOR - Iklim perekonomian di Kabupaten Bogor semakin sulit. Puluhan pabrik berbagai sektor kini sekarat. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jawa Barat (Jabar) mencatat, di Kabupaten Bogor ada 54 pabrik bersiap gulung tikar.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jabar Mohammad Ade Afriandi memperkirakan, masalah tersebut berdampak terhadap adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang mencapai 64 ribu orang. Ia memperkirakan, perusahaan bangkrut karena terus naiknya upah pekerja.
BACA JUGA: Misteri Noni Belanda di Curug Putri Kencana
Tercatat upah minimum kabupaten/kota (UMK) berdasarkan keputusan Pemerintah Provinsi Jawa Barat tahun 2019 untuk Kabupaten Bogor sebesar Rp 3.763.405,88. Sedangkan Kota Bogor adalah Rp 3.842.785,54.
BACA JUGA: Sepanjang 2017 sudah 36 Perusahaan Gulung Tikar di Batam
BACA JUGA: Kabar Duka, Sufianto dan Ferdiansyah Tewas saat Mandi di Curug Putri Kencana
Tak hanya itu, Kabupaten Subang, Purwakarta, Bandung, Bandung Barat, dan Kota Bandung mengalami masalah yang sama.
“Di Subang terdapat 31 pabrik garmen, 5 pabrik telah tutup awal tahun 2019, meliputi 70 ribu pekerja,” tutur Afriandi, Senin (29/7).
BACA JUGA: Terperosok ke Selokan Saat Bersepeda, Subagyo Tewas
Sepanjang 2015 hingga 2018, kata Afriandi, relokasi dan penutupan perusahaan padat karya tertinggi terjadi di Kabupaten Karawang dan Bekasi.
“Di dua kabupaten (Karawang dan Bekasi, red) saat ini hampir tidak terdapat pabrik garmen dan produk tekstil yang sebenarnya merupakan penyerap tenaga kerja berketerampilan rendah,” katanya.
BACA JUGA: Perekonomian Batam Semakin Sulit, 34 Perusahaan Tutup dalam 5 Bulan
Menurutnya, jika tanpa kehatian-hatian pemerintah dalam mengambil kebijakan, salah satunya terkait upah, maka setidaknya 130 ribuan buruh di dua kabupaten tersebut dapat kehilangan pekerjaannya.
“Inilah yang saya maksud dengan dilematika upah minimum di Jawa Barat. Di satu sisi berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi, di sisi lain telah mengancam eksistensi industri, terutama industri manufaktur padat karya,” paparnya.
Masalah tersebut menjadi perhatian serius Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Kabupaten Bogor. “Jika sampai itu terjadi, tentu ini catatan tidak hanya kondisi Kabupaten Bogor tapi secara makro terganggu. Tapi kita lihat dulu perusahaan seperti apa yang sampai tutup,” kata Ketua Hipmi Kabupaten Bogor Bambang Pria Kusuma.
Ia mencontohkan, salah satu ritel besar yang tutup karena bukan ekonomi tapi ada perubahan dari konsumen yang biasanya datang ke mal tapi kini memilih belanja secara online.
“Ini secara teknologi salah satu strategi perusahaan dan banyak faktor juga. Artinya, perubahan seperti inilah yang perlu diperhatikan semua pihak,” ucapnya.
Kalau benar ada perusahaan yang tutup, menurut Bambang, maka harus ada intevensi dari pemerintah karena akan berdampak terhadap meningkatnya penggangguran.
“Apakah dari UMR (upah minimum regional) terlalu besar, saya kira masih wajar dan tentunya ini tantangan pemerintah,” katanya. (nal/net/c)
Alhamdulillah Nasib Baiq Nuril sudah jelas:
BACA ARTIKEL LAINNYA... Lilin yang Dimainkan Anak-Anak Membakar Rumah Subagda
Redaktur & Reporter : Rah Mahatma Sakti