Dwelling Time, Persoalan Klasik yang tak Dituntaskan

Minggu, 21 Juni 2015 – 11:41 WIB

jpnn.com - JAKARTA - Ketua Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Zaldy Ilham Masita mengatakan, persoalan dwelling time di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, merupakan masalah klasik yang tak kunjung bisa dituntaskan.

Menurutnya, sejak periode pertama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, Menko Perekonomian sudah berganti tiga kali, Mendag berganti tiga kali, Kepala Bea Cukai juga berganti tiga kali, bahkan Otoritas Pelabuhan yang juga berganti tiga kali, ternyata tidak mampu menyelesaikan dwelling time Tanjung Priok.

BACA JUGA: Lebaran, Kapal Pelni Tur ke Karimunjawa, Minat?

“Sebenarnya, sudah sangat jelas, siapa yang seharusnya diganti jika ingin masalah dwelling time ini bisa diselesaikan secara tuntas,” ujar Zaldy, menanggapi buruknya pengelolaan Pelabuhan Tanjung Priok, yang berbuntut teguran keras dari Presiden Joko Widodo beberapa hari lalu.

Kemarahan presiden ini memuncak setelah  mengetahui secara langsung bahwa dwelling time di Tanjung Priok tercatat masih 5,5 hari, paling lama di antara pelabuhan di negara ASEAN. Bandingkan dengan Malaysia yang bisa sekitar 4 hari, atau Singapura yang lebih baik lagi, 1-3 hari.

BACA JUGA: Wings Air Resmi Layani Rute Pulau Simeulue - Pulau Sumatera dan Jakarta

Kalangan pelaku industri logistik, forwading, shipping hingga bongkar muat mendukung upaya Presiden melakukan pembenahan di Tanjung Priok.

Zaldy mengakui, memang target menurunkan dwelling time dari 5,5 menjadi 4,7 hari sangat sulit diwujudkan. Pasalnya, masalah dwelling time ini bukan hanya persoalan fasilitas pelabuhan semata. Sistem keluar masuk barang di pelabuhan terdiri dari tiga proses, mulai dari pengurusan dokumen (pre-clearance), pemeriksaan bea dan cukai (custom clearance) dan terakhir proses pengeluaran barang (post-clearance).

BACA JUGA: Bahaya! Harga Daging Sapi Rentan Lewati Daya Beli Masyarakat

Di sisi lain, masalah ini juga tak lepas dari masih banyak aturan yang belum sinkron, belum berlakunya sistem satu pintu, sistem online belum tersambung di semua terminal dan institusi yang terlibat dalam proses custom clearance seperti bea cukai, BPOM, karantina dan operator pelabuhan.

Karena itu, Zaldy meminta agar Presiden tidak hanya fokus pada dwelling time impor saja. Justru yang lebih parah adalah dwelling time di pelabuhan-pelabuhan seluruh Indonesia yang sangat parah kondisinya dibandingkan di Tanjung Priok. Ini yang sebenarnya menjadi penyebab utama kenaikan harga barang di Indonesia. Sebagai catatan bahwa yang mengatur semua itu adalah Pelindo, dari Pelindo I hingga Pelindo IV.

“Jika ingin semuanya berubah, sudah saat memberikan penguatan kepada Otoritas Pelabuhan sebagai otoritas tunggal. Selama ini Otoritas Pelabuhan belum memainkan peranannya sebagai regulator dan kalah pamor dengan Pelindo yang punya banyak dana,” tuturnya.

“Hal lainnya dengan mengalihkan sebagian volume kegiatan bongkar-muat kontainer ekspor-impor ke Cikarang Dry Port untuk custome clearance," imbuhnya.

Khusus untuk CDP, Zaldy meminta pemerintah agar tidak memperlakukannya sebagai anak tiri yang telah menjadi contoh buruk untuk program private public partnership. Pasalnya, berdirinya CDP karena permintaan pemerintah dan Bea Cukai untuk mengurangi beban Tanjung Priok.

Sementara, Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Logistik Carmelita Hartoto. Menurutnya, selama ini Pelabuhan Tanjung Priok menanggung sekitar 70 persen aktivitas bongkar muat di Indonesia.  

Bahkan,  pada saat  peak  arus bongkar muat,  kerap terjadi kemacetan sehingga dwelling time menjadi  lebih lama. “Saya yakin, kalau sebagian aktivitas di Tanjung Priok dialihkan  ke Cikarang Dry Port pasti akan lebih efektif, sambil kita menunggu pembangunan Marunda Port atau pun Cilamaya,” ujarnya.

Pernyataan Carmelita ini didasarkan pada kepeduliannya untuk menurunkan dwelling time di Tanjung Priok yang telah menjadi masalah klasik yang sejak lama dihadapi pengusaha perkapalan.  “Saatnya kita selesaikan persoalan dwelling time, sebab  persaingan makin ketat memasuki era Masyarakat Ekonomi ASEAN,” tegasnya.

Terpisah, Sekjen Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API)  Ernovian G Ismy, juga menaruh harapan besar jika ada pembenahan di Tanjung Priok.

“Ini mejadi angin segar karena ada harapan untuk pembenahan infrastruktur industri logistik dan perubahan besar di pelabuhan,” ujarnya.

“Tentu pelaku industri TPT nasional akan merasakan dampaknya jika benar perubahan itu terjadi. Terutama pada tarif dan produktivitas yang pada akhirnya akan mempersingkat waktu atau memperbaiki dwelling time," ujarnya.

Pria yang akrab dipanggil Inov ini menyebut bahwa semua pelaku TPT telah merasakan berbelitnya birokrasi di Tanjung Priok khususnya penanganan aktivitas ekspor-impor. “Ini yang menyebabkan produk TPT nasional tidak mampu berdaya saing akibat berbagai biaya-biaya tidak perlu yang antara lain disebabkan tingginya dwelling time di Tanjung Priok. Diperlukan terobosan seperti yang dilakukan di Cikarang Dry Port di mana dwelling time dapat ditekan menjadi kurang dari 3 hari,” ujarnya.

Karena itu, kata Inov jika perubahan itu dilakukan, tentu akan mempercepat proses handling dan logistik barang-barang dari pelaku industri TPT.

“Saya berharap agar pengelolaan pelabuhan  dilakukan secara profesional dan baik sehingga tidak ada lagi pelaku usaha, importir maupun eksportir pengguna Tanjung Priok yang merasa dirugikan,” pungkasnya. (rl/sam/jpnn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dorong Pemerintah Genjot Ekspor saat Pelemahan rupiah


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler