BENGKULU--Pemberlakuan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP) di seluruh Indonesia dipastikan mampu memutus mata rantai calon jemaah haji eksodus, terutama yang kerap menggunakan kuota Provinsi Bengkulu. Pasalnya, pembuatan e-KTP tidak bisa digandakan atau dimiliki orang yang sama di dua provinsi berbeda.
"Tapi belum bisa dipastikan apakah tahun ini penggunaan e-KTP sebagai syarat pendaftaran calon jemaah haji diberlakukan atau belum. Sementara ini semua provinsi masih menggunakan KTP model lama," kata Kepala Biro Administrasi dan Kesejahteraan Rakyat Setda Provinsi Drs. Kurnadi Sahab, M. Si.
Selama ini diketahui jemaah haji eksodus memang mendaftar menggunakan KTP dari kabupaten/ kota dalam Provinsi Bengkulu. Akan tetapi sebenarnya mereka berasal dari luar provinsi, sehingga memiliki lebih dari satu KTP.
"Itu makanya, e-KTP kan lebih sulit digandakan karena memiliki sistem data terpusat. Jadi sulit dimanipulasi. Di setiap e-KTP menyimpan data sidik jari, foto, iris mata serta Nomor Induk Keluarga (NIK) yang berlaku nasional," jelasnya.
Selama ini dia mengakui panitia pendaftaran haji tak dapat berbuat banyak menekan angka haji eksodus yang masuk ke Provinsi Bengkulu. Pasalnya saat mendaftar, warga luar provinsi itu memiliki KTP Bengkulu sebagai bukti domisili. Hal ini pun menjadi kelemahan, lantaran panitia hanya berwenang melihat persyaratan. Tidak sampai memverifikasi data untuk mengecek kebenaran nama dan alamat antara data dengan lokasi sebenarnya.
Wakil Ketua Komisi IV DPRD Provinsi H. Rahimandani, MA yang baru saja pulang menunaikan ibadah haji musim 2011 lalu, menyakini masih ada jemaah haji eksodus yang menggunakan hak warga Provinsi Bengkulu. Jemaah eksodus umumnya berasal dari Sumatera Barat dan Sumatera Selatan.
"Nggak mungkin tidak ada. Saat di embarkasi Padang , saya lihat sendiri ada JCH yang berasal dari luar tapi ikut kuota Bengkulu. Pokoknya kami ingatkan siapa saja yang berwenang mengurusi haji, kedepannya jangan terjadi demikian. Utamakanlah jemaah asli Bengkulu. Boleh dari luar jika jatahnya benar-benar kosong atau tidak ada yang menggunakan," ujarnya.
Rahimandani juga mengkritik Tim Pembimbing Haji Daerah (TPHD). Dia menemukan ada TPHD yang sama sekali belum pernah menunaikan ibadah haji. Padahal keberadaan TPHD sangat vital untuk mendampingi jemaah selama 40 hari berada di tanah suci. Ini juga menjadi salah satu penyebab pengelolaan haji tidak maksimal.
"Kalau mau maju, pengelolaan dan pembinaan haji ke depan, TPHD harus sudah menunaikan haji. Bagaimana ia mau membimbing jamaah, sedangkan TPHD-nya sendiri belum tahu dan belum pernah ke sana (Arab Saudi)," pungkas Rahimandani. (hue)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kapolri : Jangan Buru-buru Kaitkan GAM
Redaktur : Tim Redaksi