jpnn.com - Saat sebagian orang memandang sebelah mata gerakan pramuka, Eko Sulistyo malah sebaliknya. Pada usia yang tidak lagi muda, dia justru makin aktif dalam kegiatan kepanduan itu. Dia sering terlibat dalam aksi-aksi kemanusiaan.
Laporan Gunawan Sutanto, Jakarta
BACA JUGA: Perjuangan Orang Tua Gathfan Habibi Dampingi Anaknya yang Koma Hampir Dua Bulan
EKO Sulistyo membawa dua wadah plastik berbentuk tabung dengan semringah. Tabung itu berisi piagam penghargaan dari Badan SAR Nasional (Basarnas) yang diserahkan Wakil Presiden Jusuf Kalla, Selasa pagi (24/2). Nah, Rabu siang (25/2), Eko dengan bangga menunjukkan piagam tersebut kepada Ketua Kwartir Nasional (Kwarnas) Pramuka Adhyaksa Dault.
Eko memang pantas menerima piagam itu. Penghargaan tersebut merupakan apresiasi atas kepedulian dan kerja kerasnya dalam misi evakuasi korban pesawat AirAsia QZ8501 yang jatuh di Selat Karimata, Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, 24 Desember 2014. Secara kebetulan, pemberian piagam itu bertepatan dengan hari ulang tahun ke-42 Eko.
BACA JUGA: Andre Omer Siregar, Interpreter Kepala Negara yang Menjadi Konsul Termuda
Eko merupakan satu di antara enam anggota Kwarnas yang tergabung dalam tim gabungan Basarnas. Selama 21 hari, dia berada di atas Kapal Negara (KN) 224, terombang-ambing gelombang besar Selat Karimata, untuk mencari dan mengevakuasi korban AirAsia nahas tersebut.
’’Dalam misi ini, saya ditunjuk menjadi koordinator dari Kwarnas,’’ cerita Eko yang ditemui setelah menghadap Adhyaksa Dault di Kantor Kwarnas Pramuka, Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta Pusat.
BACA JUGA: Tentara Bertanya: Mas-Mas Ini Siapa? Lagi Nyamar ya?
Selain memperlihatkan piagam yang ditandatangani Kepala Basarnas F.H.B. Soelistyo, Eko menunjukkan foto-foto dokumentasi dirinya saat terlibat dalam misi SAR AirAsia itu. ’’Ini foto ketika kami berhasil mengevakuasi salah satu jenazah dan serpihan-serpihan badan pesawat,’’ ujarnya.
Ada tiga jenazah dan sejumlah serpihan pesawat yang ditemukan tim gabungan di KN 224. Menurut Eko, misi SAR di tengah laut itu tergolong berat. Sebab, cuaca buruk dan gelombang besar sering menghadang mereka.
’’Saya berkali-kali muntah karena tidak tahan dengan guncangan hebat di kapal. Bayangkan, 21 hari kami terombang-ambing di tengah laut,’’ bebernya.
Eko sebenarnya cukup terlatih dalam misi-misi kemanusiaan. Beberapa kali dia terjun dalam tim rescue bencana alam, kecelakaan, bahkan menjadi relawan di daerah konflik. Misalnya, dia pernah terlibat dalam misi kemanusiaan di Somalia yang dilanda konflik berkepanjangan.
’’Ini saya menjadi tim distribusi bantuan saat terjadi konflik perang saudara di Somalia,’’ jelas alumnus Universitas Negeri Jakarta (UNJ) itu saat menunjukkan dokumentasi fotonya.
Pada kurun 2013–2014, Eko sempat bolak-balik ke sejumlah negara di kawasan Afrika untuk mendistribusikan bantuan logistik bagi korban konflik dan kelaparan di negara-negara miskin di sana. Antara lain, Kenya, Tanzania, Sudan, Ethiopia, dan Somalia. ’’Di negara-negara itu, saya rata-rata tiga minggu sampai satu bulan.’’
Bukan hanya medan berat yang dirasakan Eko saat mengikuti misi kemanusiaan di Afrika. Namun, hatinya juga tersayat melihat kelaparan yang melanda warga di negara-negara tersebut. Dia juga miris melihat anak-anak kecil harus memanggul senjata, menjadi kombatan dalam perang saudara yang berkepanjangan.
’’Di Somalia, saya melihat anak usia 12 tahun sudah membawa AK-47. Saya langsung teringat anak sulung saya yang seusia itu,’’ cerita bapak tiga anak tersebut.
Dia juga tidak bisa melupakan peristiwa saat terlibat dalam misi kemanusiaan di Rohingya, Myanmar. ’’Saya tidak tega melihat para pengungsi yang apa-apa susah. Tidak hanya kesulitan makan, untuk buang air besar saja, mereka sulit mencari tempat. Kondisi itu mereka jalani berbulan-bulan,’’ tuturnya.
Selain di Afrika, Eko pernah terlibat dalam misi kemanusiaan di Jepang ketika terjadi bencana tsunami pada 2011. Sementara itu, misi kemanusiaan di dalam negeri, antara lain, menjadi relawan dalam tragedi tsunami Aceh, erupsi Gunung Merapi dan Gunung Slamet, tenggelamnya kapal imigran di Samudra Hindia, jatuhnya Sukhoi di Gunung Salak, hingga longsor Banjarnegara di Jawa Tengah.
’’Di Banjarnegara, saya sempat ikut dalam evakuasi ibu dan anak-anaknya yang tertimbun lumpur karena longsor yang menerjang rumah mereka,’’ kenang pria kelahiran 24 Februari 1973 tersebut.
Keterlibatan Eko dalam berbagai misi kemanusiaan itu tidak bertujuan mencari imbalan. Sebab, suami Nurvitasari tersebut mempunyai usaha di bidang wisata arung jeram dan paint ball di sejumlah lokasi. Dia menyatakan terlibat dalam misi sosial itu sebagai panggilan jiwa.
’’Mungkin terdengar klise. Tapi, saya ingin menjadi manusia yang berguna bagi sesama,’’ tegasnya.
Passion Eko untuk terlibat dalam kegiatan sosial sebenarnya tumbuh sejak kuliah. Saat menempuh pendidikan di Jurusan Geografi UNJ, dia sering mengikuti kegiatan ekstra seperti kepencintaalaman. ’’Istri saya mendukung penuh aktivitas saya itu,’’ tuturnya.
Tidak jarang, dalam beberapa kegiatan sosial dan kemanusiaan, dia mengajak serta anak dan istrinya. Dia ingin anak-anaknya tumbuh menjadi orang yang memiliki kepedulian kepada sesama. ’’Anak-anak sering saya ajak ketika mendistribusikan bantuan untuk korban banjir di Jakarta dan sekitarnya. Yang dekat-dekat sini saja,’’ ujarnya.
Meski masih kecil-kecil, anak-anak Eko mulai bisa memahami passion ayahnya. Mereka bahkan bangga menyebut ayahnya berprofesi sebagai pekerja sosial daripada pengusaha wisata.
’’Kalau ditanya teman dan guru di sekolah, mereka mengatakan ayahnya sebagai pekerja sosial,’’ papar ayah Ramadhan Rizki, 12 ; Hasnah Rizki Shabiyah, 10; dan Safinah Rizki Mahdania, 6, itu.
Ada kejadian tidak terlupakan yang membuat Eko bangga dengan anaknya. Ketika itu, si sulung Rizki diajak dalam aksi pendistribusian bantuan sepatu bagi anak-anak korban erupsi Gunung Merapi pada 2010. Rizki begitu bersemangat ikut membagikan bantuan tersebut. Tanpa disadari Eko, ternyata anaknya itu justru memakai sandal butut dari Jakarta.
Eko lantas menawari Rizki satu sepatu baru yang akan dibagikan kepada anak-anak korban erupsi Merapi itu. ’’Ternyata, dia tidak mau. Dia bilang, ayah nanti kan bisa membelikannya sendiri,’’ ungkapnya.
Saat menceritakan itu, mata Eko berkaca-kaca. Dia tampak begitu bangga dengan keluarganya. Support seperti itulah yang membuat Eko terus total terjun dalam berbagai aktivitas kemanusiaan.
Totalitas itulah yang kemudian membuat Eko diminta bergabung dalam Kwarnas Pramuka oleh Adhyaksa Dault. Sebelum bergabung di Kwarnas, Eko lama terlibat di sebuah LSM kemanusiaan yang cukup terkenal. Baru saat Adhyaksa terpilih sebagai ketua Kwarnas pada 2012, Eko bergabung.
’’Saya sebenarnya anggota pramuka sejak SMP. Namun, ketika SMA, sudah tidak aktif. Saat Pak Adhyaksa jadi ketua (Kwarnas), saya diminta bergabung di bagian Abdi Masgana (Pengabdian Masyarakat dan Penanggulangan Bencana),’’ ujarnya.
Eko mengenal dekat Adhyaksa sejak masih menjabat menteri pemuda dan olahraga (Menpora). Adhyaksa kerap berlatih paint ball di tempat Eko. Sebelumnya, Eko dan Adhyaksa hanya saling mengenal sebagai sesama alumnus SMA Negeri 3 Jakarta.
’’Saat ditawari, saya langsung bersedia. Sebab, saya juga tahu betul sosok Pak Adhyaksa,’’ katanya.
Pria kelahiran Jogjakarta itu masih ingin mendedikasikan tenaga dan pikirannya dalam misi-misi kemanusiaan bersama Kwarnas. Dia selalu merasa tertantang ketika terjun sebagai relawan. Meskipun, kadang menjadi relawan juga membawa dampak tidak mengenakkan bagi dirinya. Misalnya, sampai saat ini dia selalu gagal mengurus visa ke Amerika Serikat karena ada cap visa kantor imigrasi Somalia di paspornya. Menurut informasi yang didapat Eko, Somalia masuk dalam daftar negara berbahaya bagi Amerika Serikat.
’’Padahal, wajah saya tidak berjenggot. Nama saya juga standar nama Indonesia. Ternyata, gara-gara stempel Somalia itu,’’ kelakarnya. (*/c5/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Profesor Berhati Lembut Ini Menangis saat Cerita tentang Ibunya
Redaktur : Tim Redaksi