Tentara Bertanya: Mas-Mas Ini Siapa? Lagi Nyamar ya?

Senin, 23 Februari 2015 – 08:02 WIB
Kantor Imigrasi Nunukan yang selalu penuh warga Indonesia yang akan ke Malaysia dengan jalur cepat. Foto: M. Salsabyl A/Jawa Pos

jpnn.com - NUNUKAN merupakan kabupaten yang letaknya di perbatasan.  Daerah yang masuk wilayah Kalimantan Utara itu menjadi pintu keluar masuk favorit bagi TKI ilegal.

Di wilayah itu ada Pulau Sebatik yang berhadapan langsung dengan Tawau, kota andalan Negara Bagian Sabah, Malaysia, untuk mengembangkan kelapa sawit. Jawa Pos (induk JPNN) mengikuti liku-liku jalur yang biasanya digunakan para perantau dari Indonesia itu.
----------
Laporan M. Salsabyl Ad’n, Nunukan-Tawau
----------
SINAR matahari pagi di Pelabuhan Tunon Taka, Nunukan, beberapa waktu lalu begitu terang. Meski semalaman wilayah itu dilanda hujan. Karena masih pagi, aktivitas di pelabuhan belum padat.

BACA JUGA: Profesor Berhati Lembut Ini Menangis saat Cerita tentang Ibunya

Namun, sudah banyak buruh pengangkut yang sibuk memasukkan barang ke kapal. Antrean penumpang yang bersiap masuk ke kapal Labuan Express V jurusan Nunukan–Tawau di pos imigrasi pun sudah mengular.

”Kalau Senin begini, pelabuhan memang ramai. Karena ada kapal dari Sulawesi yang sandar. Mereka biasanya memang mencocokkan dengan jadwal kapal feri ke Nunukan. Jadi, besok pelabuhannya sudah sepi,” ucap Pusen, 35, yang menawarkan penukaran uang kepada Jawa Pos.

BACA JUGA: Puji Tuhan...Ketiga Jenazah Napi Mati Tersenyum Semua

Mencoba jalur tikus memang susah-susah gampang. Jika tertangkap di Malaysia tanpa stempel pada paspor, sudah pasti pihak imigrasi menjebloskan si imigran gelap ke penjara. Untuk menghindari hal tersebut, Jawa Pos disarankan masuk secara resmi sebelum mencoba jalur tikus.

”Pokoknya, kalau sudah cop (stempel di paspor), kemungkinan besar aman. Paling hanya diberi sanksi tak boleh masuk Malaysia selama beberapa bulan. Jadi, lebih baik masuk ke imigrasi Tawau dulu. Lalu, bolak-balik lewat jalur tikus dan cop out kembali ke Nunukan,” ucap Kepala Badan Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Nunukan Edi Sujarwo.

BACA JUGA: Menilik Upaya Jepang Menambah Jumlah Penduduknya

Sesuai dengan anjuran, Jawa Pos berangkat secara resmi dengan ditemani salah seorang staf Humas Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) Dwi Hartanto.

Proses berangkat resmi itu pun terbilang sangat mudah dengan sedikit pelicin. Kami berdua tak perlu ikut antrean atau ditanya macam-macam oleh pihak imigrasi saat akan masuk ke kapal. Semua itu sudah diurus oleh penjual tiket kapal Said.

”Kalau mau tak antre, bisa bayar 30 ringgit (Rp 100 ribu) per orang. Nanti saya copkan kalian berdua langsung dari belakang,” tutur pria yang sudah merantau selama sembilan tahun tersebut.

Benar saja, tak lebih dari lima menit, pria asal Parepare, Sulawesi Selatan, itu muncul dan mengantarkan rombongan ke kapal Labuan Express V. Di atas kapal tersebut, penumpang sudah meluber hingga buritan. Di lantai dua tempat kami berdiri, banyak penumpang yang harus rela duduk di lantai atau berdiri selama dua jam perjalanan.

Pada pukul 08.30, kapal akhirnya bertolak dari Pelabuhan Tunon Taka. Kapal harus melewati selat yang menghubungkan Kalimantan Utara (Kaltara) dengan Pulau Sebatik yang menjadi bagian Malaysia (bagian utara).

Perlu diketahuai, Pulau Sebatik terbagi dua. Satu bagian dikuasai Malaysia dan satu kawasan lagi milik Indonesia. Setelah itu, kapal harus belok ke timur, menuju Kota Tawau. Dibutuhkan waktu sekitar dua jam perjalanan dengan feri untuk tiba di wilayah Pelabuhan Tawau.

Setelah kapal benar-benar sandar, kami melihat pemandangan unik. Bukan menginjakkan kaki ke dermaga lalu menuju pos imigrasi, sebagian besar penumpang justru mengarah ke pintu samping kapal. Saking banyaknya penumpang, kapal langsung terasa oleng.

”Hei, yang di sana. Jangan foto-foto,” teriak nelayan pete-pete (kapal kayu dengan motor) sambil menunjuk ke arah kami. Teriakan itu merupakan reaksi saat Jawa Pos ingin mengambil gambar. Di samping kapal, banyak penumpang yang turun ke pete-pete yang sudah mengantre. Setelah penuh, penumpang disuruh menunduk, lalu pete-pete langsung memutar.

Menurut informasi, penumpang tersebut diantarkan ke dermaga rakyat untuk para nelayan. Letaknya 100 meter di samping pelabuhan penumpang. Hanya, mereka yang lewat untuk menuju Tawau harus punya kenalan. Sedangkan kami memang harus pergi ke kantor imigrasi.

Di Kantor Imigrasi Tawau, kami perlu mengantre selama satu jam meski antrean tak sepadat di Nunukan. Namun, ketika sudah di depan loket imigrasi, tak ada kesulitan. Petugas imigrasi Tawau sama sekali tidak menanyakan tujuan dan alasan kunjungan kami. Tak sampai satu menit, kami diizinkan untuk keluar dari pelabuhan.

Di Pelabuhan Tawau, bau amis yang disertai genangan-genangan lumpur menjadi kesan yang paling diingat. Setelah kami keluar di Jalan Dunlop pun, pemandangan ruko yang menjual berbagai produk berjejer. Saya dan Dwi memutuskan untuk beristirahat sebelum memulai perjalanan dengan melewati jalur tikus.

Pada pukul 13.15 waktu setempat, kami akhirnya memulai perjalanan kembali ke Indonesia melalui jalur tikus. Jalur yang sudah menjadi rahasia umum bagi TKI ilegal itu terkenal dengan istilah Batu. Berbeda jauh dengan bayangan jalur tikus yang serba sulit, dari pelabuhan resmi, rombongan hanya perlu ke arah timur sekitar 500 meter sepanjang Jalan Dunlop.

Batu yang dimaksud adalah pantai batu karang di sepanjang Jalan Pesisiran. Di lokasi itu, memang terlihat beberapa pete-pete yang menunggu di bibir pantai. Sedangkan speedboat sedikit lebih jauh. Waktu itu suasana Batu memang lengang.

Namun, kami tak sulit mencari orang yang ingin mengantar ke Sebatik. Adalah Karman, 31, pria yang menghampiri rombongan dan menawarkan jasa speedboat untuk menuju Pelabuhan Sungai Nyamuk, Sebatik, Indonesia.

”Sekarang memang sedang sepi. Baru satu jam yang lalu ada pemeriksaan gabungan dari imigrasi. Banyak orang yang ditangkap di sini. Tapi, bisa saya antarkan ke Sungai Nyamuk. Punya paspor, kan?” ucap pria asal Bone, Sulawesi Selatan, itu.

Dengan 30 ringgit per orang, Karman meyakinkan bahwa perjalanan kami tak akan diusik oleh aparat di Malaysia ataupun Indonesia. Dia pun menyuruh rombongan untuk menunggu penumpang lain yang ingin ikut. ”Nanti satu jam lagi ketemu di sini. Saya tunggu orang lain,” terangnya.

Satu setengah jam kemudian rombongan akhirnya dipanggil untuk berangkat. Karman menyuruh rombongan untuk duduk dulu di speedboat berwarna biru dengan nomor STW 000296 yang sandar 200 meter dari bibir pantai. Penumpang yang terdiri atas kami, dua perempuan, dua laki-laki, dan satu anak itu diantar oleh anak buah Karman dengan pete-pete. Kami pun diminta untuk duduk di samping kemudi.

Karman baru menyusul sepuluh menit kemudian. Dengan dua anak buah yang berjaga di pucuk speedboat dan dekat mesin motor, Karman langsung tancap gas. Namun, belum dua menit berjalan, kami sudah dibuat lumayan keder. Kapal yang dipikir bakal melakukan perjalanan ke Sungai Nyamuk malah mendekat ke sebuah kapal dengan tulisan Jabatan Laut Malaysia (Departemen Maritim Malaysia).

”Hanya pamit saja ke yang punya negara,” ujar dia, menjawab pertanyaan Jawa Pos. Anak buah yang duduk di ujung speedboat langsung naik ke kapal tersebut dengan percaya diri. Perjalanan pun kembali dilanjutkan saat dia kembali ke posisi semula.

Karman lalu memulai perjalanan selama 40 menit menyusuri selat Tawau–Sebatik. Bukannya penumpang tegang, speedboat yang menghantam ombak pasang saat sore membuat rasa takut mencair. Tak beda dengan menaiki banana boat. Penumpang harus terus berpegangan dan rela wajahnya tertampar air laut selama perjalanan.

Tepat saat memasuki wilayah Sebatik milik Indonesia, Karman berhenti untuk kali kedua. Kali ini dia merapat ke pos penjagaan TNI-AL Sei Panjang. Semua penumpang pria harus diperiksa. Tak terkecuali kami. Mulai jaket hingga kaus kaki harus dilepas. Hanya, tas kami yang ada di kapal tak ikut digeledah. ”Biasa saja lah. Jangan terlalu tegang,” ucap tentara yang menggeledah Jawa Pos.

Dari pos pemeriksaan, Karman kembali melaju untuk menuju Sungai Nyamuk yang berjarak hanya 10 menit perjalanan. Setelah memasuki jembatan di ujung kompleks rumah apung, kami akhirnya tiba di tanah air melalui jalur tikus.

Memang mudahnya akses antara Tawau–Sebatik sudah menjadi fakta paling terkenal di Kabupaten Nunukan. Hal tersebut sampai memunculkan perkataan ”pagi dideportasi, sore sudah minum kopi”. Artinya, imigran Indonesia yang dideportasi ke Nunukan bisa langsung kembali ke Tawau melalui jalur Sebatik.

Jawa Pos pun sebelumnya sempat mencoba jalur Nunukan–Sebatik dengan Kepala BNP2TKI Nusron Wahid. Jika mau melewati jalan kasar berkelok, seseorang bisa ke Kota Tawau dengan bermodal Rp 200 ribu saja. Perinciannya, Rp 30 ribu untuk sewa kapal ke Nunukan–Sebatik, Rp 70 ribu untuk naik mobil menuju Sungai Nyamuk, lalu Rp 100 ribu untuk sewa speedboat menuju Tawau.

Esoknya rombongan pun memutuskan untuk kembali mencoba jalur tikus menuju Malaysia. Harapannya, kami bisa bertemu langsung dengan TKI yang ingin kembali ke Malaysia. Menurut informasi, BP3TKI Nunukan menerima gelombang TKI yang dideportasi. Namun, tak terlihat rombongan yang menuju pelabuhan.

Pada pukul 09.00, kami berdua terpaksa kembali ke Tawau untuk mengejar jadwal kapal resmi Tawau–Nunukan hari itu. Untuk mengecek semua fakta, saya memutuskan untuk menyamar sebagai imigran gelap. Dari hotel tempat rombongan menginap, saya dan Dwi mencari orang yang bisa mengantarkan penumpang tanpa dokumen apa pun.

Rombongan pun berjalan menuju ujung dermaga Sungai Nyamuk di tengah gerimis pagi. Kami sempat dihentikan di pos TNI-AL Sungai Nyamuk. ”Mas-Mas ini siapa? Lagi nyamar ya? Darimana? Apakah polisi atau pemerintah?” tanya dia.

Setelah sepuluh menit berbincang, akhirnya kami diperbolehkan untuk lanjut ke ujung dermaga. Namun, peristiwa itu tampaknya membuat para sopir speedboat semakin mawas diri. Tak ada seorang pun di antara mereka yang mau mengangkut orang tanpa paspor atau pas lintas batas (PLB). ”Di sini memang harus punya paspor, Bos,” ujar salah seorang sopir speedboat.

Tak mendapatkan hasil, kami berdua kembali lagi ke perkampungan dekat hotel. Di sanalah, seorang bernama Syarif menghampiri kami. Dia mengaku siap mengantarkan orang tanpa dokumen. Hanya, harga yang ditawarkan lima kali lipat daripada harga biasanya.

”Boleh saja. Tapi, bayar 150 ringgit. Atau kalau tak ada ringgit, Rp 500 ribu lah boleh. Kalau Mas yang punya paspor, bayarnya seperti biasa, 30 ringgit,” ungkapnya.

Saat kapal mendekat, barulah Syarif bergerak ke tempat speedboat. Dia mengemudikan speedboat dan memepet kapal yang sandar. Selama lima menit, dia mencari penumpang selain kami berdua. Namun, penumpang yang naik hanyalah satu keluarga dengan dua anak. ”Orang-orang ini banyak yang takut karena masih banyak operasi di Tawau,” tutur dia.

Setelah yakin tak ada tambahan penumpang, Syarif tancap gas. Bedanya, kali ini dia tak perlu repot untuk merapat ke pos TNI-AL Sei Panjang. Kali ini suasana kapal memang lebih tegang. Belum lima menit berlayar, kapal sudah dibelokkan lagi ke arah Pulau Sebatik.

”Kau cek dulu lah itu, apa benar kapal patrol,” ujarnya kepada anak buahnya di kapal. Setelah bercakap-cakap lewat telepon, barulah speedboat kembali berjalan. Yang dituju adalah kapal dengan corak biru loreng. Itu adalah kapal Polis Marin Malaysia yang sepertinya memang berpatroli.

”Mana paspor? Satu saja,” tutur dia, meminta paspor dari Dwi. Seperti sebelumnya, anak buah Syarif pun naik dan membawa paspor yang ada. Setelah selesai, Syarif tak lupa pula menyambangi kapal Jabatan Laut Malaysia.

Namun, drama mencoba jalur tikus secara ilegal baru mencapai puncak saat tiba di wilayah Batu. Di sepanjang jalan, pita kuning terbentang. Melihat itu, Syarif sontak putar haluan dan sandar di belakang kapal Polis Marin.

”Mana yang jemput kalian? Suruh dia jemput dulu, baru saya turunkan,” tegasnya. Sontak, kami pun kaget. Pasalnya, rombongan memang berbohong dengan mengatakan bahwa ada saudara yang bakal menjemput. Namun, Syarif menolak untuk menurunkan jika tak melihat orang yang menjemput. ”Kalian ini aku kasih selamat. Jadi, jangan nekat,” ungkapnya.

Untung, Dwi sudah berkenalan dengan orang Indonesia yang tinggal di Malaysia sehari sebelumnya. Ibu Norma yang mewarisi kebun kelapa sawit itu memang sudah punya paspor Malaysia. Dengan modal nekat, dia menyerahkan nomor itu kepada Syarif. ”Ya, sudah saya tunggu lima menit,” katanya.

Entah apa yang dibicarakan, tampaknya Norma menuruti permintaan Syarif untuk menjemput kami. Namun, kami terus mencari cara agar segera mendarat. Dengan desakan, akhirnya Syarif menyetujui untuk menurunkan kami di Batu dengan pete-pete.

”Pokoknya, kalian jangan sekali-sekali ke kiri. Nanti diantarkan ke sebelah sana (lokasi bebatuan yang agak jauh dari pemeriksaan imigrasi). Kalau bisa, kau langsung lari ke pasar supaya tak tertangkap. Sudah sana,” ucapnya.

Wejangan itu rupanya memengaruhi kami. Setelah turun dari pete-pete, saya dan Dwi langsung bergegas memasuki pasar. Baru lima menit kemudian kami bisa bernapas lega karena yakin sudah ada di Kota Tawau.

Memang jalur tikus itu merupakan hal yang lumrah di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia. Dalam kasus tersebut, jalur tikus Sebatik–Tawau ada karena jalur resmi yang merugikan. Warga Sebatik yang ingin ke Tawau secara resmi butuh waktu empat jam. Pasalnya, mereka harus pergi ke Pelabuhan Tunon Taka, Nunukan, dulu. Padahal, perjalanan dari Sungai Nyamuk, Sebatik, ke Tawau maksimal hanya 45 menit.

”Tapi, itu bukan alasan untuk akhirnya membiarkan jalur tikus tetap ada. Sebab, jalur ini dimanfaatkan oleh TKI ilegal. Itu malah membuat para TKI gelap merugi karena kami tak bisa menjaga dan menjamin keselamatan mereka,” ungkap Kepala BNP2TKI Nusron Wahid.

Karena itu, dia kukuh mengusulkan agar ada pos imigrasi di Sungai Nyamuk. Pos tersebut bisa digunakan oleh warga Sebatik yang ingin pergi ke Tawau. Juga mencegah TKI ilegal memanfaatkan jalur tersebut. Impian menghilangkan istilah tikus dari jalur Sebatik–Tawau pun terus berlanjut. (*/c11/end)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Mayjen Daniel Tjen, Satu-satunya Jenderal TNI yang Merayakan Imlek


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler