jpnn.com, JAKARTA - Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengungkapkan pemerintah perlu menurunkan inflasi sesegera mungkin, terutama pada bulan Desember dan Januari 2023.
Sebab, ketika pemerintah mampu menurunkan inflasi, maka Bank Indonesia diprediksi tidak akan terlalu agresif untuk menaikkan suku bunga acuan.
BACA JUGA: Mendagri Tito Minta Pemda Mengintensifkan Pengendalian Inflasi di Tengah Ketidakpastian Global
“Dari kondisi tersebut, pemerintah mungkin perlu menurunkan tingkat inflasi secepatnya, terutama pada bulan Desember dan Januari. Khususnya untuk mengantisipasi harga barang yang bergejolak. Hal ini disebabkan oleh kemungkinan BI untuk menaikkan suku bunganya pada Kuartal 1 2023,” ujar Josua, Senin (19/12/2022).
Menurut Josua, kondisi inflasi Indonesia pada saat ini cenderung mengalami normalisasi.
BACA JUGA: Menekan Laju Inflasi, Pemprov Kalsel Mengeluarkan 5 Ton Beras Cadangan
Dia memperkirakan inflasi pada akhir 2023 bisa berada di bawah 4 persen.
“Oleh karena itu, dari sisi inflasi, diperkirakan pada akhir 2023 mendatang akan berada pada kisaran 3,0 persen-3,5 persen,” terangnya.
Meski demikian, Josua menyarankan pemerintah mewaspadai goncangan pada rupiah ketika resesi global benar-benar terjadi. Karena hal itu akan memicu kenaikan harga barang yang didatangkan dari luar negeri.
“Salah satu risiko yang perlu diperhatikan pemerintah saat ini terkait inflasi adalah potensi shock pada rupiah di saat sentimen risk-off menguat bila resesi terjadi, yang berakibat pada kenaikan harga barang impor," ujarnya.
Ketika pemerintah mampu menahan inflasi sehingga harga barang tidak terlalu tinggi, maka BI juga akan mempertahankan suku bunga acuan.
Namun, ketika kenaikan harga tidak terbendung, BI diprediksi akan menaikkan suku bunga acuan menjadi 6 persen pada 2023.
Hal itu akan mengulang sejarah 2018, ketika suku bunga mencapai 6 persen pada akhir 2018, pelambatan ekonomi cenderung terjadi pada 2019.
Dilema
Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar menyebut kondisi dilematis yang menjadi tantangan perekonomian ke depan.
Pertama, menurunkan inflasi dengan menaikkan tingkat suku bunga.
Kedua, menurunkan suku bunga dalam menghadapi resesi agar roda perekonomian dapat terus bergerak.
Namun, tahun depan itu 2 hal itu terjadi sekaligus. Inflasi tinggi, resesi berat.
“Jadi, menaikkan tingkat bunga makin resesi, tak menaikkan tingkat bunga inflasinya naik terus. Ini suatu dilema yang luar biasa," ujarnya.
Pemerintah meyakini perekonomian Indonesia tetap solid di tengah ketidakpastian global dan penurunan pertumbuhan ekonomi dunia.
Pada Triwulan III-2022, perekonomian Indonesia mampu mencatatkan pertumbuhan 5,72 persen (yoy).
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun 2023 mencapai 5,3 persen.
“Dengan pertimbangan berbagai risiko global dan domestik, kami optimis dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,2 persen tahun 2022 dan sebesar 5,3 persen di tahun 2023,” kata Airlangga.
Peneliti Makro Ekonomi dan Pasar Keuangan LPEM UI Teuku Riefky mengatakan perlunya bank sentral untuk menjaga agar arus modal keluar realtif bisa dikendalikan.
“Untuk itu BI tentu perlu menjaga rate differential sekaligus memperhatikan laju inflasi domestik serta nilai tukar rupiah. Jadi kalau the Fed masih akan agresif BI pun tampaknya harus menjaga agresivitas pengetatan suku bunga untuk menjaga agar arus modal keluar bisa relatif terkendali dan stabilitas nilai tukar rupiah bisa terjaga,” kata Teuku Riefky.
Kemudian untuk menjaga laju inflasi, Teuku Riefky menyarankan, sejumlah ‘extra effort’ yang dilakukan pemerintah harus terus dilakukan.
“Selain dari kebijakan moneter konvensional, sejauh ini koordinasi TPIP-TPID dan penebalan jaring pengaman sosial relatif mampu mengendalikan inflasi dan menjaga daya beli masyarakat,” pungkas Teuku.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich Batari