jpnn.com, JAKARTA - Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) Teguh Dartanto menegaskan bantuan sosial (bansos) merupakan kebijakan mutlak yang harus negara sediakan untuk rakyatnya.
Bahkan, dia menyarankan supaya pemerintah menambah alokasi anggaran bansos, dengan catatan ada strategi distribusi dan pengentasan kemiskinan yang lebih terstruktur.
BACA JUGA: Ganjar Pastikan KTP Sakti Bakal Satupadukan Seluruh Program Bansos Jokowi
“Bansos tetap diperlukan karena itu bagian dari upaya pemerintah untuk melindungi masyarakat kelompok bawah. Kalau itu dihilangkan, justru akan berbahaya, karena menyangkut nasib banyak orang,” ucap Teguh dalam keterangannya, Jumat (22/12).
Menurut dia, pemberian bansos bukan kebijakan yang identik dengan negara berkembang. Justru banyak negara maju yang menjadikan bansos sebagai strategi perlindungan sosial.
BACA JUGA: Bansos Plus AMIN, Tawarkan Nilai Lebih Besar hingga Beri Bantuan untuk KK Perempuan
“Di negara maju, seperti Amerika Serikat dan Jepang, bansos pun masih ada. Malah lebih komprehensif. Semua negara di dunia pasti punya bansos,” kata dia.
Teguh yang menggeluti studi ekonomi pembangunan, mengusulkan dua strategi supaya pemberian bansos lebih efektif di Indonesia.
Pertama, pemerintah harus memiliki strategi graduasi atau memikirkan bagaimana para penerima bansos bisa naik kelas.
Ihwal strategi pertama, alumni S3 Nagoya University itu menyoroti dua jenis bantuan yang telah disediakan pemerintah, yaitu bantuan yang sifatnya untuk bertahan hidup seperti bantuan langsung tunai (BLT) atau pemberian sembako, serta bantuan yang sifatnya produktif seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Indonesia Sehat (KIS).
“Dari sisi penerima, perlu dipertegas supaya bagaimana orang yang menerima bansos bisa naik kelas. Mereka harus dibantu supaya tidak menerima bansos lagi,” jelas Teguh.
Strategi kedua adalah adaptive social protection atau pemberian bantuan berbasis kebutuhan. Strategi inilah yang sudah diterapkan di banyak negara maju, yang memungkinkan masyarakat menerima bansos setelah mendaftarkan diri.
Teguh berharap Indonesia bisa mengadopsi strategi tersebut, karena pemberian bansos saat ini masih menerapkan pendekatan top down, yaitu negara menentukan siapa yang layak atau tidak layak meneriman bantuan.
“Misalnya, ada orang yang tiba-tiba kena PHK dan penghasilannya langsung drop. Mereka kan perlu bantuan. Dengan sistem yang sekarang, mereka tidak bisa menyatakan kalau saya butuh bansos,” tuturnya.
Terlepas dari kekurangannya, Teguh mengapresiasi bansos dalam bentuk Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) yang diluncurkan sejak 2017.
Menurutnya, BPNT menjawab persoalan klasik terkait apakah lebih baik memberikan bansos dalam bentuk uang atau sembako.
“Jadi. BPNT itu inovasi yang sangat baik. Uang ditransfer ke dalam kartu dan kartunya bisa dibelanjakan untuk barang tertentu. Itu juga bisa menghidupi warung-warung kelontong,” tambah Teguh. (mcr4/jpnn)
Redaktur : Elvi Robiatul
Reporter : Ryana Aryadita Umasugi