Ekonom UI: Tidak Selamanya Resesi Berujung Krisis Ekonomi

Sabtu, 07 November 2020 – 15:03 WIB
Pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Ilustrasi Foto: dok.JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Perekonomian Indonesia mengalami resesi karena pertumbuhan ekonomi di Kuartal II dan III 2020 negatif.

Pada Kuartal II-2020 pertumbuhan ekonomi Indonesia minus 5,32 persen, dan Kuartal III-2020 minus 3,49 persen.

BACA JUGA: Pak Anies Umumkan Kabar Baik untuk Warga Ibu Kota, tetapi Jangan Terlena Ya

Kendati demikian, belum tentu resesi akan berakhir pada krisis ekonomi.

Menurut ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal Hastiadi, resesi biasanya memang mendahului krisis ekonomi.

BACA JUGA: Indonesia Masuk Resesi, Airlangga: Kita Sudah Melewati Rock Bottom

"Namun, tidak selamanya resesi itu pada akhirnya berujung krisis," kata Fithra dalam diskusi virtual "Efek Resesi di Tengah Pandemi", Sabtu (6/11). 

Menurut dia, kondisi ekonomi sekarang berbeda dengan 1998.

BACA JUGA: Sudah Keterlaluan, 3 Anggota Polri Dipecat Secara tidak Hormat

Pada 1998, ujar Fithra, banyak sekali bobroknya. Dia menegaskan, saat itu perekonomian sangat rapuh karena sisi makro prudensial, penjagaan sektor moneter, kapasitas fiskal itu sangat-sangat terbatas.

Pada 1998 itu, pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi
atau minus 13 persen.

Memang, lanjut Fithra, sejak 1998 ekonomi Indonesia baru mengalami kontraksi pada 2020 yakni di Kuartal II minus 5,32 dan Kuartal III -3,49 persen.

"Ini adalah kontraksi pertama kali setelah 1998, yakni -5,3 persen dan -3,49 persen yang mana secara teknis sudah disebut resesi, tetapi sebenarnya kalau lihat faktor penyebabnya sama sekali berbeda," ujar Fithra.

Ia menjelaskan memasuki 2020 perekonomian sebenarnya sudah lumayan solid. Pada Januari dan Februari 2020, purchasing manager index (PMI) Indonesia berada di level 51.

"Ini menunjukkan industri sudah masuk wilayah ekspansi," tegasnya.

Namun, kata Fitrha, PMI jatuh pada Maret dan April karena ada faktor eksternal bermain. Kondisi ini tidak saja terjadi pada Indonesia tetapi negara lain.

Menurutnya, tekanannya bersifat homogen meskipun yang membuat Indonesia bisa recover adalah pada perbedaan domestic policy dengan negara lain.

Artinya, ujar Fithra, faktor kebijakan membedakan recovery antara satu negara dengan lainnya.

Lebih lanjut ditegaska tahun ini memang perekonomian mengalami resesi secara teknis.

Namun, secara kuartalan atau dari Kuartal II ke III, tumbuh 5 persen. 

"Ini adalah turning poin. Jadi, saya sepakat dengan pernyataan Ibu Sri Mulyani (Menteri Keuangan) bahwa the worst is over, dan bahwa Indonesia sudah sangat adaptif," katanya.

Ia melanjutkan, salah satu indikator ekonomi cukup adaptif dan solid di masa pandemi Covid-19 ini ialah bila membandingkan faktor intervensi pada Kuartal II dan III.

Q"Faktor intervensi yang bisa kami bandingkan itu adalah PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) Jilid I dan II," tegasnya.

Menurut Fithra, saat PSBB Jilid I berlaku, angka PMI anjlok tinggi sekali dari level 47 ke 27.

Ia menambahkan setelah sempat memasuki masa ekspansi di Agustus 2020, angka PMI berada di level 50,8 persen.

Namun, ketika ada PSBB Jilid II, level PMI memang anjlok lagi pada level 47.

"Namun, coba dibandingkan, magnitude-nya jauh lebih kecil. Anjloknya jauh lebih sedikit dibanding sebelumnya. Bahkan sekarang reborn lagi ke level 47,08," ujarnya.

Nah, Fithra menjelaskan bahwa dari situ terlihat perekonomian sudah lumayan adaftif dan solid. "Dan salah satu yang bisa membantu itu adalah percepatan stimulus fiskal," ungkapnya. (boy/jpnn)


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler